KOMPAS - Kamis, 12 Oct 2000 Halaman: 29 Penulis: Mulyadi, Agus Ukuran: 13095 Foto: 1
BRUNEI BUKAN LAGI NEGARA IMPIAN
BRUNEI bukan negara impian! Kalimat singkat itu, benar-benar
terpateri kuat di hati ratusan hingga ribuan tenaga kerja Indonesia
(TKI) yang pernah dan saat ini masih merasakannya sendiri di Brunei
Darussalam. Negara seluas lebih dari 5.765 kilometer persegi itu
tidak seindah yang diimpikan para TKI sebelum berangkat dari kampung
halaman masing-masing.
Dengan penuh pengorbanan, meninggalkan anak,
istri, dan keluarga di rumah, mereka mencoba mengadu nasib. Uang
dalam jumlah tidak sedikit pun telah dikeluarkan dan diberikan kepada
agen yang mengirimkan mereka ke Brunei. Dengan harapan bisa mengubah
nasib, ribuan TKI meninggalkan semua yang dicintainya. Mereka pun
umumnya meninggalkan utang tidak sedikit, yang digunakan untuk
membayar ke agen pengerah tenaga kerja yang mengirim mereka.
Namun, apa lacur sesampainya di negara yang semula sempat
diimpikan, ternyata tidak sesuai yang diharapkan. Boro-boro akan
mendapatkan uang sampai jutaan rupiah sebulan. Lapangan pekerjaan pun
tidak mereka dapatkan. Jadilah mereka pengangguran.
"Kami ini sebenarnya orang-orang hebat dan kaya. Untuk menjadi
pengangguran di negara orang pun terlebih dahulu harus keluar biaya
jutaan rupiah," ujar beberapa TKI yang ditemui Kompas di Terminal Bus
Bandar Seri Begawan (BSB) dengan nada getir, akhir September 2000. Di
terminal yang terletak di pusat Kota BSB itu, setiap hari puluhan
hingga ratusan TKI pengangguran mangkal.
Cerita-cerita duka pun akhirnya terekam dari sejumlah TKI yang
menjadi korban di negara tetangga itu, ketika Kompas menelusuri
kehidupan mereka di Brunei. Impian indah yang bakal dapat diwujudkan
di negara kaya-raya dengan penduduk 330.000 jiwa itu, buyar setelah
satu-dua hari TKI menginjakkan kakinya di Brunei. Mereka tidak bisa
berbuat apa-apa, ketika dihadapkan berbagai persoalan yang
menghadang, terutama ketiadaan lapangan pekerjaan.
"Saya bersama delapan teman-teman sedesa di Pebayuran, Kabupaten
Bekasi, dijanjikan agen yang mengirim kami akan dipekerjakan di
peternakan milik keluarga Kerajaan Brunei. Kenyataannya, ketika
sampai di Brunei ternyata agen kami di negara ini, tidak memiliki
lowongan pekerjaan. Akhirnya kami luntang-lantung tidak karuan. Kerja
apa saja kami lakukan, agar dapat makan," ujar Candra (32), warga
Pebayuran yang datang ke Brunei pada April 2000.
Padahal agar bisa pergi ke Brunei Candra dan delapan temannya,
masing-masing dipungut Rp 14 juta oleh agen pengerah tenaga kerja
bernama Budi, warga Jatinegara, Jakarta Timur. Candra, teman akrabnya
Ujang (36), yang sama-sama mantan pegawai negeri di Pebayuran, dan
tujuh orang yang juga satu desa dengan mereka, mau pergi ke Brunei,
karena dijanjikan mendapat gaji Rp 4 juta per bulan atau 800 dollar
Brunei (ringgit).
"Modal Rp 14 juta yang saya serahkan kepada agen pengerah tenaga
kerja, saya hitung-hitung akan kembali hanya dalam waktu sekitar
empat bulan. Makanya saya nekad menjual beberapa barang di rumah,"
kata Ujang, yang terpaksa meninggalkan istri dan empat anaknya.
Kini Ujang, Candra, dan ratusan hingga ribuan TKI lain di Brunei
yang senasib dengan mereka, akhirnya hanya bisa kerja serabutan
dengan bantuan teman TKI yang mempunyai pekerjaan. Apa pun
pekerjaannya asal menghasilkan uang (halal), akan mereka
lakukan. "
Sejak kecil di Bekasi saya tidak pernah digigit lintah.
Eh, di Brunei saya digigit lintah, ketika bekerja membuka alang-alang
di rawa yang akan dijadikan lahan percontohan pertanian. Gara-gara
digigit lintah, saya sakit tiga hari," kata Candra.
Gaji di proyek pembukaan lahan pertanian itu hanya sebesar 13 ringgit per hari.
Kardi (25) asal Ponorogo, Jawa Timur, pada 22 September akhirnya
merasa lega, karena bisa kembali pulang ke Tanah Air. "Tetapi, saya
tidak membawa uang," katanya.
Bagi Kardi dan ratusan hingga ribuan TKI lainnya, pulang dengan
tangan hampa berarti malapetaka. Bencana lain akan menghadang mereka
di kampung halaman, yakni melunasi utang yang dijadikan mereka
sebagai modal untuk pergi ke Brunei. Tanpa membawa uang saat pulang
untuk membayar utang, bencana akan menghadang.
"Bagaimana kami bisa pulang dengan tenang, kalau masih banyak utang," ujar Ari (23),
perempuan TKI asal Malang ketika ditemui di tempat penampungan TKI
yang mendapat masalah. Mereka berkumpul di Kedutaan Besar Republik
Indonesia (KBRI) di Brunei Darussalam.
Bersama dengan puluhan perempuan TKI lainnya, Ari terpaksa lari
ke KBRI untuk meminta bantuan. Upahnya selama tiga bulan tidak
dibayar majikan. Padahal dia telah bekerja tidak ubahnya seorang
budak dari pagi hingga dini hari. Selain TKI yang gajinya tidak
dibayar, di penampunagn KBRI mirip gudang, juga datang berlindung
perempuan TKI yang telah disiksa majikannya.
GAJI TKI yang tidak dibayar majikannya di Brunei Darussalam,
merupakan persoalan lain yang termasuk paling menonjol yang dialami
ratusan hingga ribuan TKI. Jerih payah, keringat, dan pengorbanan
mereka, sama sekali tidak dihargai oleh majikan warga Brunei.
"Saya heran kok orang Brunei tega melakukan itu. Tega-teganya mereka menipu
kami yang jauh-jauh datang dari Indonesia, dan telah mengeluarkan
modal cukup banyak agar dapat bekerja di sini (Brunei)," kata seorang
TKI di penampungan KBRI.
Kasus gaji tidak dibayar, selalu saja terdengar dari sebagian
besar TKI yang ditemui Kompas di Brunei Darussalam. Bagi perempuan,
TKI jalan yang ditempuh hanyalah dengan meminta bantuan kepada
petugas konsuler di KBRI. Sedangkan laki-laki TKI umumnya berusaha
sendiri, dengan terus memaksa majikannya agar membayar gaji mereka.
Lebih dari 40 orang setiap hari berjejalan di dalam dua ruangan
di gedung belakang KBRI yang lebih tepat disebut gudang. "Setiap hari
pasti ada TKI yang mendapat masalah dengan majikannya yang masuk
KBRI. Setiap hari pula ada TKI yang keluar karena persoalannya
selesai, seperti bekerja di majikan lain atau pulang ke Indonesia,"
kata Achmad DH Irfan, Sekretaris Dua KBRI.
Kasus-kasus yang menyebabkan TKI (terutama perempuan) menderita
gara-gara bekerja di Brunei, terbanyak memang kasus penipuan baik
tentang tidak tersedianya lapangan pekerjaan, tempat kerja tidak
sesuai yang telah dijanjikan agen, maupun tidak dibayarnya gaji.
Kasus yang ditangani KBRI selama 2000 ini tercatat sebanyak 649
kasus. Sebagian dari kasus itu adalah penganiayaan oleh majikan.
Salah seorang TKI perempuan juga ada yang menjadi korban pemerkosaan
majikan laki-lakinya.
Seperti yang dialami Meri (27) TKI asal Depok yang fasih
berbahasa Inggris. Dia dijanjikan bekerja di hotel sebelum berangkat
ke Brunei tiga bulan lalu. Kenyataannya, wanita lajang yang terkena
pemutusan hubungan kerja (PHK) di tempatnya bekerja di Jakarta, hanya
diberi pekerjaan sebagai pelayan kafe.
SEJUMLAH perlakuan tidak manusiawi yang dialami TKI dan sudah
pasti tidak seperti janji-janji yang sebelumnya mereka terima, lebih
disebabkan ulah sejumlah agen pengirim TKI baik liar (tidak resmi)
maupun yang tidak liar yang mengirim mereka. Agen-agen pengirim
berani mencari mangsa karena ada permintaan dari rekanan mereka di
Brunei, yang meminta untuk didatangkan sejumlah TKI.
Padahal seperti yang dikemukakan TKI yang terbilang cukup sukses
di Brunei, Mahmud Sailan (37), tidak semua agen penerima TKI di
Brunei (majikan) mempunyai lapangan pekerjaan. Menurut manajer salah
satu hotel dan kompleks pertokoan di Jalan Tutong ini, agen-agen di
Brunei yang meminta TKI hanya sekadar mencari keuntungan.
"Dengan mendapat kirimna TKI, majikan tersebut mendapatkan fee (bagian
keuntungan) berupa uang jaminan 600 ringgit (sekitar Rp 3 juta) per
orang," kata Mahmud yang juga Ketua Paguyuban TKI (Patki) perwakilan
Brunei Darussalam itu.
Sekretaris Patki pusat, Ali Ramadhan, juga menyatakan
kemasygulannya dengan ulah sebagian agen penerima TKI di Brunei
tersebut. Ade malah mensinyalir, sebagian TKI sengaja diperlakukan
tidak semestinya agar tidak betas hingga dia kabur dari majikan.
Kalau TKI tersebut berhenti sebelum waktunya, si agen akan
mendapatkan keuntungan, dapat memasukkan TKI lain yang menyebabkan
dia kembali mendapatkan keuntungan uang jaminan 600 ringgit.
Sebaliknya bagi TKI yang bersangkutan, kerugian yang diterima aan
berlipat-lipat. Seandainya mereka mendapat pekerjaan di tempat lain,
TKI tersebut harus membayar uang jaminan rutin setiap bulan sebesar
50 ringgit. "Padahal upah TKI yang bekerja sebagai amah (pembantu
rumah tangga) atau pekerja di kebun, hanya sekitar 200 ringgit," kata
Ali.
Adanya dugaan kesengajaan TKI diperlakukan semena-mena di Brunei
Darussalam, juga dikemukakan Ujang (37), warga Pebayuran, Kabupaten
Bekasi. Sesuai kontrak yang dijanjikan agen pengirimnya di Jakarta,
Ujang akan bekerja selama dua tahun. Namun, setelah sampai di Brunei,
ternyata dia hanya mendapat visa bekerja selama enam bulan.
"Rupanya saya hanya menjadi pengisi sisa waktu dari TKI lain yang pulang
karena sengaja diperlakukan tidak manusiawi. Ini semua ulah dari agen
di Brunei yang bekerja sama dengan agen di Indonesia. Sekarang saya
harus memperpanjang visa bekerja saya yang telah habis," katanya.
Semakin sulitnya TKI yang jauh-jauh datang ke Brunei untuk
mendapatkan pekerjaaan, selain akibat kenakalan agen di dua negara,
disebabkan pula oleh masih terpuruknya perekonomian negara kerajaan
itu. Seperti negara lain di Asia Tenggara, Brunei pun terimbas
"penyakit" sejumlah negara di dunia itu. Keterpurukan ekonomi itu,
telah menyebabkan warganya turut merasakannya pula.
Apalagi pemerintah setempat pun mulai memotong dan mengurangi
berbagai macam subsidi kepada warga negaranya. Salah satu
indikatornya, warga Brunei tidak lagi menikmati fasilitas gratis
untuk menikmati tempat rekreasi Jerudong Park, tempat wisata yang
mirip dengan Dunia Fantasi, Ancol, Jakarta.
Data menyebutkan, angka pengangguran di Brunei sekitar 5,1
persen. Menurut Dewan Ekonomi Brunei (DEB), sekitar seperempat dari
tamatan sekolah antara tahun 1992-2001 akan sulit mendapatkan
pekerjaan. Selama ini, 75 persen angkatan kerja di Brunei bekerja di
pemerintahan. Belum diketahui data akhir tentang produk domestik
bruto Brunei. Pada tahun 1997 tercatat PDB Brunei sebesar 14.800
dollar AS, terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Singapura.
Segala macam latar belakang masalah yang tengah melanda Brunei
ternyata kurang mendapat tanggapan calon TKI. Mereka terus
berdatangan dan ingin ikut bertarung di negara kaya tersebut.
Warga negara Brunei sendiri, juga belum berubah sikap dalam
menghadapi masalah perekonomian negaranya. Mereka masih juga mau
mempekerjakan TKI, bahkan sebagai amah sekalipun. Kadang mereka
mendatangkan tenaga kerja asing termasuk TKI, hanya demi gengsi
dengan lingkungan sekitarnya.
GARA-gara gengsi sebagian warga Brunei itu pula lah, yang pada
akhirnya menyebabkan munculnya penderitaan pada kalangan TKI. Dalam
daftar yang tercatat di KBRI saja, jumlah TKI yang tidak dibayar
majikannya itu selama Januari-Agustus 2000 lebih dari 600 orang.
"Tetapi yang tidak melapor ke KBRI lebih banyak lagi Mas. Laki-laki
TKI kebanyakan berusaha sendiri meminta gajinya yang ditahan
majikan," ujar Kadir (23), TKI asal Kediri, Jawa Timur.
Berbagai persoalan yang dihadapi ratusan hingga ribuan TKI,
sebenarnya telah mendorong pihak KBRI di Brunei Darussalam untuk
berusaha sebisa mungkin mencegahnya. Atase Pertahanan KBRI, Slamet
Hariyanto, dalam pertemuannya dengan sejumlah TKI yang tergabung
dalam Patki di Brunei Darussalam mengingatkan, perlunya tindakan dari
aparat terkait untuk mengambil tindakan terhadap agen-agen liar
pengirim TKI di Tanah Air. Agen liar merupakan salah satu penyebab
utama persoalan yang dialami TKI.
Kasus tidak dibayarnya gaji TKI memang yang paling menonjol
terjadi di Brunei Darussalam. Dalam catatan KBRI disebutkan, selama
periode 1 April 1998-31 Maret 1999, sebanyak 268 TKI yang gajinya
tidak dibayar majikan. Urutan kedua sebanyak 246 kasus TKI
diperlakukan kasar oleh majikan. Selanjutnya, kerja tidak sesuai
kontrak 79 kasus, dan telantar/tertipu agensi/tidak ada kerja 59
kasus.
Cukup banyaknya perlakuan tidak manusiawi terhadap TKI di Brunei
Darussalam, sebagian dari mereka berharap agar pemerintah
menghentikan pengiriman TKI baru ke Brunei.
(Agus Mulyadi, dari Brunei Darussalam)