KOMPAS - Kamis, 21 Nov 2002 Halaman: 1 Penulis: mul; cal Ukuran: 6307
KETIKA BURUH MULAI MENGHITUNG HARI
ALAM rupanya masih mau bersahabat dengan orang-orang kecil. Kota
Tangerang yang biasanya dipanggang terik Matahari, sepanjang Selasa
(19/11) lalu terasa lebih sejuk. Mendung yang memayungi Kota
Tangerang membantu ketahanan tubuh ribuan buruh PT Doson Indonesia
yang tengah melakukan aksi jalan kaki di jalan-jalan kota tetangga
DKI Jakarta itu.
Namun, rupanya pada hari itu hanya alam yang masih mau bersahabat
dengan ribuan buruh PT Doson. Perlakuan adil yang seharusnya
diperoleh buruh ternyata masih jauh panggang dari api. Nasib baik
belum mau memayungi buruh yang tengah menuntut hak uang pesangon
tersebut.
Sebanyak 6.822 buruh PT Doson Indonesia di Jalan Raya Legok,
Kabupaten Tangerang, yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK),
siang itu menuntut pihak pengusaha untuk membayar pesangon yang
menjadi hak mereka. Ribuan buruh tersebut sengaja berjalan kaki di
jalan-jalan utama Kota Tangerang dalam rangka menarik perhatian orang
banyak agar peduli terhadap nasib mereka.
Beberapa menit sebelum aksi turun ke jalan itu, para pengunjuk
rasa menerima kabar buruk dari panitera di Pengadilan Negeri (PN)
Tangerang, tempat buruh PT Doson berunjuk rasa sejak pagi.
Disebutkan, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memenangkan
gugatan pihak manajemen PT Doson terhadap Surat Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (SK Mennakertrans) Nomor Kep.197/
MEN/2002 tanggal 11 Oktober 2002. Di dalam SK itu ditetapkan besarnya
pesangon buruh Doson sebesar dua kali Peraturan Menteri Tenaga Kerja
(PMTK) Nomor 150/2000.
Mendengar kabar itu, mereka semakin frustrasi. Ribuan buruh Doson
tersebut akhirnya melampiaskan kekesalannya dengan berjalan kaki
sejauh empat kilometer, yang berujung pada pembubaran paksa yang
dilakukan oleh aparat kepolisian saat mereka memasuki gerbang tol
Tangerang dan jalan tol Jakarta-Tangerang.
"HARI (Rabu-Red) ini kami sementara menghentikan aksi unjuk rasa.
Aksi kami selanjutnya akan mendatangi kantor pusat PT Doson di Jalan
Sudirman, Jakarta. Pak Mennakertrans juga akan menyatakan banding
terhadap putusan PTUN Jakarta. Kami tidak akan menyerah dan tetap
akan berjuang menuntut pesangon," kata Djoko Haryono, Ketua Pengurus
Unit Kerja Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit (PUK SPTSK) PT
Doson, melalui telepon, kemarin.
Perjuangan mendapatkan hak pesangon sesuai dengan penetapan
Mennakertrans Jacob Nuwa Wea, saat ini menjadi idaman buruh Doson.
Mereka sadar, uang itulah nanti yang bakal memperpanjang napas
mereka, baik untuk mencari pekerjaan baru maupun sekadar bertahan
hidup.
Perjuangan ribuan buruh Doson di bulan Puasa ini, bahkan semakin
gigih dilakukan. Salah satu sebabnya, Hari Idul Fitri sudah di depan
mata. "Saya tidak yakin pesangon bisa diperoleh sebelum Lebaran. Ini
kenyataan pahit, sebab kami kini sungguh tidak memiliki uang lagi,"
kata Suryati (22), salah seorang buruh Doson.
Suryati dan teman-temannya, termasuk Diani (26), mengaku gaji
mereka selama ini yang besarnya hanya sedikit lebih besar dari upah
minimum kabupaten (UMK) Tangerang, sebesar Rp 590.000 per bulan,
hampir tidak bersisa.
"Bahkan, untuk membayar uang kontrakan rumah bulan depan, saya
tidak punya uang lagi. Kalau sudah seperti itu, bagaimana kami bisa
merayakan Lebaran," kata Diani, buruh asal Bima, Nusa Tenggara Barat.
Diani dan Suryati menyatakan, saat ini mereka berdua bahkan sudah
mulai berutang kiri dan kanan. Warung makanan di dekat tempat mereka
mengontrak rumah bedeng adalah salah satu tempat yang paling sering
menjadi "korban" utang. "Saya hanya bisa berharap pengusaha segera
membayar pesangon kami sesuai dengan keputusan Pak Menteri
(Menakertrans-Red)," ujar Diani.
Sama seperti Suryati, Diani, dan ribuan buruh PT Doson lainnya,
Ny Imung (38) dipastikan tidak dapat berlebaran di kampung halaman
maupun di tempat mereka sekarang berdomisili di Tangerang. Karena
faktor uang itu, Imung memastikan dirinya tidak pulang kampung pada
Lebaran tahun ini.
Buruh yang sudah delapan tahun bekerja di PT Doson itu, kini
bahkan tinggal menghitung hari. Persediaan uangnya semakin menipis
sehingga semakin pupus harapan dia dan keluarganya untuk mengarungi
hidup di masa depan dengan lebih baik.
Padahal, sebelumnya Imung telah berencana untuk berlebaran di
rumah mertuanya di Solo, Jawa Tengah. Niat itu muncul, karena telah
beberapa tahun ini Imung dan keluarganya tidak pulang ke Solo untuk
berlebaran.
"Suami saya pada tahun ini sebenarnya ingin sekali pulang
berlebaran ke Solo. Apalagi saya mendengar, mertua saya yang sudah
berusia 90 tahun menyatakan sudah rindu ingin bertemu dengan anak dan
cucu-cucunya," kata Imung.
Gara-gara PT Doson melakukan PHK secara massal, dan sampai kini
buruh belum mendapatkan pesangon, Imung, suaminya, Sutoyo, dan
anak-anak mereka terpaksa harus memendam rindu yang mendalam kepada
orangtua yang mereka kasihi.
Baik Imung maupun Sutoyo yang sama-sama bekerja di PT Doson,
hanya mengandalkan pesangon dari bekas perusahaan tempat mereka
bekerja. Uang pesangon tersebut akan mereka gunakan untuk
melampiaskan rasa kangen pada ibu yang sangat dikasihi, dan juga
dapat dimanfaatkan untuk memulai hidup baru. Setelah itu, mereka
tidak tahu harus bagaimana menghadapi hari-hari berikutnya.
Seorang buruh PT Doson lainnya, Sari Siregar (32), juga
menyatakan ketidaksanggupannya untuk mudik Lebaran ke Medan. "Ongkos
bus untuk pulang kampung ke Medan pada tahun lalu Rp 230.000, sekali
jalan. Kami sekarang tidak punya uang sebanyak itu lagi supaya bisa
pulang kampung," ujar Sari dengan suara pelan.
Buruh PT Doson sekarang umumnya merasa pesimistis dapat pulang
dan berlebaran di kampung halaman. Pihak pengusaha yang selama
belasan tahun memerah tenaga buruh pabrik sepatu tersebut dianggap
tidak lagi memperhatikan nasib mereka, yang kini laksana tertutup
awan hitam.
Mendung yang menghadang hidup mereka di masa kini dan
mendatang tampaknya tak senyaman mendung yang meneduhi mereka saat
berjalan kaki di jalan-jalan Kota Tangerang siang itu.... (agus mulyadi/cal)