KEMISKINAN DI INDRAMAYU
Setelah empat tahun di Palembang, Sumatera Selatan, saya kembali ke Jakarta awal Desember 2006. Saya kembali pula melihat, memantau, mendengar, tentang kehidupan di Ibu Kota. Jakarta ternyata makin banyak dihuni orang miskin.
Kehidupan yang semakin sulit, mungkin akibat kurang mampunya para pengelola negara ini memakmurkan rakyatnya, menyebabkan perempatan jalan semakin banyak dipenuhi pengemis, pedagang asongan, dan orang-orang "terbuang" lainnya. Kolong tol pun semakin penuh dihuni warga miskin. Demikian pula tepian rel KA dan kolong jembatan, serta rawa-rawa di Jakarta Utara.
Bagi saya, yang lebih menyedihkan adalah fakta bahwa sebagian di antara mereka berasal dari Indramayu. Ini penanda. Ini bukti tentang kemiskinan di Bumi Wiralodra sana. Baik info dari teman-teman maupun yang saya lihat sendiri, di hampir semua perempatan jalan, pengemis-pengemis itu berasal dari Indramayu. Pedagang asongan pun demikian. Pemulung, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, sebagian dari Indramayu pula.
Bahkan saat pengosongan kolong jalan tol di Jakarta Utara, sebagian ternyata berasal dari kabupaten yang merupakan lumbung padi terbesar di Jawa Barat dan Indonesia itu. Saat terjadi kebakaran di kawasan rumah liar di daerah Jagakarsa, September 2007, dari 200-an rumah yang terbakar, sebagian besar penghuninya juga berasal dari daerah penghasil mangga itu.
Dan yang paling menyedihkan, di hampir semua tempat hiburan di Jakarta, banyak ditemui perempuan-perempuan muda asal desa-desa di Indramayu. Di kawasan Manga Besar, Lokasari, Gajah Mada, Hayam Wuruk, Pangeran Jayakarta, dan wilayah Jakarta lain, dengan mudah ditemui perempuan (penghibur) asal kabupaten penghasil minyak dan gas bumi cukup besar itu. Logat mereka saat bicara, baik dengan sesama teman maupun tamu yang tengah ditemani, tidak dapat menyembunyikan daerah asal mereka.
Fakta-fakta itu dapat menjadi bukti bahwa kemiskinan masih menghiasi Bumi Indramayu. Pembangunan selama bertahun-tahun, termasuk pertanian, belum membawa perubahan cukup berarti untuk memerangi kemiskinan. Demikian pula, eksploitasi habis-habisan migas sejak awal 1970-an, tetap membuat kemiskinan di daerah pesisir utara Jawa Barat itu.
Entah apa yang dilakukan pemerintah daerah Indramayu selama ini. Mengapa kekayaan alam yang melimpah, bumi yang subur, dan penduduknya yang dikenal sebagai pekerja keras, seperti menjadi sebuah kutukan?
Begitu banyak migas yang disedot dari Indramayu. Begitu banyak pula ikan hasil tangkapan nelayan yang dikirim ke Jakarta dan daerah lain. Belum lagi lahan pertanian (tanaman padi) yang mampu memproduksi 1,3 juta gabah kering giling. Itu semua tidak mampu mengubah Indramayu menjadi lebih baik. Sebagian penduduknya terus dililit kemiskinan.
Laki-laki dan perempuan terpaksa keluar kampung, merantau ke daerah-daerah yang sebelumnya asing bagi mereka. Batam, Pekanbaru, Dumai, Jambi, Lubuk Linggau, Palembang, Bandar Lampung, serta beberapa daerah di Kalimantan. Sebagian perempuan muda yang merantau akhirnya terjerumus di tempat-tempat prostitusi.
Sebagian perempuan muda Indramayu lain memenuhi tempat-tempat hiburan di Jakarta, seperti panti pijat, diskotek, atau lokalisasi. Ratusan ribu laki-laki dan perempuan lain, dengan gagah berani masuk ke negara lain, seperti negara-negara di Timur Tengah, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan lainnya.baik sekadar menjadi pembantu rumah tangga atau sopir. Sebagian di antara mereka disiksa majikan. Ada yang cacat seumur hidup ada pula meninggal dunia.
Sebagian tenaga kerja wanita asal Indramayu tersebut, tertipu dan dipaksa masuk ke tempat hiburan di negara lain. Di Kuala Lumpur (kawasan Bukit Bintang), Singapura, Sabah, Sarawak (Kinibalu dan Sandakan), mereka konon terjerumus ke dalam "lumpur"..
Belakangan, sebagian bahkan nekat "bekerja" di Jepang. Konon di negara Matahari Terbit itu pun perempuan-perempuan muda tersebut menjadi wanita penghibur. Konon pula, pengiriman mereka ke Jepang berkedok misi kebudayaan.
Kemelaratan memang telah membuat sebagian penduduk Indramayu mencari jalan pintas untuk bertahan hidup, atau mencari kehidupan lebih baik bagi dirinya dan keluarga. Jika kampung halaman mampu memberi sumber nafkah, tentu tidak akan begitu banyak penduduk Indramayu berbondong-bondong mencari uang dengan cara mengemis, memulung, mengamen, menjadi penghibur, atau menjadi pembantu rumah tangga di negara orang.
Kondisi seperti ini tentunya harus menjadi perhatian serius Pemerintah Kabupaten Indramayu (udah ah capek)