Kamis, 15 November 2007

Jonggol Terlalu Lama Terkungkung

KOMPAS - Senin, 23 Dec 1996 Halaman: 1 Penulis: MUL/BOY/IRA/LOM Ukuran: 10454

JONGGOL, TERLALU LAMA TERKUNGKUNG
YAKUN (21) begitu bersemangat menjelaskan masa depan Jonggol.
Tangan kanan kecuali ibu jari, empat lainnya ditekuk menunjuk
bergantian ke semua arah. Raut wajahnya sangat ceria, menjelaskan apa
saja yang akan dibangun. Di sana hotel, di situ vila, di sana lagi
kolam renang, dan restoran.

"Pokoknya, pariwisata Jonggol mau menyaingi Puncak," katanya.
Siapa yang mau membangun?
"Orang-orang Jakarta. Sebagian besar bukit dan lembah di sini sudah
dibeli mereka. Ada yang mau bangun hotel, vila, dan sebagainya. Ada
juga yang mau menjualnya bila harga cocok. Peranan saya, menghubungkan
calon pembeli dengan pemilik... siapa tahu dapat komisi," tutur Yakun.

Orang-orang Jakarta?
"Betul, persinggungan Jonggol dengan mereka dimulai sekitar 1971,"
kata H Omi (67), sesepuh warga Jonggol yang ditemui di Dusun
Gunungbatu. Dia lahir dan besar di Jonggol selatan.

Ketika jalan aspal dari Desa Jonggol, ibu kota kecamatan, mulai
dibangun menuju kawasan perbukitan di selatan, jumlah orang-orang
Jakarta yang datang makin banyak. Sebelumnya, kalau pun ada yang
datang hanya untuk berburu rusa, kelinci, dan ayam hutan.

"Dan sejak itu terjadi transaksi jual-beli tanah," kata H Omi.
Dia tidak tahu persis luas areal yang sudah dikuasai orang-orang
Jakarta. "Tetapi, rasanya yang kini menjadi milik warga hanyalah
lahan-lahan pertapakan rumah," katanya.

Kepala Dusun I Desa Sukajaya, Encun, melukiskannya dengan angka.
Katanya, di dusun itu 70 hektar lahan warga sudah dijual kepada
orang-orang Jakarta.

"Artinya, seluruh dusun sudah dijual, kecuali pertapakan rumah," kata
Encun.

Di Desa Sukadamai, menurut seorang warganya, Rachmat, 200 hektar
lahan pertanian kering sudah dijual kepada orang-orang Jakarta. Itu
mencakup semua lahan usaha pertanian warga. Yang masih tersisa hanyalah
tanah pertapakan dan pekarangan rumah.

H Omi percaya, kasus sama juga terjadi di desa-desa lain.
"Lembah dan lereng-lereng perbukitan di selatan ini, hampir bisa
dipastikan sudah milik orang-orang Jakarta," katanya.

Karena tak lagi memiliki lahan, menurut H Omi, warga tak hirau tentang
rencana Jonggol akan dijadikan kawasan pariwisata seperti yang dituturkan
Yakun. Seperti juga Yakun, warga lain sering mendengar rencana itu. Tetapi,
karena "tanah Jonggol bukan lagi milik mereka", warga merasa rencana itu
tak ada kaitan dengan mereka.

Pemilik baru orang-orang Jakarta lalu menanam cengkeh dan menggaji
warga mengurusnya. Awalnya pohon cengkeh tumbuh bagus, tetapi setelah
3-4 tahun lalu mati. Orang-orang Jakarta kecewa dan menitipkan
tanahnya kepada warga dengan pesan, boleh mengolah dan menikmati
hasilnya. Dengan cara itu, gaji pun dihentikan. Pemilik baru juga
berpesan bila ada yang mau membeli, dijual saja.

SEJAK November Jonggol memang menjadi buah bibir. Sebuah perusahaan
swasta, PT Bukit Jonggol Asri (BJA) mengajukan gagasan membangun
sebuah kawasan kota mandiri namanya Bukit Jonggol Asri di Jonggol.
Luasnya 30.000 hektar, separoh luas Jakarta atau dua kali luas
Kotamadya Bandung.

Gagasan itu disampaikan kepada Gubernur Jawa Barat bulan Mei 1995
dan bulan Oktober 1995 Gubernur R Nuriana mengirim surat kepada Bupati
Bogor. Isinya, supaya bupati mengamankan lokasi kota mandiri tersebut.
Diawasi, tidak terjadi jual-beli tanah, apalagi bila tujuannya adalah
untuk spekulasi.

Hanya sebatas itu kabar yang diketahui aparat Kecamatan Jonggol.
"Lokasinya, kita tak tahu persis," kata Henry Bahawan, Kepala Urusan
Pemerintahan Kecamatan Jonggol.

Kabar yang diterima aparat kecamatan dan kabar itu diakui belum
pernah dikonfirmasikan kota mandiri BJA akan berlokasi di Jonggol
selatan. Warga menyebut kawasan itu lingkar selatan. Sebuah kawasan
perbukitan yang bersambung di selatan dengan Megamendung - Puncak -
Pacet. Di tenggara bertetangga dengan Kecamatan Cariu yang belakangan
ini menjadi jalur alternatif ke Cianjur apabila jalur Puncak Padat.

"Yang membangun, swasta bekerja sama dengan Pemda Jawa Barat," kata
gubernur.

Lokasi yang diajukan PT BJA berada di 16 desa di kawasan perbukitan
Jonggol selatan. Luas 16 desa itu sekitar 13.000 hektar sudah
termasuk 6.100 hektar kawasan hutan atau hampir separoh luas
kecamatan (24.640 hektar) itu sendiri. Dihuni 59.116 jiwa,
terpecah-pecah dalam perkampungan-perkampungan kecil. Jumlah penduduk
kecamatan, 129.621 jiwa dengan kepadatan 414 jiwa/kilometer persegi.
Terpadat, di Desa Jonggol, ibu kota kecamatan, dihuni 10.412 jiwa,
sementara luas desa hanya 64 hektar.

Karena tidak mencukupi 30.000 hektar, kekurangannya diajukan PT BJA
dari sejumlah desa di Kecamatan Cariu tetangga Jonggol di tenggara -
serta Citeureup dan melebar ke kawasan Sentul.

"SECARA fisik, Jonggol dekat dengan Jakarta tetapi jauh dari
pembangunan," kata H Omi yang mengaku tidak tahu dan belum pernah
mendengar gagasan kota mandiri itu. Karena itu, bila benar mau
dibangun, menurut dia memang sudah saatnya Jonggol diperhatikan.

Hari Rabu (18/12) Presiden Soeharto sudah menyetujui pembangunan
kota mandiri BJA dengan catatan, pembangunan itu harus sesuai dengan
cita-cita bangsa. Yakni mencapai masyarakat adil dan makmur dan bukan
justru memelaratkannya (Kompas, 19/12).

"Puluhan tahun ini kita hanya bisa menikmati kemajuan daerah lain,"
kata H Omi sambil menunjuk ke sebuah tempat yang lebih tinggi di bawah
kaki Gunungbatu. "Bila cuaca baik, di malam hari kita bisa lihat
gemerlapnya lampu-lampu Cileungsi atau Jakarta dari situ" katanya.
Listrik baru bisa dinikmati lima dari 16 desa di lingkar selatan itu.

Sejumlah bangunan rumah permanen memang bermunculan sejak orang-orang
Jakarta membeli tanah di situ. Tetapi, kehadiran rumah-rumah bagus itu
tak ada artinya untuk warga. "Kalau misalnya itu vila dan pelancong
silih-ganti, mungkin sayur dan pisang warga bisa dijual," kata H Omi.

Yang terjadi, rumah-rumah itu lebih sering kosong. Pemilik hanya
sesekali datang, itu pun sudah lengkap membawa persediaan makanan dari
kota. Orang-orang Jakarta menggaji warga setempat -semisal pekerjaan
Yakun sekarang menjaga rumah dan tanahnya. Tetapi H Omi dan warga
lainnya bisa memahami mengapa rumah-rumah bagus itu lebih sering tak
dihuni.

"Jalan saja belum beres," kata H Omi menunjuk salah satu soal dan
sudah lama menjadi biang dari beragam soal yang kemudian muncul di
Jonggol. Salah satunya, warga justru gembira melepas tanahnya begitu
ditawar orang-orang Jakarta karena tak tahu harus berbuat apa lagi
dengan lahan itu. Proses itulah yang terjadi sehingga akhirnya
orang-orang Jakarta bagaikan semut ramai-ramai memborong tanah di
Jonggol selatan.

JALAN aspal tetapi kondisinya kini berlubang-lubang dan aspalnya
sebagian besar sudah terkelupas dari Desa Jonggol ke desa-desa di
selatan baru mencapai Dusun Gunungbatu-I, panjang sekitar 29
kilometer. Jalan itu dibangun secara bertahap sejak 1971 dan baru tiba
di Dusun Gunungbatu tahun 1994.

"Satu tahun kadang hanya dikerjakan satu kilometer," kata H Omi.
Alhasil, jalan yang panjangnya 29 kilometer itu baru selesai setelah
23 tahun. Sementara membangun maju ke depan, jalan "di belakangnya"
sudah pula mulai rusak. Berlubang-lubang lagi dan itu artinya kembali
ke kondisi awal - ketika masih berupa jalan tanah -yang dulu membuat
kawasan selatan tersebut terisolasi.

Hasil pertanian: padi, pisang, bawang panjang, jagung, petai, jengkol,
dan durian (durian Jonggol terkenal enak) tak bisa dipasarkan langsung
oleh petani ke Jakarta atau Bekasi untuk mendapat harga bagus.
Terpaksa dijual kepada pedagang pengumpul yang turun ke desa-desa.
"Soal harga, mereka yang tentukan," kata H Omi.

Pisang misalnya, dibeli pedagang pengumpul Rp 500/tandan besar. Bila
dibawa langsung ke Jakarta atau Bekasi bisa dijual kepada pedagang
eceran Rp 3.000. "Yang menjadi soal, angkutan," kata H Omi.

Desa-desa di selatan dilayani angkutan pik-up hanya sekali dalam
sehari. Pagi berangkat dari Desa Jonggol ibu kota kecamatan dan
siang kembali lagi. Dari Desa Jonggol sudah banyak pilihan, baik ke
Jakarta atau Bekasi. Tetapi, karena berangkat dari desa sudah siang,
tiba di Desa Jonggol kadang sudah malam. Sebab, jarak 29 kilometer itu
karena kondisinya ditempuh sekitar empat jam.

Pisang bisa juga dijual di Desa Jonggol. Tetapi perbedaan harga tak
ada artinya bagi petani. "Paling-paling Rp 100-Rp 200 di atas ongkos.
Ongkos satu tandan besar/kecil, Rp 1.000. Pedagang eceran atau
pengumpul di Desa Jonggol paling membelinya dengan harga Rp 1.700 atau
Rp 1.800," kata H Omi.

Karena itu, petani selatan tak pernah mau menjualnya di ibu kota
kecamatan. Perbedaan harga yang diterimanya cuma seratus-dua ratus
rupiah dibanding dijual kepada pedagang pengumpul. Untuk mendapat
harga bagus harus ke Jakarta atau Bekasi. Tetapi itu artinya
perjalanan dua-setengah hari. Bila tiba di Desa Jonggol malam hari,
menginap dulu dan esoknya baru ke Jakarta atau Bekasi.

Lalu, kembali lagi ke Jonggol, hari sudah siang. Mobil pik-up sudah
keburu berangkat. Terpaksa tunggu lagi satu malam. Bisa juga petani
memilih naik ojek yang jumlahnya cukup banyak di Desa Jonggol. Ongkos
satu orang, Rp 5.000 untuk jarak 29 kilometer itu. "Padahal, yang
dijual hanya 2-3 tandan." kata H Omi.

Kondisi itu membuat petani memilih "diatur" oleh pedagang pengumpul.
"Sepintas orang lalu mengira kami ini pemalas," kata H Omi. Harga yang
ditentukan sepihak oleh pedagang pengumpul dan selalu harus diterima,
selain tidak ada pilihan juga kebutuhan dapur mendesak membuat petani
kecewa dan tertekan. Pada gilirannya, petani lalu "ogah-ogahan" dengan
hidupnya.

PASAR lain untuk hasil-hasil pertanian Jonggol selatan adalah
kawasan wisata Puncak-Pacet-Megamendung. Petani bisa mencapai pasar itu
dari Desa Sukawangi. Sukawangi Cimacan sudah dihubungkan oleh jalan
aspal meski masih jalan desa yang mulus.

Sukawangi belum terhubungkan dengan desa-desa lain, karena jalan
aspal baru sampai Desa Gunungbatu. (agus mulyadi/boy/ira/lom)