KOMPAS - Selasa, 14 Mar 2000 Halaman: 19 Penulis: MUL Ukuran: 3858
TERPAKSA BERPISAH DENGAN ANAK ISTRI
BAGI Aryataji (38), jarak antara rumahnya di daerah Pasarkemis,
Kabupaten Tangerang, dengan tempatnya bekerja terasa begitu jauh.
Meskipun tempatnya selama empat tahun ini bekerja di PT Fajarindo
Faliman Zipper (FFJ) di Kelurahan Jurumudibaru, Batuceper, masih
berada di kawasan Tangerang, dia tidak bisa setiap hari bertemu
dengan istri dan empat anaknya.
Agar bisa dekat dengan tempatnya bekerja, Aryataji terpaksa
harus berpisah dengan anak dan istrinya. Dia tinggal di sebuah kamar
kontrakan yang terletak di kawasan permukiman kumuh di Kelurahan
Kalideres, Jakarta Barat, yang hanya berjarak puluhan meter dari PT
FFZ.
Penyebab Aryataji harus mengontrak, karena biaya transpor ke
rumahnya di Pasarkemis yang berjarak lebih dari 20 km dari PT FFZ,
terlalu mahal untuk ukuran dia. Sementara upah yang diterima dari
tempatnya bekerja, sama seperti kebanyakan buruh pabrik lain di
Tangerang, hanya sekadar untuk bisa bertahan hidup.
"Kalau setiap hari berangkat dan pulang dari rumah ke pabrik,
gaji satu bulan bisa habis hanya untuk biaya naik angkutan umum,"
katanya ketika ditemui Kompas di kamar kontrakannya, Sabtu (11/3)
lalu.
Ongkos transpor ke pabrik yang harus dikeluarkan seandainya dia
tinggal di rumah, menghabiskan sekitar Rp 4.000 sehari. "Untuk makan
anak-anak saya tidak kebagian lagi," katanya.
Padahal upah yang diterimanya dari tempat bekerja bisa dikatakan
kecil, meskipun telah sesuai dengan upah minimum regional (UMR),
Rp 230. 000. Menurut Aryataji, upahnya setiap hari hanya Rp 7.700
ditambah uang prestasi Rp 700. Dengan upah hanya sebesar itu, kalau
dia nekat tinggal di rumah tentu akan habis untuk biaya transpor.
"Sekarang saja, seorang anak saya terpaksa berhenti sekolah karena
tidak ada biaya," ujarnya.
Menyadari kondisi keuangannya yang serba pas-pasan, Aryataji
akhirnya memilih berpisah dengan istri dan empat anaknya. Selama enam
hari dalam satu minggu, dia pendam rasa rindunya dengan orang-orang
yang dikasihi.
Agar keluarganya bisa bertahan hidup, Aryataji harus rela pula
tinggal di kamar kontrakan berukuran dua kali dua setengah meter,
berlantai semen dan berdinding anyaman bambu. Kamar kontrakan
tempatnya tinggal pun berada di kawasan permukiman yang biasa
disebut kumuh.
TIDAK cukupnya upah yang diterima buruh agar bisa hidup layak
-dan menjadi penyebab mereka berpisah dari anak dan istri- dialami
pula oleh Tugiyo (36). Sejak dia mulai bekerja sebagai buruh pabrik
di Tangerang sekitar 12 tahun lalu, Tugiyo hidup berpisah dengan
istrinya. Bahkan saat dia telah dikaruniai anak, keluarganya tetap
tinggal di daerah asalnya di Tegal.
"Hidup di kampung biayanya tidak terlalu mahal jika dibandingkan
tinggal di Tangerang," begitu alasannya.
Berpisahnya ayah dengan istri dan dua anaknya itu terjadi karena
upah di pabrik keramik tempatnya bekerja di PT Jatake Kramindo
Kharisma di Jl Kalisabi Km 4 Tangerang, tidaklah terlalu besar.
Padahal untuk mengontrak rumah petak saja, Tugiyo setiap bulan harus
keluar uang Rp 60.000. Sedangkan uang transpor pulang pergi ke Tegal
Rp 30.000.
Upah Tugiyo sebenarnya telah mencapai sekitar dua kali UMR yang
masih berlaku. Namun dia tetap merasa berat jika keluarganya juga
hidup di Tangerang yang jauh lebih mahal biayanya dibanding di kampung
halaman di Tegal.
Buruh lain yang seperti Aryataji dan Tugiyo mungkin jumlahnya
ribuan orang. Mereka terpaksa berpisah sementara dan memendam rindu
dengan orang-orang tercinta, hanya karena memang tidak mampu
mendapatkan penghasilan lebih baik. Ini semua gara-gara upah buruh
minim, yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum pun belum
kesampaian. (agus mulyadi)