Kamis, 15 November 2007

Sungai Angker dan Muntaber di Leuwihiyeum

KOMPAS - Sabtu, 23 Sep 1995 Halaman: 8 Penulis: MUL Ukuran: 4512

SUNGAI ANGKER DAN MUNTABER DI LEUWIHIYEUM

SUNGAI Cipanggaur di Kampung Leuwihiyeum, Desa Argapura,
Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, mendadak sepi. Tidak ada
penduduk yang mandi, cuci, atau buang air besar. Padahal biasanya,
sebelum fajar menyingsing sampai rembang petang, di sungai itu
denyut kehidupan penduduk setempat terus berdetak.

Sungai di kampung itu benar-benar telah berubah sesuai nama
kampungnya yakni Leuwihiyeum. Terjemahan bebas penduduk setempat
menyebutkan leuwihiyeum berasal dari dua kata dalam bahasa Sunda,
leuwi (sungai) dan hiyeum (angker). Dengan kata lain, sungai di
Kampung Leuwihyeum telah menjadi sungai angker.

Suasana Leuwihiyem terletak sekitar 50 km barat kota Bogor.
Sungai yang lebar, dangkal, berair tenang, dikelilingi pepohonan
tinggi, pada musim kemarau ini perlahan mengalir, dengan kedalaman
paling tinggi sebatas lutut orang dewasa. Sebuah TPU (tempat
pemakaman umum) di seberang sungai, menyempurnakan keangkeran itu.

Penduduk Kampung Leuwihiyeum yang berjumlah sekitar 500 jiwa
atau 180-an KK (kepala keluarga), seolah terbenam di rumah masing-
masing. Mereka mandi dan mencuci di sumur dekat rumahnya, kecuali
buang hajat besar terpaksa masih di Sungai Cipanggaur (bukan Cipager
seperti berita hari Jumat (22/9).

Namun suasana angker dan sepi dari kegiatan itu ternyata hanya
bertahan dua hari. Mulai Jumat pagi kemarin, penduduk kembali
membanjiri kali yang melintas di kampungnya itu. Mereka mandi,
mencuci pakaian dan perlengkapan dapur, serta buang hajat di sungai,
seperti yang sudah turun temurun berlangsung.

Kampung Leuwihiyeum termasuk wilayah Desa Argapura. Menurut
Husnul Khotimah, Kaur Kemasyarakatan Desa Argapura, penduduk desa
itu 7.741 orang. Luas desa 3.681 ha, di antaranya terdiri atas sawah
319 ha, perkebunan mulik PTP XI (kelapa hibrida, cokelat, dan karet)
425 ha, dan hutan negara 180 ha.

Argapura terdiri atas enam kampung yakni Leuwihiyeum,
Leuwiceri, Bolang, Malangbong, Tipar, dan Cipining. Leuwihiyeum
sendiri dapat dijangkau melalui jalan antara Bunar-Parungpanjang.
Dari jalan itu, membelok ke barat satu kilometer lebih melalui jalan
berbatu di tengah-tengah kebun karet.

SELAMA dua hari dua malam, mulai Selasa malam hingga Kamis
siang lalu, warga setempat memang disibukkan oleh penyakit muntaber.
Sebanyak 96 warga harus berurusan dengan petugas kesehatan akibat
terjangkiti wabah ini, terdiri dari 92 orang penduduk Leuwihiyeum
dan 4 warga kampung tetangganya, Leuwihceri.

Dari jumlah itu, 20 pasien harus diinfus di Puskesmas Jasinga.
Seorang lainnya diinfus di posko yang dibentuk di salah satu rumah
penduduk Kampung Leuwihiyeum. Korban lainnya, 10 orang mendapat
pengobatan di Puskesmas Jasinga (tanpa rawat inap), dan sisanya 65
orang mendapat pengobatan di posko.

Tim kesehatan dari Puskesmas Lebakwangi yang dipimpin dr Ani
Supihani H, bahu-membahu mencegah semakin parahnya wabah muntaber.
Apalagi dalam serangan itu salah seorang penduduk, Ny Rumdayah (65),
meninggal saat dirawat di Puskesmas Jasinga. Korban lain di
puskesmas itu sudah pulang.

Sampai Jumat kemarin, di posko Leuwihiyeum tinggal seorang yang
masih diinfus, Ny Yoyo (25). Perempuan yang tengah hamil tujuh bulan
itu, diinfus mulai Jumat pagi. Dia termasuk korban paling akhir
terjangkit muntaber. Kemarin pagi, dua anak-anak juga harus diobati
tim kesehatan.

"Kami sudah membagikan oralit sebanyak 800 bungkus," kata dr
Ani, yang dibantu beberapa tenaga medis dari Puskesmas Lebakwangi.
Pengobatan di posko itu berlangsung sejak Rabu.

MUNTABER yang berjangkit di Leuwihiyeum diduga berhubungan
dengan kebiasaan hidup kurang bersih penduduk setempat. Yang paling
disoroti adalah kebiasaan mandi, mencuci, dan buang air besar di
Sungai Cipanggaur.

"Kami sudah terbiasa turun-temurun memanfaatkan sungai itu.
Meski penduduk di sini umumnya punya sumur, tetap saja mereka pergi
ke kali," kata Maad (60) penduduk setempat. Kebiasaan itu diakui
pula oleh Sekdes, H Mukmin. Dikatakan, hanya untuk masak dan minum,
penduduk setempat memakai air sumur.

Sungai Cipanggaur di Kampung Leuwihiyeum pun hanya berubah
angker dan tidak diminati selama dua hari. Karena kebutuhan dan
kebiasaan, mereka tetap kembali ke sungai itu. Mereka tidak sadar,
muntaber tetap mengancam. (agus mulyadi)