Selasa, 13 November 2007

Kawasan Adat Amatoa, Cermin Kehidupan Sederhana

KOMPAS - Sabtu, 14 Mar 1992 Halaman: 8 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 14761

Kawasan Adat Amatoa
CERMIN KEHIDUPAN SEDERHANA


Pengantar Redaksi: DI Sulawesi Selatan, terdapat penduduk ì
yang tinggal di satu daerah tersendiri yang disebut Kawasan Adat Amatoa. ì
Mereka masih bertahan menggunakan alat-alat tradisional, walaupun tidak ì
menabukan diri berhubungan dengan "dunia luar". Meski ada yang
menyebut Suku Konjo, sebenarnya mereka berasal dari Suku Bugis-
Makassar. Koresponden Kompas, Agus Mulyadi, Januari 1992 lalu
mengunjungi kawasan itu. Laporannya disampaikan dalam dua tulisan
berikut.

HITAM. Hampir semuanya serba hitam. Sulit untuk menemukan warna ì
lain, selain warna legam itu. Mulai dari gedung pertemuan, gedung
madrasah, puskesmas pembantu, semuanya dilapisi warna hitam.
Demikian pula pakaian bawah dan atas yang membalut tubuh
penduduknya, semua berwarna hitam.

Dominasi warna itu adalah gambaran Kawasan Adat Amatoa, yang
termasuk dalam wilayah Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba,
Sulawesi Selatan. Satu kawasan yang masih dilingkupi adat-istiadat
tradisional, dan baru sedikit disentuh peradaban yang "lebih
moderen".

Perkampungan masyarakat di Kawasan Adat Amatoa memiliki ì
karakteristik budaya berbeda dengan masyarakat sekitar. Luas kawasan itu ì
sekitar 988 hektar. Secara administratif, kawasan ini termasuk dalam ì
wilayah lima pemerintahan desa di Kecamatan Kajang yakni Desa Tanatoa, ì
Sangkala, Tambangan, Batu Dilanuang, dan Desa Maleleng. Namun sebagian ì
besar kawasan masuk ke dalam wilayah Desa Tanatoa.

Untuk menuju ke kawasan adat tersebut, bukan merupakan
pekerjaan sulit. Jarak dari ibu kota Kabupaten Bulukumba, sekitar 56
kilometer atau sekitar 210 kilometer timur Ujungpandang. Kawasan
berada di antara kota Kecamatan Kajang dan Tanete.
Dari jalan raya yang menghubungkan dua kota kecamatan itu,
berbelok ke utara melintas jalan beraspal yang menuju Desa Tabatoa.
Dan dari balai desa setempat, jarak yang harus ditempuh sampai
perbatasan kawasan dengan "dunia luar", tinggal sekitar dua
kilometer.

KESAN angker sudah mulai terasa ketika sampai di perbatasan
kawasan, yang ditandai dengan gapura batas dari kayu bercat hitam,
dengan tulisan "Selamat Datang di Kawasan Adat Amatoa". Kesan itu
terasa, karena beberapa bangunan di antaranya gapura tadi, seperti
bangunan sekolah dari kayu berukuran tiga meter kali tujuh meter,
dan bangunan puskesmas pembantu yang semuanya bercat hitam. Di
sekitar perbatasan itu pula sedang dibangun gedung tembok sekolah
dasar. Daerah sekitar perbatasan ini, termasuk ke dalam Dusun Sabbu.

Dari gapura perbatasan, jalan masuk menuju kawasan berupa jalan
tanah yang diteduhi pepohonan. Sekitar dua ratus meter berikutnya,
sampailah di permukiman bagian luar di dalam Kawasan Adat Amatoa.
Ada beberapa rumah panggung di daerah perbatasan itu. Dua di
antaranya adalah balai pertemuan penduduk.

Salah satu dari balai pertemuan itu berbentuk rumah panggung, yang ì
di bagian bawahnya digunakan sebagai tempat belajar siswa MIS (Madrasah ì
Ibtidaiyah Swasta). Satu gedung lain berbentuk semacam pos siskamling, ì
tempat pimpinan adat yang disebut Amatoa, bersama pembantu-pembantunya
menerima tamu dari luar kawasan.

Ketika sampai di perbatasan dan memasuki kawasan, kesan lain
yang muncul adalah suasana teduh karena rimbun pepohonan. Segala
jenis pohon, di antaranya pohon bitti, yang kayunya untuk bahan
pokok pembuat perahu, banyak tumbuh di dalam kawasan itu. Padahal di
daerah lain di Sulsel, kayu jenis itu sudah sulit ditemukan akibat
penebangan liar. Itu bisa terjadi, karena masyarakat Kawasan Adat
Amatoa menjaga kelestarian hutannya.

Hutan lebat yang masih terjaga kelestariannya tersebut,
meneduhi permukiman, dalam satu komunitas berpenduduk sekitar 2.200
jiwa atau 350 KK (kepala keluarga). Kelestarian hutan sangat dijaga
ketat oleh masyarakat setempat, sehingga tidak aneh jika Anda
berkunjung ke kawasan itu, dapat menjumpai berbagai jenis burung,
rusa atau babi hutan.

Pelestarian hutan menjadi syarat mutlak untuk tinggal di dalam ì
kawasan. Bila ada warga terbukti merusak hutan, jangan harap akan
bisa tinggal berkumpul dengan sanak keluarga di dalam kawasan.
Mereka akan diusir dan harus tinggal di dunia luar.
Itu baru hukuman yang dijatuhkan oleh adat. Hukuman
lain sudah menunggu perusak hutan, yaitu berurusan dengan pihak berwajib. ì
Perusak hutan, akan dilaporkan dan diserahkan kepada pihak
berwajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, sesuai hukum
yang berlaku.

PENDUDUK Kawasan Adat Amatoa menyebut daerah tempat tinggalnya butta ì
kamase-masae (perkampungan kasihan) yang bersahaja dan penuh ì
kesederhanaan. Disebut demikian karena mereka tidak mau menggunakan ì
alat-alat dari "dunia luar" untuk keperluan hidup sehari-hari.

Mereka masih mempergunakan tempurung kelapa sebagai piring,
potongan bambu sebagai gelas. Mereka juga tidak senang makan garam.
Sedangkan dapur terletak di bagian depan dalam rumah, bersatu dengan
ruang tamu. Itu dimaksudkan untuk memberi kesan apa adanya dari si
tuan rumah kepada tamunya.

Gaya hidup yang mencerminkan kesederhanaan tersebut, selama
beratus tahun tetap dipertahankan mereka yang betah tinggal di
dalam kawasan. Bagi penduduk Kawasan Adat Amatoa yang tinggal
di dalam kawasan, sepertinya pola hidup seperti itu lebih menyatukan
mereka dengan alam: tempat mereka hidup dan memberi kehidupan.

Meski begitu, penduduk setempat tidak selamanya harus tinggal
di dalam kawasan. Ada sebagian dari keturunan mereka memilih tinggal
di dunia luar, apakah itu di perkampungan desa sekitar atau jauh ke
dunia luar, sampai ke Ujungpandang bahkan ke kota besar lainnya.
Tentu mereka yang memilih tinggal di luar kawasan dibekali pendidikan ì
formal memadai, sampai tingkat sarjana sekalipun.

Kesadaran akan pentingnya pendidikan mencerminkan terjadinya
transformasi sikap penduduk kawasan yang tidak lagi seratus persen
menutupi diri dari dunia luar. Pendidikan formal umpamanya,
diraih oleh mereka dari kawasan, dengan menimba pendidikan formal
dari luar kawasan.


Mereka menuntut pendidikan di sekolah-sekolah desa
sekitar atau kota. Meski akhirnya kelompok ini tinggal di luar kawasan,
ketika kembali entah untuk sekadar berkunjung atau menetap, kebiasaan
lama di dalam kawasan tetap disandang. Artinya mereka ini pun menggunakan
pakaian hitam-hitam dan mengikuti kebiasaan hidup lainnya untuk berbaur
dengan saudara sekampung.


Bermacam kepentingan lain juga membawa penduduk berhubungan
dengan dunia luar. Salah satunya membawakan misi kesenian daerah asal
mereka. Seperti diakui oleh seorang penduduk setempat, dia beberapa kali
ke Ujungpandang mementaskan kesenian Kawasan Adat Amatoa.

Kesempatan itu dialami pula misalnya oleh Ny Sani (50), yang juga
sepupu Amatoa, dan anaknya Ny Rohana (30), ketika turut pula
membawakan misi kesenian ke luar kawasan seperti ke Ujungpandang.

Sentuhan lain dari dunia luar yang dirasakan penduduk kawasan,
adalah dari perlengkapan sehari-hari mereka, di antaranya pakaian.
Untuk pakaian atas, penduduk setempat sudah tidak memberlakukan
aturan yang ketat lagi dengan mengharuskan penggunaan bahan hasil tenunan ì
sendiri. Baju warna hitam atau tsirt yang mereka pakai, dibeli di luar ì
kawasan.

Keadaan itu terutama terlihat pada sebagian wanita, terutama
dari generasi muda. Wanita-wanita muda ini pun tidak menabukan pemerah ì
bibir dan bedak. Gelang, anting-anting atau kalung emas, tampak pula di
tubuh sebagian wanita kawasan. Namun satu ciri khas yang tidak dapat
dilepaskan dari mereka, tak seorang pun dari penduduk yang terlihat
menggunakan alas kaki, sandal jepit sekalipun. Sejak kecil mereka
biasa bertelanjang kaki hingga tak aneh jika kulit kaki mereka kapalan.

ADA pula yang menamakan penduduk Kawasan Adat Amatoa sebagai
Suku Konjo. Namun sebenarnya mereka berasal dari Suku Bugis
Makassar. Seperti yang dikatakan Kabag Humas Bulukumba, M Lamtara S,

"Karena menggunakan bahasa Konjo, ada yang menyebut mereka suku
Konjo. Tetapi sebenarnya mereka termasuk suku Bugis-Makassar."
Nama Amatoa sebenarnya adalah nama pemimpin adat dan spiritual
masyarakat kawasan tersebut. Amatoa berarti "orang yang
dituakan", yang didengar petuahnya, dan yang dianggap paling
bijaksana. Bila Amatoa memutuskan suatu persoalan,
masyarakat akan mematuhinya.

Tugas Amatoa selain pemimpin adat dan spiritual adalah menerima
tamu. Seperti ketika datang berkunjung Purek I Unhas, Solihin
Wirasugena. Amatoa menerimanya di balai pertemuan, dengan didampingi
semua galla (semacam dewan menteri) yang menjadi pembantu-
pembantunya.

Penyambutan tamu dari luar, terutama pejabat, biasanya
didahului dengan penyambutan oleh penduduk setempat, pria wanita,
dengan berjajar di kedua pinggir jalan masuk kawasan. Secara
simbolis akan dikenakan pula kepada tamu, baju hitam hasil tenunan
penduduk setempat, lengkap dengan ikat kepala.

Amatoa juga mengurusi segala persoalan yang terjadi di tengah
masyarakat, dengan dibantu oleh galla. Ada lima galla di kawasan itu ì
yakni galla puto, galla pantama, galla kajang, galla anjur, dan galla ì
lombok.

Apabila terjadi suatu pelanggaran adat oleh seorang warganya,
seperti membunuh rusa di hutan, maka Amatoa sebagai pemimpin adat
harus menjatuhkan sanksi berupa pengucilan pelaku atau membayar
denda sesuai jenis pelanggaran. Pelaku wajib menyembelih minimal dua
ekor kerbau, untuk dimakan bersama pada saat upacara pengampunan.

Untuk mengangkat figur seorang Amatoa cukup sulit. Seorang
calon Amatoa harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh
dewan adat. Itu sudah mentradisi sejak penobatan Amatoa pertama.
Penunjukan sekaligus penobatan menjadi Amatoa, memerlukan
proses waktu menimal tiga tahun. Penetapan Amatoa ke-19, yang
dipegang oleh Puto Cacong, membutuhkan waktu 30 tahun, sebelum dia ì
dilantik menjadi Amatoa definitif.

Pertama diangkat, pada tahun 1936, Puto Cacong hanya sebagai
pelaksana tugas. Penobatan sebagai Amatoa definitif baru dilaksanakan ì
tahun 1966. Ketika pada tahun 1986 dia wafat, Puto Cacong digantikan Puto ì
Nyonyo sebagai Amatoa ke-20, yang masih menjabat sampai sekarang.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon Amatoa antara
lain berwawasan luas dalam masalah adat, mempunyai keahlian
menghapal, dan melaksanakan prinsip hidup yang dianut masyarakat
setempat (disebut passang), tidak pernah meninggalkan kawasan adat,
memiliki kemampuan mengenal masa depan dan harus terbukti,
diperkenankan oleh Turio Ara'na (Tuhan) melalui wangsit. Terakhir,
ketika dewan adat sedang bersidang, terlihat sinar keluar dari ubun-
ubun calon.

Amatoa mempunyai masa kepemimpinan dalam kawasan adat seumur
hidup. Jika Amatoa wafat, harus segera diganti, karena
jabatan itu tidak boleh dibiarkan lowong. Untuk itu diadakan sidang
dewan adat. Bakal calon Amatoa minimal tiga orang, dan harus berasal
dari masyarakat kawasan adat bergelar Puto.

Setelah dewan memilih satu orang calon sah, si calon segera diangkat ì
sebagai pejabat pelaksana harian minimal selama tiga tahun, sebagai
masa percobaan untuk menilai kemampuan kepemimpinannya. Kalau
dinilai mampu, segera dipersiapkan upacara penobatan Amatoa
definitif, yang merupakan upacara terbesar dari semua upacara di
dalam Kawasan Adat Amatoa.

Upacara itu dilaksanakan di tengah hutan, dengan dihadiri oleh
seluruh anggota dewan adat dan undangan tertentu. Upacara penobatan
ini, termasuk upacara langka yang dilaksanakan hanya sekali dalam
masa sekian puluh tahun.

Pemegang jabatan Amatoa sekarang, Puto Nyonyo, berkulit bersih,
dengan tinggi sekitar 160 sentimeter. Dia terkesan ramah, karena
senyumnya sering terlihat ketika menyambut tamu dari luar. Namun
ketika Kompas mencoba memotretnya, dia menggerakkan tangan kanannya
sebagai tanda keberatan.

MASYARAKAT Kawasan Adat Amatoa mempunyai prinsip hidup yang
dijalankan dengan penuh kesadaran, disebut Pasangnga Ri Kajang.
Intinya terangkum dalam empat baris, yang masing-masing mempunyai
makna cukup dalam.

Pertama yaitu Abbulo sipappa A lomo sibatu, maknanya bersatu
padu dan seiring sejalan. Sallu riajowa mulu riadahan, maknanya
tunduk pada peraturan dan melaksanakannya dengan benar. Tallang
sipahua Manyu siparampo, maknanya hidup bergotong royong dan saling
melepaskan diri dari kesusahan. Keempat, Mate sirako Bunting
sipahasa, maknanya merasa senasib dan sepenanggungan. Keempat
prinsip itu hidup dan masih dipegang teguh sampai sekarang oleh
masyarakat Kawasan Adat Amatoa.

Dengan keempat prinsip hidup itulah, mereka hidup turun
temurun. Selain terhadap adat, mereka pun tunduk pada aturan
pemerintah. Mereka menyadari berada di bawah pemerintahan mulai
tingkat desa, sehingga aturan-aturan Desa Tanatoa dengan kades HM
Thayeb pun dipatuhi.

Karena itu pulalah, akhirnya mereka mau berhubungan dengan
orang-orang dari dunia luar, seperti umpamanya wisatawan, baik
domestik maupun mancanegara, yang ingin melihat kehidupan langsung
mereka dari dekat.

Pemda Bulukumba sendiri, berusaha lebih "membuka" pola hidup
penduduk kawasan, agar menikmati pula pembangunan di Indonesia.
Salah satunya adalah dalam bidang pendidikan. Ya, dengan adanya
pembangunan gedung sekolah dasar berdinding tembok di luar
perbatasan kawasan itu.

Bahkan menurut Kabag Pemerintahan Pemda Bulukumba, AM
Zulkarnaen, di dalam kawasan direncanakan akan dibangun pula sebuah
masjid bantuan dari YAMP (Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila).
"Secara prinsip mereka mau menerima masjid di dalam kawasan. Apalagi
penduduk kawasan memang beragama Islam," ujarnya.

Dalam upaya mendekatkan penduduk kawasan dengan dunia luar itu
pula, Pemda Bulukumba kemudian membangun jalan sampai ke perbatasan
kawasan beberapa tahun lalu. Kini pengunjung dari luar tinggal jalan
kaki sekitar 200 meter menuju ke dalam kawasan. Itu dilakukan karena
kendaraan apa pun dilarang masuk kawasan.

Tetapi keberadaan madrasan ibtidaiyah swasta di dalam kawasan
paling luar serta SD bersiswa 78 orang di perbatasan kawasan, seolah
menegaskan makin terbukanya penduduk kawasan terhadap dunia luar.
Generasi penerus Kawasan Adat Amatoa rupanya, mencoba bersiap
menerima laju pembangunan. Meski itu dicoba dengan menerima dulu
pendidikan paling dasar sekalipun. ***

Foto:1/mul)