Jumat, 09 November 2007

Wajah Kekuasaan di Jalan Raya

KOMPAS - Sabtu, 28 Sep 1991 Halaman: 1 Penulis: MULYADI, AGUS; SETIAWAN, AGUS; SUGANDA, HER Ukuran: 5496 Foto: 1
WAJAH KEKUASAAN DI JALAN RAYA
Jalur Tengkorak Cikampek-Cirebon(2-habis)
KAKI kiri di jalan, kaki kanan di penjara. Inilah pameo
sebagian sopir yang ditemui di jalur Cikampek-Cirebon. "Teman saya
nabrak orang, kena dua tahun," kata Mahmud, seorang sopir asal
Pamanukan.
Nasib yang tak jauh berbeda menimpa Siyam bin Mukri (40).
Pengemudi yang memulai kariernya sebagai kernet ini, sekitar setahun
lalu mengemudikan mobil minibus yang memang ia ketahui remnya blong.
Ia bermaksud memperbaiki rem mobil tersebut di rumahnya. Dalam
perjalanan pulang itu, pada sebuah tikungan ia berpapasan dengan
truk yang melaju dalam kecepatan cukup tinggi. Kedua pengemudi
kaget. Tabrakan tak terhindarkan. Minibus yang dikemudikan Siyam
terbalik, sebelum menimpa empat pejalan kaki di trotoar. Dua di
antara korban yang ditabraknya tewas. Oleh Pengadilan Negeri
Karawang, dia diganjar hukuman dua tahun potong tahanan.
"Saya tidak menyangka akan bernasib seperti ini," katanya
ketika ditemui di Lembaga Pemasyarakatan Karawang. Dia manyatakan
masih dibayang-bayangi peristiwa kecelakaan itu. "Saya melihat
bagaimana korban tergeletak di jalan terhimpit rongsokan kendaraan.
Saya benar-benar menyesal, dan tak ingin jadi sopir lagi," tambahnya.
***
PENYESALAN, biasanya datang terlambat. Menjadi sopir sendiri
dengan tetap harus mengingat bahwa masih banyak sopir yang baik
dan tahu sopan-santun di jalan oleh sebagian sopir ternyata bisa
menjadi pekerjaan yang memabokkan.
Menurut pengakuan beberapa sopir, sejelek-jeleknya sopir kata
mereka "masih dilirik wanita".
"Entahlah, kenapa banyak wanita gampang terpikat pada sopir,"
kata Rindon maupun Parman (keduanya bukan nama sebenarnya). Kedua
pengemudi antarkota itu mengaku beristeri lebih dari satu.
Pengalaman mereka memang bisa tak jauh berbeda satu sama lain.
Siyam bin Sukri adalah anak petani dari Majalengka. Setelah lulus
SD, ia tak bisa melanjutkan pendidikan, dan menjadi buruh tani
menyambi berbagai pekerjaan kasar lain.
Setelah itu, ia jadi kernet. Di situ ia mulai belajar menyetir,
sampai bisa mengemudikan truk. Walau waktu itu ia tidak memiliki SIM
(Surat Izin Mengemudi), ia sudah biasa ditugaskan untuk mengangkut
batu oleh sopir utama truknya. Dari situlah perjalanannya sebagai
sopir.
Begitu pula Mahmud dari Pamanukan. Sekolahnya hanya sampai
kelas V SD. Ia menjadi calo, sebelum menjadi kernet. Dia ingat, pada
saat menjadi kernet itulah pernah suatu kali mobilnya tengah dicuci,
dan sang sopir makan di warung. Ia tergoda untuk belajar menyetir.
Mesin mobil dihidupkan, roda gigi perseneling dimasukkan. Kendaraan
meloncat, menabrak benda lain sampai penyok. Mahmud dipecat. Tapi
dari situ dia terus menguatkan tekad untuk belajar menyetir.
Akhirnya, berhasil juga.
"Mula-mula angkutan penumpang Cikampek-Cilamaya," ia menuturkan
pengalamannya.
Latar belakang serba nekat inikah yang sebagian juga melatar-
belakangi sikap mereka di jalan raya?
***
PARA sopir bus antarkota itu biasanya melengkapi kendaraan
mereka dengan berbagai asesori. Mereka beranggapan, makin "keren"
dan "gagah" kendaraannya, akan lebih mudah memikat penumpang. Bus
itu, akhirnya seperti menjadi identitas mereka. Kalau sopir ini
pindah kerja ke perusahaan bus lain, asesori-asesori itu biasanya
mereka bawa, untuk dipasang lagi di bus barunya.
Lihatlah Rindon, ketika ngetem di terminal Pulo Gadung, Jakarta.
Kendaraannya seperti huruf-huruf besar yang tertera di kaca
belakang bus oleh orang-orang di situ dijuluki Si Bapuk. Di situ
juga ada bus-bus lain, dengan nama Kombayana, Ratu Bilkis, Permai.
Nama-nama itu seolah identik dengan karakter pengemudi bus yang
bersangkutan. Selain menciptakan citra dirinya lewat aksesori-
aksesori, lewat nama-nama yang aneh untuk busnya, juga lewat
"keberaniannya" ngebut dan memperpendek waktu tempuh dari route yang
dilaluinya. Makin cepat, mereka merasa makin populer.
Apa yang terjadi, mungkin seperti pernah dilukiskan oleh
psikolog MAW Brouwer almarhum. Soal mengejar setoran, sebetulnya
hanya salah satu faktor yang menyebabkan para sopir bus ngebut di
jalan raya.
Faktor lain, dimana dengan mengingat latarbelakang pendidikan
berikut sosial sebagian sopir, dengan duduk di belakang kemudi
mereka sebenarnya tengah mengkonversikan dirinya dari orang biasa
kursi kendaraannya yang tinggi berikut kaca bus yang lebar dimana
dari situ kendaraan-kendaraan lain kelihatan kerdil, mereka
mengalami tranformasi psikologis. Dari situ, ada keinginan untuk
melampiaskan keinginan-keinginan yang selama ini terpendam.
Lebih-lebih, seperti dituturkan sebagian dari mereka, mulai ada
yang melirik di jalanan. Perpaduan antara kekuasaan dan wanita,
makin mengokohkan citra diri tentang kehebatan seorang sopir bus.
Ada pepatah, citra bangsa, konon tercermin lewat tingkah laku
di jalan raya.
Dari deru bus-bus antarkota dengan asesori misalnya lampu
merah, sirene, lampu tembak, dan karakter serba berkuasa di jalan
raya itu, adakah juga tercermin wajah kita? Yakni wajah, yang suka
mabok atas kekuasaan? (agus mulyadi/agus setiawan/her suganda)
Foto:1
Kompas/mul
BERDESAKAN - Suasana dalam bis antarkota. Penumpang berdesakan,
sementara bis ngebut. Sebuah pertaruhan yang amat mahal.

Tidak ada komentar: