Rabu, 14 November 2007

Kenaikan Upah Sulit Menutupi Kebutuhan

KOMPAS - Senin, 21 Jan 2002 Halaman: 33 Penulis: Mulyadi, Agus; Wresti, M Clara Ukuran: 7815

KENAIKAN UPAH SULIT MENUTUPI KEBUTUHAN

IIS (24) terlihat tidak terlalu gembira, ketika mengetahui
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung pada Kamis (17/1),
menggugurkan gugatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota
Tangerang, yang menuntut agar Upah Minimum Kota (UMK) Tangerang 2002
ditangguhkan. Dengan digugurkannya gugatan, Iis dan ratusan ribu
buruh lain di Kota Tangerang, menerima gaji baru sesuai UMK 2002
sebesar Rp 590.000 per bulan.

Kurang antusiasnya sambutan buruh perempuan pabrik garmen PT Adi
Cipta Garmindo, Tangerang, itu disebabkan semakin sulitnya bertahan
hidup di masa sekarang ini. Penyebabnya, harga-harga kebutuhan hidup
telah meroket sejak beberapa minggu ini. Sebelum buruh menikmati UMK
baru, harga-harga barang telah terlebih dahulu naik dan sulit
dikendalikan.

"Percuma saja gaji naik. Harga-harga sudah terlebih dahulu naik.
Meskipun gaji naik, sulit untuk menutup kebutuhan hidup," ujar Iis,
yang tinggal di rumah kontrakan di kawasan Periuk Jaya, Kota
Tangerang.

Sewa rumah kontrakan yang ditinggalinya bersama seorang temannya
satu pabrik, juga akan dinaikkan pemiliknya. Mereka telah mendengar
kabar, biaya sewa rumah kontrakan akan naik dari Rp 100.000 menjadi
Rp 150.000 per bulan. Dengan kenaikan itu, Iis dan temannya masing-
masing akan mengeluarkan uang Rp 75.000 per bulan, atau lebih tinggi
Rp 25.000 dibandingkan sekarang ini.

Bertambahnya pengeluaran rutin bulanan tersebut, tentu akan
semakin menguras isi dompet Iis. Kenaikan UMK akan langsung berkurang
Rp 25.000 hanya untuk biaya sewa rumah.

Meskipun kenaikan UMK cukup tinggi, dari Rp 426.500 pada 2001
menjadi Rp 590.000 pada 2002, pengeluaran Iis dipastikan akan lebih
besar. Biaya makan di warung tegal sehari-hari saja, saat ini sudah
naik. Karena itu, kenaikan gaji sebesar Rp 163.500 per bulan tidak
memberi jaminan bagi Iis untuk dapat hidup lebih baik.

Sebelum harga-harga melambung seperti sekarang, Iis mengaku hanya
bisa hidup pas-pasan dengan gaji yang diterimanya. Meskipun telah
empat tahun bekerja, dia sama sekali tidak memiliki barang-barang
berharga. "Dari mana uangnya, kalau gaji hanya bisa untuk makan
saja," katanya.

Penghasilan per bulan buruh itu sekarang ini, memang telah lebih
tinggi dari UMK 2001 sebesar Rp 426.500. Termasuk dengan upah bekerja
lembur, dia mendapatkan uang sekitar Rp 170.000 per minggu. Namun,
tidak berarti kehidupan buruh lantas membaik.

KENAIKAN upah itu sendiri merupakan hak kaum buruh, terlebih lagi
di saat harga-harga barang yang tidak karuan sekarang. Mereka merasa
yakin, pengusaha mampu membayar upah sesuai dengan UMK baru.

Keyakinan bahwa pengusaha mampu membayar UMK sebesar Rp 590.000
per bulan dikemukakan Rostinah, pengurus Federasi Serikat Buruh Karya
Utama (SBKU). Menurut dia, "Dari semua pengurus unit kerja SBKU di
berbagai pabrik di Tangerang, saya mendapat informasi, pengusaha mau
membayar sesuai dengan UMK baru. Pengusaha tinggal menunggu apa
keputusan PTUN. Kalau PTUN menggugurkan gugatan Apindo, pengusaha
tentunya akan membayar buruh seusai UMK baru."

Namun, keyakinan para buruh itu hanyalah keyakinan dari
penglihatan mata. Mereka tidak pernah tahu bagaimana kondisi riil
dari keuangan perusahaan. Ketidaktahuan itu dapat dimaklumi karena
sangat jarang perusahaan mau transparan terhadap karyawannya.

"Jangankan pembukuannya, peraturan perusahaan saja ditutup-tutupi
agar kami tidak tahu. Yang boleh kami ketahui hanya kewajiban dan
larangan saja. Sedangkan yang menjadi hak kami, tidak pernah
diumumkan," kata Endah (32), buruh garmen di Citeurep.

Contohnya, cuti melahirkan. Dalam peraturan pemerintah memang
dikatakan kalau cuti melahirkan selama tiga bulan diambil 1,5 bulan
sebelum dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Namun, perusahaannya
mengizinkan cuti tersebut diambil penuh tiga bulan setelah
melahirkan.

"Izin itu hanya diketahui sedikit orang karena tidak
pernah diumumkan. Orang-orang yang tahu bisa mengambil cutinya tiga
bulan setelah melahirkan, sementara yang tidak tahu terpaksa
mengambil 1,5 bulan sebelum melahirkan. Padahal, mereka masih mampu
bekerja dan ingin menyusui anaknya lebih lama lagi," kata Endah.

Begitu juga soal cuti haid. Sebenarnya kalau para buruhnya mau
mengambil cuti diperbolehkan, namun karena tidak pernah ada
pengumuman akhirnya tidak ada yang cuti. Bahkan, mereka pun tidak
mendapatkan kompensasi dalam bentuk uang.
Tidak adanya transparansi dari pihak pengusaha inilah, yang
menyulitkan rasa memiliki tumbuh di antara para buruh. Kalau sudah
begitu, yang terjadi hanya rasa curiga antara buruh dan pengusaha.

KECILNYA marjin yang dimiliki para buruh, dan ketidaktahuan akan
hak-haknya sudah pasti tidak menguntungkan bagi buruh. Mereka tidak
bisa menikmati manfaat dari hak-hak yang seharusnya diperolehnya.
Upah yang diterima hampir semuanya habis untuk makan. Bahkan, untuk
menabung pun mereka tidak bisa. Mereka hanya bisa menyisihkan sedikit
uang untuk mengikuti arisan bersama teman-temannya satu pabrik.

"Arisan dilaksanakan satu kali seminggu, dan setiap peserta membayar
Rp 20.000. Peserta arisan 30 orang. Lumayan sekali narik mendapatkan
Rp 600.000," ujar Iis.

Dari uang arisan itulah, Iis sekali waktu dapat membantu orang
tuanya di kampung halaman. Dari uang itu dia berusaha meringankan
beban hidup orang tua dan saudara-saudaranya.

Iis tidak memikirkan dirinya sendiri. Dia, misalnya, tidak
memanfaatkan uang arisan untuk membeli perhiasan emas, atau sekadar
mini compo. "Uang arisan tetap tidak cukup untuk membelinya. Lagi
pula selain untuk mengirimi orangtua, uang yang didapat dari arisan
juga untuk membayar utang di warung," katanya.

Meskipun mendapat imbalan gaji yang pas-pasan untuk makan, buruh
perempuan tetap masih memikirkan orang-orang dekatnya. Semampu
mungkin dia membantu keuangan, meskipun kecil-kecilan jumlahnya.
Sebagian dari mereka malah menjadi tiang penyangga keluarga.

Amsani (20), misalnya. Sejak suaminya, Hamdani (26), aktivis
buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Karya Utama ditahan dalam
kasus sandal bolong, terpaksa sendirian menghidupi dirinya dan anak
yang tengah dikandungnya. Namun, buruh perempuan PT Osaga Mas Utama
itu masih membantu orangtuanya, meskipun terbatas.

Buruh perempuan yang bekerja di pabrik tekstil PT Idola di
kawasan Periuk Jaya, Ati (30), juga memberi andil besar bagi
kelangsungan hidup keluarganya. Dengan uang gaji yang diterimanya,
dia ikut membantu suaminya yang juga buruh pabrik, untuk melakoni
hidup menjadi sedikit lebih baik dari pada buruh perempaun lajang.

Meskipun hidup di rumah kontrakan sempit dengan sewa Rp 100.000
per bulan, Ati dan suaminya memiliki pesawat televisi 14 inci,
misalnya. Keluarga itu pun mampu menyisihkan uang untuk ditabung.
Namun, karena hidup di rantau seperti di Tangerang memang mahal, Ati
terpaksa menitipkan anak tunggalnya di rumah orangtuanya di kampung
halaman.

Bagi buruh perempuan seperti Lia, Amsani, Ati, dan Endah,
kenaikan UMK tentu saja menggembirakan. Dengan naiknya gaji, mereka
mendapatkan tambahan penghasilan. Namun, kenaikan harga-harga yang
menggila sekarang, tetap tidak akan membuat kehidupan mereka akan
menjadi lebih baik. Malah keduanya merasa khawatir, kenaikan gaji
tidak mampu untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Upah yang minim dan tuntutan sebagai tiang keluarga bukanlah
beban yang ringan bagi buruh perempuan. Maka, rasanya tidak adil,
bila mereka masih terus dibohongi para majikannya.
(Agus Mulyadi/M Clara Wresti)