Selasa, 13 November 2007

Bandara Dikepung Pabrik dan Permukiman

KOMPAS - Senin, 24 Jan 2000 Halaman: 15 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 6798
BANDARA DIKEPUNG PABRIK DAN PEMUKIMAN
BANJIR di jalan Tol Prof Sedyatmo, Desember 1999 lalu,
semestinya membuka mata para birokrat pengambil keputusan dan semua
orang yang telah merusak alam di kawasan itu. Jangan pernah main-main
dengan peruntukan tata tuang. Penyalahgunaan peruntukan rawa-rawa
serta lahan kosong di sekitar jalan bebas hambatan, telah menyebabkan
rusaknya kawasan sekitar. Banjir yang menenggelamkan jalan tol
Sedyatmo menuju ke Bandar Udara (Bandara) Internasional Soekarno-Hatta
Cengkareng, sedikit-banyak juga memercikkan rasa malu ke wajah bangsa
ini. Sebuah jalan bebas hambatan menuju bandara internasional banjir!
Banyak orang menuding salah satu penyebab banjir di jalan tol
tersebut adalah berdirinya kawasan perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK)
di sebelah utara. Pembangunan rumah-rumah mewah di atas rawa-rawa yang
dibelah jalan tol, telah menjadi penyebab sulit terbuangnya air
genangan di sekitar kawasan jalan untuk terbuang ke laut.
Perusakan alam dan pelanggaran terhadap tata ruang di sekitar
jalan tol, sebenarnya tidak hanya dilakukan PIK. Kalau kita
perhatikan, di utara dan selatan jalan tol telah tumbuh pula sejumlah
bangunan pabrik yang juga berdiri di atas tanah bekas rawa.
Bangunan-bangun baru tidak hanya tumbuh di sekitar jalan tol
bandara. Di sekitar kawasan Bandara Soekarno-Hatta itu sendiri,
menjamur pula bangunan baru sesudah terbangunnya bandara yang menjadi
salah satu pintu gerbang masuk ke Indonesia itu.
Sejumlah kompleks perumahan, bebas tumbuh di lahan bekas
persawahan yang dulunya termasuk lahan produktif. Saat booming
pembangunan perumahan, kalangan pengembang berbondong-bondong
membangun beberapa kompleks perumahan. Kawasan bandara telah dikepung
berbagai kompleks perumahan baru di semua penjuru mata angin.
Beberapa kompleks perumahan yang kini telah mengepung kawasan
bandara, antara lain perumahan Bandara Mas dan perumahan Korpri di
sebelah barat, perumahan Taman Adhiloka dan kompleks Angkasa Pura di
sebelah selatan, perumahan Garuda di Teluknaga di sebelah utara, dan
Permata Bandara serta Duta Garden di sebelah timur.
Padahal salah satu alasan kepindahan bandara internasional dari
Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur ke Cengkareng di luar kota, untuk
keselamatan penerbangan.
***

KOMPLEKS perumahan yang berdiri di sekitar bandara, menurut Ketua
Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kotamadya Tangerang,
Istiarso Soerjo, tidak menimbulkan gangguan terhadap keberadaan
bandara itu sendiri. "Perumahan-perumahan itu berada di luar jalur
keselamatan penerbangan," katanya.
Namun salah satu perumahan, Bandara Mas, lokasinya persis
berbatasan dengan sisi barat kawasan bandara. Bandara Mas hanya
dipisahkan dengan Kali Selapajang. Persis di sebelah baratnya, Bandara
Mas berdampingan pula dengan perumahan lain yakni Perumahan Korpri.
Namun dua perumahan ini dianggap bukan berada di daerah penerbangan.
"Lokasi Bandara Mas dan perumahan Korpri berada di tengah-tengah jalur
lintasan penerbangan pesawat," ujar Istiarso.
Beberapa perumahan di tiga penjuru mata angin lainnya pun dianggap
tidak melanggar ketentuan. Perumahan-perumahan itu berada di luar
jalur keselamatan penerbangan.
Mengutip informasi yang didapatnya dari pengelola bandara,
PT Angkasa Pura II, Istiarso menyebutkan, perumahan itu berada di
tengah-tengah di antara dua jalur lintasan pesawat, baik yang hendak
lepas landas maupun mendarat. Jalur keselamatan penerbangan pesawat di
Bandara Soekarno-Hatta itu sendiri, baik ke arah barat maupun ke arah
timur, adalah satu garis lurus dengan kedua landasan pacu bandara.
Berbeda dengan dua perumahan baru itu, nasib sial harus dialami
sejumlah pengusaha yang mempunyai 33 pabrik di Kelurahan Kedawung
Wetan, yang lokasinya berdekatan. Karena dianggap berada di dalam
kawasan jalur keselamatan penerbangan, para pemiliknya harus
merelokasinya ke tempat lain.
"Pemda masih memberi waktu kepada pemilik industri-industri
rumahan itu, untuk pindah ke lokasi lain. Akan dibuat kesepakatan,
kapan mereka diberi waktu untuk mempersiapkan kepindahan pabriknya ke
lokasi lain," kata Istiarso.
Bandara Soekarno-Hatta tidak hanya dikepung oleh perumahan baru.
Di seputar bandara, dipenuhi pula rumah-rumah warga setempat yang
telah ada, baik sebelum maupun sesudah terbangunnya bandara. Bangunan
permukiman warga di sekitar pagar bandara, umumnya dibangun warga
setempat yang sebelumnya telah tergusur dari bekas lahan mereka yang
digunakan untuk membangun bandara.
Tidak hanya perumahan, beberapa hotel pun akhirnya bermunculan di
sekitar bandara dan turut mengepung Soekarno-Hatta. Dua hotel
berlantai tiga misalnya, sejak tahun 1996 lalu telah berdiri di Jl
Husein Sastranegara di kawasan Rawabokor, Benda.
Pembangunan salah satu hotel di jalan itu, Hotel Transit, sempat
menimbulkan kontroversi. Bangunan empat lantainya dianggap terlalu
tinggi, dan bisa mengganggu penerbangan pesawat yang hendak lepas
landas dan mendarat di Soekarno-Hatta. Sempat dilakukan aksi
pembongkaran bangunan lantai atas oleh Dinas Trantib Kotamadya
Tangerang pada tahun 1996. Namun kemudian pembongkaran dihentikan,
dan beberapa waktu berikutnya pembangunan dilanjutkan sampai selesai,
serta dioperasikan oleh pemiliknya.
Terkepungnya kawasan Bandara Soekarno-Hatta, baik oleh bangunan
baru maupun lama, telah menyebabkan keberadaan bandara telah berada di
kawasan ramai. Itu sama saja dengan yang terjadi di kawasan Bandara
Halim Perdanakusuma dan bekas Bandara Kemayoran, Jakarta.
Padahal rencana awalnya dulu, kepindahan bandara internasional ke
kawasan Tangerang untuk menghindari kesumpekan di sekitarnya.
Pemerintah akhirnya memutuskan membangun satu bandara baru di lokasi
yang terletak sekitar 20 km dari Monas, Jakarta.
Meskipun awalnya ketika Bandara Soekarno-Hatta mulai dioperasikan
tahun 1985 kawasan sekitarnya masih sepi, seiring laju pembangunan
ikut tumbuh pula bangunan lain. Tidak mustahil, beberapa puluh tahun
ke depan, kawasan bandara internasional ini pun akan berada di
tengah-tengah kepungan gedung-gedung yang telah memadati lahan
sekitarnya. Ke depannya, Bandara Soekarno-Hatta mungkin akan bernasib
sama seperti bekas Bandara Kemayoran dulu, yang akhirnya berada di
tengah permukiman sehingga harus ditutup.
Setelah semuanya terlanjur-seperti kebiasaan lama para birokrat-
biasanya mereka pun saling tuding untuk menyebut siapa yang paling
bersalah dan bertanggung jawab. Tidak jarang, alam pun-seperti dalam
kasus banjir- ramai-ramai disalahkan. (agus mulyadi)