Senin, 12 November 2007

Bisnis Batu Bisnis Selera

KOMPAS - Sabtu, 03 Jul 1993 Halaman: 8 Penulis: HARIJONO, TRY/MULYADI, AGUS/WIDIASTONO, TONNY D Ukuran: 8517
BISNIS BATU, BISNIS SELERA

DALAM sebuah pameran batu akik di Hotel Borobudur Jakarta
beberapa waktu lalu, seorang pedagang menjual batu mulia berbentuk
cincin seharga Rp 5.000. Sudah enam jam ia menunggu, tak ada seorang
pun yang tertarik untuk membeli. Padahal, di sebelahnya ada pedagang
yang menjual batu-batuan sejenis dengan harga lebih tinggi dan
diserbu pembeli. Pedagang itu pun ikut-ikutan menaikkan harga.
Aneh tapi nyata. Ketika harga itu dinaikkan menjadi Rp 20.000,
sekitar 100 batu cincin habis terjual hanya dalam tempo dua jam.
Dagangannya pun cepat laku bak pisang goreng.
Sulit menentukan harga batu akik. Tidak ada standar harga dalam
penjualan. Lain halnya dengan emas," kata Emen Sulaeman (45), mantan
Ketua Koperasi Kerajinan Rakyat (Kopinkra) Bhakti, Sukabumi.
Bisnis batu mulia adalah bisnis selera. Jika sudah suka, berapa
pun harganya tak akan menjadi masalah bagi pembeli.
"Sstt..., saya baru saja menjual batu mulia seharga Rp 2 juta.
Padahal, harga bahan mentahnya hanya Rp 50.000," kata salah seorang
pedagang setengah berbisik kepada temannya.
Dalam hal seperti itu, pedagang memang tidak bisa disalahkan
begitu saja. Dia bukannya membohongi, tetapi pembeli yang kadang
justru lebih suka pada jenis bebatuan yang harganya mahal. "Kalau
dijual murah, kadang pembeli kurang puas dan mengira batu itu kurang
berharga," lanjut Emen.
Meski demikian, ada beberapa jenis batu yang harganya bisa
mahal, karena dipengaruhi oleh faktor keindahan, ketahanan,
kekerasan, atau kelangkaan. Berdasar faktor ini, batu mulia
digolongkan menjadi tiga yaitu batu permata (precious stones),
setengah batu permata (semi precious stones), dan batu hias
(ornamental stones).
Jenis batu-batuan yang termasuk batupermata adalah intan,
garnet, giol, topas, turmalin, rubi dan safir. "Batu dari kelompok
ini dinilai paling indah, keras dan langka. Karena itu, harganya
lebih mahal dibanding jenis batuan lainnya," kata HR Wilher
Simanjuntak, Kepala Seksi Batu Mulia, Direktorat Sumber Daya
Mineral, Geologi Bandung.
Batuan yang termasuk kelompok semi permata antara lain
kalsedon, rijang, kuarsa, zirkon, jasper, hematit atau batu darah,
batu satam dan akik yang masih terbagi-bagi menjadi beberapa macam
seperti akik lumut, akik darah, akik bergambar, akik renda, akik
lapis, akik sulaeman dan sebagainya. Sedangkan yang tergolong batu
hias antara lain oniks, serpentin, kalsit, obsidian, dan fosil.
"Meski termasuk kelompok ketiga, fosil bisa lebih mahal
harganya dari akik, kecubung atau intan, jika pembelinya
menyukainya," lanjut Wilher.
Ungkapan Wilher tidak berlebihan. Supriatna (35) pedagang batu
mulia di Sukabumi, menjual fosil bambu dengan ukuran panjang sekitar
satu meter seharga Rp 7 juta. "Usianya sudah tua dan fosil bambu
termasuk langka. Kebetulan pembelinya suka, sehingga kami jual cukup
mahal," kata Supriatna.
***
MENURUT Wilher, batu mulia tersebar hampir di seluruh Indonesia.
Berdasar penelitian geologi, tidak kurang dari sembilan jenis batu
permata, 14 macam semi permata, dan enam jenis batu hias sudah
diketahui lokasinya di Indonesia. Untuk Jabar, daerah yang punya
potensi besar batu hias adalah Sukabumi Selatan, dengan sentra
industri di Kecamatan Segaranten, Kecamatan Cimerang dan Kecamatan
Sukaraja. Di Kecamatan Sukaraja, para perajin menjajakannya di toko-
toko kecil pada lintas Bandung-Sukabumi-Jakarta.
"Jumlah perajin batu mulia di Sukabumi sekitar 1.500 orang,"
tambah Drs Ade Sumpena, Kepala Seksi Industri Kecil, Dinas
Perindustrian Kabupaten Sukabumi.
Perajin batu-batu itu selain di Sukabumi juga terdapat di
Pacitan dan Kalimantan Selatan. Meski demikian, tidak semua batu
yang dijual di daerah Jabar (sentra Sagaranten, Cimerang, dan
Sukaraja) berasal dari Sukabumi. "Kami juga mendatangkan batu dari
Sumut, Sumsel, NTB dan lainnya," kata H. Iskandar.
Fosil misalnya, didatangkan dari Bayah, Kabupaten Lebak dan
Sumatera. Oniks didatangkan dari Jatim. Sedang yang banyak terdapat
di kawasan Sukabumi, merupakan batuan jenis akik. Dalam prakteknya,
para perajin tidak mencari batu-batuan itu sendiri. Biasanya para
pemburu atau penambang batu, datang sendiri kepada perajin untuk
menjual batu yang ditemukannya. Transaksi harga dilakukan, baik
dihitung per kilo seperti fosil atau per biji jika batuan itu
tergolong bagus.
"Kadang-kadang batu yang dikirim tidak sesuai dengan selera
sehingga perajin harus mencari langsung ke lokasi," tambah Emen.
Batu-batuan mentah itu didisain dan digosok. Batuan fosil
misalnya, digosok pada bagian tertentu dengan menggunakan gurinda
dan ampelas agar kelihatan serat-serat kayunya. Makin jelas
seratnya, makin mahal harganya. Begitu pula dengan batuan otak,
karena bentuknya seperti otak, makin menonjol guratan-guratan
seperti otak, makin mahallah harganya. Hal serupa juga berlaku untuk
batu akik, oniks dan batu-batu lainnya. Agar lebih mengkilat,
biasanya diolesi cairan kimia tin oksid.
Dari hasil pekerjaan seperti ini, tukang kosok bisa meraih
penghasilan sekitar Rp 7.500 sehari. Sedang perajin kelas menengah
yang mempunyai sekitar 3 - 4 tukang gosok, bisa meraih keuntungan Rp
1 - Rp 3 juta per bulan. "Kadang lebih, kadang kurang," kata Emen
yang merintis usaha batu mulia sejak tahun 1970.
***
DALAM hal batu-batuan ini, Indonesia tidak perlu khawatir
kekurangan. Sumbernya justru melimpah. Namun, masalah pemasaran
sering menjadi hambatan tersendiri bagi para pedagang batu-batuan
ini. Bagi masyarakat Indonesia sendiri, baru sebagian kecil yang
menyukainya. Untuk ekspor ke luar negeri, pasarannya sulit ditembus.
Bahkan perajin umumnya terjerat pada perantara yang mempunyai
hubungan luas dengan para kolektor di luar negeri.
"Kami sudah mengekspor batu-batuan ini ke Korea, Jepang,
Amerika, Belanda, dan beberapa negara di Timur Tengah," kata H.
Sulaeman (48) perajin batu mulia di Kampung Ancaen, Kecamatan
Sagaranten, Sukabumi Selatan.
Namun yang melakukan ekspor, tetap saja para perantara yang ada
di Jakarta, yang justru menarik banyak keuntungan dari bisnis ini.
Batuan fosil misalnya, oleh perajin dijual seharga Rp 1.500 - Rp
2.500 per kg. Harga jual kemudian dihitung berdasar berat fosil,
bisa 50 kg, 200 kg, bahkan tiga ton. Di tangan perantara, harga ini
membengkak hingga Rp 10.000 per kg.
Selain pemasaran, para perajin juga dihadapkan masalah
peralatan. Untuk memotong, membelah batu, membuat sudut atau lubang
pada batuan yang kecil, masih amat sulit. Alat-alat untuk itu
bukannya tidak ada, tetapi harganya memang belum terjangkau perajin.
H. Iskandar (53), perajin baru mulia di Cimerang yang baru saja
meraih Upakarti memberi contoh. Harga sebuah gergaji batu ukuran 20
inci Rp 850.000, dan hanya bisa dipakai untuk memotong sekitar 200
batu. "Artinya, sekali motong biayanya Rp 4.000," katanya.
Jika perajin ingin berkreasi membuat kalung dengan batu-batu
kecil berlubang, dibutuhkan mesin ultrasonik seharga Rp 25 juta.
Sedang mata bor Rp 100.000 yang hanya bisa digunakan 20 kali. Itu
berarti biaya melubangi satu batu kecil sebesar kacang hijau Rp
5.000, sebuah angka yang terlalu besar bagi mereka.
Selain peralatan, para perajin juga menghadapi kendala disain.
Itu sebabnya, para perajin amat senang bila pemesan sekaligus
memberi disainnya. "Dari situ kami bisa belajar disain," tutur Emen.
Pihak Dinas Perindustrian Kabupaten Sukabumi sendiri,
sebenarnya sudah sering memberi pelatihan disain. Dalam pelatihan
ini, selain disain juga diberi materi cara menggosok, memotong, dan
memoles batu yang baik. "Meski demikian, perajin di sini belum mampu
bersaing dengan perajin dari luar negeri. Untuk membuat gambar ular
naga di atas fosil, misalnya, atau menggosok batu yang berdiameter
sekitar setengah sentimeter, masih amat sulit dilakukan," kata
Kepala Seksi Industri Kecil Deperin Sukabumi, Drs Ade Sumpena yang
didampingi penyuluh industri kecil, Suharna.
Itu sebabnya, para perajin biasanya mengekspor barang setengah
jadi. Penyelesaian tahap akhir dilakukan perajin-perajin Thailand,
Korea atau negara lain. Merekalah yang kemudian mengekspornya ke
negara lain dalam bentuk jadi. ***
(Try Harijono, AGus Mulyadi, Tony D Widiastono)