Rabu, 14 November 2007

Lubuk Linggau, Kota yang Tak Pernah Mati

KOMPAS - Selasa, 01 Jul 2003 Halaman: 32 Penulis: mul Ukuran: 6751 Foto: 1

LUBUK LINGGAU, KOTA TAK PERNAH MATI
LEBIH dari 25 mobil memenuhi tempat parkir di salah satu hotel di

Jalan Sudirman Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Kendaraan roda empat
yang diparkir itu, tidak hanya beragam jenisnya, tetapi juga
berlainan nomor polisinya.

Mobil bernomor polisi dari berbagai kota atau daerah di Jawa dan
Sumatera diparkir di tempat itu, karena pengendaranya tengah
menginap. Mereka tengah beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan
keesokan harinya.

Mobil yang diparkir tidak hanya bernomor polisi Medan, Bengkulu,
Banda Aceh, Jambi, Lampung, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan,
tetapi juga bernomor polisi Jakarta, Bogor, dan Bandung. "Mereka yang
beristirahat di Lubuk Linggau ini, biasanya tengah menempuh
perjalanan jauh," kata seorang pelayan hotel.

LUBUK Linggau, kota yang berada sekitar 350 kilometer sebelah
barat Palembang, merupakan kota transit. Dari kota ini, pengendara
bisa melanjutkan perjalanan ke kota-kota di Sumatera maupun ke Jawa.
Lokasinya di jalan lintas tengah (Jalinteng) Sumatera, membuat kota
ini banyak dilewati pemakai jalan.

Pengendara yang datang dari Lampung tujuan Padang, Medan, Banda
Aceh, Bengkulu, atau Jambi, bisa melalui kota ini. Demikian pula,
pengendara dari Medan, Jambi, Padang, atau Bengkulu, melewati dan
bisa beristirahat di kota ini.

Lokasi yang strategis menyebabkan Lubuk Linggau menjadi kota yang
selalu hidup sepanjang hari. Kendaraan hilir mudik, tidak hanya siang
hari, tetapi berlangsung pula sepanjang malam.

Denyut kehidupan kota yang tidak pernah mati dari pemakai jalan
dan orang yang lalu lalang itu pula, yang kemudian membuat kehidupan
di kota ini terus hidup 24 jam. Warga kota pun akhirnya terbiasa
melakukan aktivitas siang dan malam.

Kehidupan kota pada malam hari, salah satunya bisa dilihat di
pusat jajanan Pasar Mambo. Di kawasan ini, sekitar 50 pedagang
makanan, minuman, rokok, jamu, dan lainnya menggelar dagangan di dua
sisi jalan sampai ujung Jalan Sudirman.

"Sebagian dari kami buka sampai pagi," kata Arsad (30), pedagang
jamu.

Menurut anak transmigran asal Pulau Jawa ini, pedagang makanan di
Pasar Mambo tidak hanya warga setempat. "Kebanyakan malah pendatang,"
ujarnya.

Bermacam dagangan digelar di Pasar Mambo yang berdampingan dengan
Stasiun KA Lubuk Linggau. Warga setempat maupun pendatang yang
transit di kota itu, bisa makan malam sambil jalan-jalan di dalam
kota.

Pasar Mambo bisa dijangkau dengan apa saja, baik jalan kaki, naik
ojek sepeda motor, naik becak, maupun mobil. Lokasinya yang di pusat
kota membuat kawasan itu mudah didatangi.

"Sebagian besar pedagang makanan di sini, umumnya tutup jam 12.00
(24.00-Red). Namun, kawasan ini tetap ramai sampai pagi karena mulai
jam 12.00 malam pedagang sayur mulai berdatangan. Otomatis kawasan
ini hidup siang dan malam," kata seorang pedagang sate padang.

Menikmati makan malam di Pasar Mambo, sebenarnya tidak ubahnya
makan di warung-warung kaki lima di mana pun. Seliweran kendaraan di
jalan, sekadar melintas maupun yang hendak parkir, mewarnai kawasan
itu.

Namun berbeda dengan di sejumlah kota lain, calon pembeli di
Pasar Mambo bisa memilih jenis makanan yang disukai. Di sini pembeli
bisa mencari makanan kaki lima apa saja seperti pecel lele, sate
padang, sate madura, sop kaki kambing, dan martabak.

Kehidupan malam terlihat pula di sisi lain Kota Lubuk Linggau.
Pendatang atau warga yang suka kehidupan malam, bisa menemukannya di
lokalisasi pelacuran Patok Besi.

Di lokasi ini terdapat lebih dari 50 rumah tempat mangkal wanita
PSK (pekerja seks komersial) yang sekaligus menjadi tempat kencan
sesaat. Di lokalisasi yang letaknya sekitar delapan kilometer dari
pusat kota ini, terdapat pula sebuah diskotek yang bisa dijadikan
tempat menghilangkan kepenatan pengunjung.

LUBUK Linggau memang lebih besar dan lebih dikenal daripada kota
lain di sekitarnya. Seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta di kota
itu malah menyebutkan, Lubuk Linggau lebih besar dan ramai dibanding
Bengkulu, ibu kota provinsi tetangganya.

Kota yang terletak di pertemuan jalan lintas tengah dan barat
Sumatera ini, sebenarnya merupakan kota tua yang telah dikenal sejak
dahulu kala. Bahkan, kolonial Belanda pun pada awal abad ke-20
membangun jalur rel KA dari Lubuk Linggau hingga ke Kertapati,
Palembang, dan Tanjung Karang, Bandar Lampung.

Melalui Lubuk Linggau berbagai hasil bumi diangkut. Sampai
sekarang pun, jalur KA sampai ke Lubuk Linggau masih hidup. Dari
Stasiun Lubuk Linggau, warga bisa melanjutkan perjalanan ke daerah
atau kota tujuan masing-masing di provinsi Bengkulu, Jambi, maupun
Sumatera Barat.

Seorang penumpang KA Serelo yang baru tiba dari Palembang,
Solihin (60), menyebutkan, dia selalu menggunakan KA dari Lubuk
Linggau jika hendak ke Palembang atau sebaliknya. "Lebih pasti waktu
tibanya," ucap warga Curup, Bengkulu, tersebut.

Dari Lubuk Linggau ke Curup, perjalanan ditempuh menggunakan
angkutan umum. Angkutan umum biasanya menunggu calon penumpang tujuan
kota itu di depan Stasiun KA Lubuk Linggau.
Meskipun sudah berusia tua, kota ini baru berdiri secara otonom
dua tahun lalu. Sebelumnya, Lubuk Linggau merupakan ibu kota
Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Lubuk Linggau menjadi daerah otonom dengan status kota sejak 17
Oktober 2001. Kota dengan penduduk sekitar 180.000 jiwa ini,
sebelumnya menjadi ibu kota Musi Rawa sejak 20 April 1943.

Sejak menjadi daerah otonom, perkembangan kota pun semakin pesat.
Saat ini, sejumlah hotel melati sampai bintang dua berdiri di
kota itu. Sejumlah agen perjalanan siap mengantar warga bepergian ke
daerah lain. Pendatang yang menggunakan angkutan umum, bisa pula
mendapatkan jasa mobil sewaan untuk beraktivitas di kota ini.

"Kota ini tumbuh menjadi kota perdagangan," ujar Sofyan, salah
seorang sopir mobil angkutan sembako.

Mungkin karena tumbuh sebagai pusat perdagangan, muncul toko
swalayan, dan sejumlah bank dengan butik ATM-nya.
Bagi yang pertama kali melintas di kota ini, akan terkesima
melihat kota yang selalu hidup. Kota yang penduduknya sebagian
pendatang ini, seperti tidak pernah mati. Denyut kehidupan kota
berjalan sepanjang hari, dari pagi hingga ke pagi berikutnya, seiring
berjalannya kehidupan di jalan lintas timur Sumatera. (mul)

Foto:
Kompas/aus mulyadi
PASAR MAMBO - Kawasan Pasar Mambo di pusat Kota Lubuk Linggau setiap
malam dipadati pedagang makanan. Kota perlintasan itu hidup selama 24
jam.