KOMPAS - Minggu, 10 Nov 1991 Halaman: 8 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 7956
Kompleks Makam Sunan Gunung Jati
MENYIMPAN BUKTI SEJARAH HUBUNGAN DENGAN CINA
KOMPLEKS Makam Sunan Gunung Jati, sekitar 10 kilometer utara
pusat kota Cirebon, mempunyai nilai historis yang tinggi. Nama ini
mengambil nama salah seorang Walisanga penyebar Islam di Jawa,
Sunan Gunung Jati, yang dimakamkan di kompleks ini.
Sebutan Makam Gunung Jati oleh para peziarah dan penduduk
sekitar Cirebon itu sebenarnya meliputi dua tempat berbeda. Kompleks
pemakaman yang satu terletak di Gunung (Bukit) Jati, dan satunya
lagi berada di sebelah barat berada di Gunung (Bukit) Sembung. Kedua
bukit itu dipisahkan jalan raya Indramayu-Cirebon dan beberapa rumah
penduduk.
Gunung Sembung sebenarnya tempat Sunan Gunung Jati dimakamkan.
Sedangkan yang dimakamkan di Gunung (Bukit) Jati antara lain Syekh
Idlofi Mahdi, ulama yang lebih dulu menyebarkan Islam di daerah
sekitar wilayah ini.
Pada permulaan abad ke-15 di utara Gunung Jati sekarang,
terdapat Pelabuhan Muara Jati yang disinggahi pedagang dari India,
Arab, dan Cina. Waktu itu Ki Surawijaya yang menjadi penguasa daerah
dan Syahbandar Muara Jati adalah Ki Jumajan Jati. Salah seorang di
antara pedagang, Syeh Idlofi Mahdi yang datang pada tahun 1420
Masehi, minta izin untuk tinggal di tempat ini guna memperlancar
usaha dagangnya. Dia diizinkan tinggal di Kampung Pasambangan di
mana terletak Bukit Jati.
Dari tempat itulah Syeh Idlofi Mahdi mulai berdakwah tentang
agama Islam, dan mengajak penduduk sekitar memeluk Islam. Dan agar
mereka yang menjadi muridnya lebih tenang mempelajari agama baru
itu, ia kemudian memilih tempat di Gunung Jati untuk kegiatan
pengajaran agama. Akhirnya tempat ini dikenal sebagai Pengguron
Jati. Di luar waktu dakwah, kebiasaan Syekh Idlofi adakah tafakur
sendirian di salah satu gua di puncak Gunung Jati. Karena itulah
para santrinya memanggil dia dengan nama Syekh Dzatul Kahfi, yang
artinya "sesepuh yang mendiami gua". Selain sebutan itu, karena
Gunung Jati menjadi bersinar dengan syiar Islam yang diajarkannya,
maka masyarakat Pasambangan menghormatinya sebagai Syekh Nur Jati
yang artinya "sesepuh yang menyinari Gunung Jati".
Salah seorang murid Syekh Dzatul Kahfi adalah Ratu Rarasantang,
salah seorang puteri Prabu Siliwangi dari Padjadjaran. Ia ibunda
Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Ratu Rarasantang bersama kakaknya -- Raden Walangsungsang yang
kemudian dikenal sebagai Pangeran Cakrabuwana pendiri Cirebon --
memperdalam agama Islam.
Penyebar pertama Islam di Cirebon itu sampai akhir hayatnya
tinggal di Gunung Jati dan dimakamkan di puncak gunung ini. Sampai
sekarang, makam itu menjadi salah satu tujuan peziarah.
***
PANGERAN Cakrabuwana yang tinggal di Tegal Alang-alang kemudian
diangkat menjadi akuwu (kepala daerah) di padukuhan itu. Padukuhan
ini semakin berkembang dan kemudian dikenal sebagai Caruban.
Perkembangannya semakin pesat sehingga menjadi sebuah negeri dengan
nama Nagari Caruban Larang (asal mula Cirebon sekarang). Meski
kesibukannya bertambah, Pangeran Cakrabuwana tetap rutin mengunjungi
gurunya di Gunung Jati. Ia kemudian membangun sebuah taman di Gunung
Sembung (sebelah barat Gunung Jati). Di tempat inilah Syarif
Hidayatullah kemudian tinggal bersama ibunya, Nyai Rara Santang yang
kemudian dikenal dengan nama Syarifah Mudaim. Alasan sang ibunda
agar selalu dekat dengan makam gurunya, Syekh Dzatul Kahfi.
Dari Gunung Sembung inilah Syarif Hidayatullah -- yang kelak
diangkat sebagai penguasa Nagari Caruban oleh Pangeran Cakrabuwana
dengan gelar Susuhunan atau Sunan -- mulai mengajarkan Islam
sebagai penerus di Pangguron Gunung Jati.
Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung
Jati, setelah wafat dimakamkan di Gunung Sembung. Pada masa-masa
selanjutnya tempat itu dijadikan tempat pemakaman raja-raja dan
kerabat Keraton Cirebon.
***
KOMPLEKS pemakaman Gunung Sembung dan Gunung Jati, selalu ramai
dikunjungi orang yang berziarah. Bahkan dalam setiap Jumat Kliwon
ribuan peziarah datang, sehingga jalan raya antara Cirebon-
Indramayu ditutup dan lalulintas dialihkan ke ruas jalan lain.
Kepadatan pengunjung mencapai puncaknya pada waktu Muludan, perayaan
Maulid Nabi Muhammad SAW. Jalan ditutup untuk beberapa hari akibat
membludaknya pengunjung.
Sebenarnya peziarah tidak bisa melihat langsung dan mendekati
makam Sunan Gunung Jati. Mereka dibatasi sampai di depan pintu
serambi muka yang dikenal dengan Selamatangkep. Sekali-sekali pintu
ini dibuka beberapa menit. Dan dari pintu inilah akan terlihat
tangga dan beberapa pintu yang menuju makam Sunan Gunung Jati di
bagian puncak Gunung Sembung. Di sebelah timur pemakaman ada masjid
yang dikenal dengan nama Masjid Astana Gunung Jati.
Di kompleks ini dimakamkan pula seorang puteri Cina, Ong Tien,
yang dikenal juga dengan nama Rara Sumanding, salah seorang istri
Sunan Gunung Jati. Karena itu untuk peziarah Cina disediakan
ruangan khusus di bagian barat dalam serambi muka itu.
Kompleks pemakaman Gunung Sembung dijaga oleh 108 orang
petugas. Konon jumlah itu bermula dari jumlah pasukan di bawah
pimpinan Adipati Keling yang menjadi salah satu taklukan Sunan
Gunung Jati. Petugas di pemakaman dibagi menjadi sembilan kelompok
masing-masing 12 orang, dan berjaga bergilir selama 15 hari. Mereka
diketuai seorang Bekel Anon dan seorang Bekel Sepuh, yang berasal
dari Keraton Kanoman dan Keraton Kasepuhan di Cirebon.
Pengunjung kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati, sebagian di
antaranya berziarah dengan tujuan mencari berkah. Hingga tidak aneh,
jika di kompleks itu banyak orang-orang yang mencari "berkah
langsung". Mereka adalah sekelompok pengemis. Baik anak-anak,
wanita, maupun laki-laki dewasa.
***
DI kompleks pemakaman Gunung Sembung terdapat sembilan macam
pintu, yang memisahkan makam-makam kerabat keraton di Cirebon. Pintu
Gapura, Pintu Krapyak, Pintu Pasujudan, Pintu Ratna Komala, Pintu
Jinem, Pintu Rawagora, Pintu Kaca, Pintu Bacem, dan Pintu Teratai.
Pintu-pintu itu membatasi suatu ruangan dalam ketinggian berbeda
menuju ke puncak gunung, di mana terdapat makam Sunan Gunung Jati,
makam sebagian istri-istrinya, serta kerabat keraton lainnya.
Pemandangan mencolok mata lainnya yang akan dijumpai pengunjung
adalah banyak ditempelkannya piring keramik kuno asal Cina. Hampir
di semua bagian kompleks pemakaman, keramik-keramik kuno ini di
tanam ke dalam dinding. Diduga benda-benda ini berasal dari
saudagar-saudagar Cina yang berdagang di Cirebon pada zaman itu, dan
bawaan puteri Ong Tien dari negaranya.
Di bagian lain yaitu di serambi muka akan ditemui guci-guci
kuno. Salah seorang dari empat ulama Cina yang berkunjung ke
Cirebon, Haji Iman Soleh Anchi Wei, Imam di Masjid Dongxi, Beijing,
yang berkunjung ke kompleks pemakaman ini Selasa (23/10),
melontarkan kekagumannya atas masih tersimpannya guci-guci kuno
tersebut. Padahal di Cina sendiri, guci-guci seperti itu sudah
merupakan barang langka.
Keluarga Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman melakukan ziarah
pada saat Gerebeg Syawal (Lebaran). Pada waktu itu pintu-pintu
dibuka, untuk memberi kesempatan keluarga keraton mengirimkan doa.
Namun pengunjung umum tetap tidak dibolehkan masuk ke bagian-bagian
makam kerabat keraton, dan hanya sampai di depan Pintu Selamatangkep
di serambi muka itu. Dari tempat itulah pengunjung mengirimkan
doanya. (agus mulyadi)
Foto: 1
Kompas/bsp
ZIARAH -- Peziarah di Makam Sunan Gunung Jati - Cirebon tengah
mengirim doa kepada salah seorang Walisanga ini. Mereka hanya bisa
mendekat sampai batas Pintu Selamattangkep.