KOMPAS - Senin, 21 Jun 1999 Halaman: 21 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 6462
BIARPUN UPAH HABIS MEREKA TETAP BERJUANG
UNJUK rasa terus-menerus selama dua bulan sejak 20 April 1999,
membuat kocek 1.361 eks buruh PT Mayora Indah, akhirnya jebol.
Begitulah pengakuan Sulistyowati (22) dan Partini (20), dua eks
buruh wanita PT Mayora Indah yang tak pernah absen dalam demo-demo
selama dua bulan ini. Saeran (25), yang eks buruh laki-laki juga
mengaku sama. Ketiganya bersama sejumlah buruh Mayora lain, ditanya
Kompas saat tengah berkerumun di jalan depan pabrik, Kamis (17/6)
lalu.
Maka ketika sejumlah uang kembali masuk dompet, eks buruh Mayora
itu seperti mendapatkan darah baru. Tekad akan terus berjuang, sampai
kembali diterima bekerja di perusahaan yang memproduksi makanan ringan
dan permen itu, kembali bergejolak.
"Kami akan terus berjuang agar bisa diterima kembali bekerja,
sesuai keputusan Mennaker. Upah ini bisa saya gunakan sampai habis
untuk terus ikut unjuk rasa, hinga nasib kami jelas," kata
Sulistyowati, yang mengaku berasal dari Bojonegoro, Jawa Timur.
Awalnya, aksi unjuk rasa diikuti lebih dari 2.000 buruh,
Belakangan jumlahnya menyusut. Sekitar 750 orang memilih kembali
bekerja dan mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan perusahaan.
Sedangkan 1.361 buruh lainnya, tetap berupaya agar kesejahteraan
mereka membaik. Ketika palu vonis PHK pun jatuh, arah perjuangan
berubah pula: menuntut bisa kembali bekerja.
UANG yang diterima 1.361 buruh Mayora pada hari Kamis itu,
merupakan sisa upah bulan terakhir yang belum diterima. Jumlahnya
sekitar setengah bulan kerja, atau dalam hitungan pasti buruh sebanyak
16 hari kerja. Partini misalnya, mengaku menerima Rp 144.000.
Sedangkan Sulistyowati dan Saeran, masing-masing menerima Rp 147.800.
Tetapi menurut mereka, upah yang diterima hanya gaji pokok. Tunjangan
tidak diberikan.
"Upah yang kami terima setiap bulan selama ini, untuk makan saja
sudah tidak mencukupi," ujar Partini, yang mengaku berasal dari
Boyolali, Jawa Tengah. Karena upah dianggap kurang untuk hidup di masa
serba sulit sekarang ini, buruh-buruh Mayora pun akhirnya berunjuk
rasa.
Dalam hitung-hitungan buruh, upah yang diterima bervariasi
tergantung masa kerja. Kalau dihitung harian, Partini misalnya
menyebutkan Rp 8.400. Untuk satu bulan kerja upahnya dihitung sesuai
hari masuk kerja. Selain itu buruh pun menerima beberapa tunjangan.
Namun tetap saja tak cukup untuk sekadar bisa mempertahankan
hidup. Apalagi harga-harga semua jenis barang telah lama naik. Biaya
hidup dengan sendirinya ikut meroket.
Salah satu jenis biaya hidup yang memberatkan buruh yang umumnya
kaum pendatang, tarif kontrak kamar. Partini dan Sulistyowati
mengatakan, masing-masing harus mengeluarkan Rp 60.000 per bulan untuk
kontrak kamar. Dua buruh wanita itu mengontrak kamar berbeda. "Saya
tinggal sendirian di kamar kontrakan," kata Partini.
Dengan sudah berkurangnya penghasilan untuk tempat tinggal itu,
sisa uang upah hanya bisa untuk makan. Mungkin kalau sekali waktu
mereka bisa benar-benar berhemat, bisa dikumpulkan untuk keperluan
lain.
Pihak manajemen PT Mayora sebenarnya telah mencoba sedikit
memperbaiki nasib buruhnya. Pada awal April 1999, upah karyawan
dinaikkan sebesar 18 persen. Namun kenaikan upah itu, dianggap buruh
tetap tidak bisa memperbaiki nasib mereka, dan masih dianggap kurang.
Upah kerja yang dirasakan selalu hanya pas-pasan untuk hidup,
dirasakan menyulitkan. Solusi untuk mengatasi hal itu, akhirnya
dilakukan dengan berunjuk rasa.
Dalam tuntutannya, buruh Mayora antara lain menginginkan agar upah
dinaikkan 30 persen, bukan 18 persen seperti yang dipatok pengusaha.
Tuntutan lainnya, uang makan dinaikkan dari Rp 1.000 menjadi Rp 4.000
per hari, PPh (Pajak Penghasilan) ditanggung perusahaan, dan uang
shift kerja Rp 1.500 per hari.
Dasar perhitungan buruh adalah kenyataan yang mereka ketahui,
perusahaan tempat mereka bekerja tetap meraih untung banyak, meski
mereka tidak tahu pasti ihwal sebenarnya. Karena itu buruh menganggap
sudah sewajarnya jika mereka mendapat sedikit bagian dari keuntungan
berlimpah itu.
Keterangan dari pihak manajemen PT Mayora sendiri sulit didapat.
Sejak mulai berlangsungnya unjuk rasa buruh, telah beberapa kali
Kompas mencoba menemui atau menghubungi pihak manajemen Mayora di Jl
Telesonik, tetapi selalu tidak berhasil. Jawaban Satpam pabrik itu,
pimpinannya sedang rapat atau tidak ada di kantornya. Terakhir pada
hari Kamis, upaya untuk konfirmasi persoalan di Mayora juga tidak
berhasil. Seorang Satpam pabrik menyebutkan, pimpinannya tidak bisa
ditemui, tanpa menyebutkan alasan apa pun.
AKSI buruh Mayora yang tidak mengenal lelah, ternyata tidak
mendapatkan tanggapan sesuai keinginan mereka. Pihak pengusaha
akhirnya malah bersikukuh, hendak mem-PHK mereka.
Padahal para buruh, setelah mendapat masukan dari Depnaker
Tangerang, sebenarnya sudah menurunkan sebagian tuntutan mereka. Buruh
di antaranya sudah mau menerima upah hanya naik 20 persen, dan PPh
ditanggung sendiri seperti biasanya.
Tetapi upaya baik kaum buruh itu ditanggapi secara dingin pihak
manajemen perusahaan. Vonis bahkan akhirnya dijatuhkan kepada buruh,
yakni PHK. Putusan itu bahkan ditambahi dengan pemberian pesangon yang
dianggap kurang manusiawi. Satu di antaranya, pesangon yang diterima
hanya setengah (1/2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja (PMTK). Padahal
sesuai ketentuan ketenagakerjaan, pesangon sebesar dua kali PMTK.
Buruh Mayora akhirnya tetap menjadi kaum yang terkalahkan, ketika
P4P mengabulkan permohonan manajemen PT Mayora. Sebanyak 1.361 buruh
Mayora tidak bisa lagi bekerja di perusahaan itu, karena terkena
"penyakit" yang ditakuti pekerja, yakni terkena PHK.
Keputusan P4P itulah kemudian diveto Mennaker Fahmi Idris. Namun
putusan orang tertinggi di jajaran ketenagakerjaan di Indonesia itu,
sampai kini masih diabaikan pihak manajemen PT Mayora, dan bahkan
mengajukan banding ke PTUN.
Akhir perjuangan panjang buruh Mayora pun tetap belum jelas. Namun
tekad mereka masih tetap membara untuk terus berjuang. Mereka tidak
peduli, uang yang seharusnya dipakai untuk makan sehari-hari habis
untuk biaya transportasi, makan, dan minum, ketika berunjuk rasa.
(agus mulyadi)