KOMPAS - Jumat, 24 Jul 1992 Halaman: 13 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 8372
RUMAH ADAT KARO KINI MULAI RONTOK
DALAM peta propinsi Sumatera Utara, Desa Lingga tidak akan bisa
ditemukan. Beberapa orang di Medan dan seorang petugas hotel ketika
ditanya di mana letak desa itu, juga tidak mengetahuinya. Padahal di
dalam peta wisata dari salah satu hotel di kota itu, bisa ditemukan
nama Desa Lingga.
Mungkin karena hanya satu desa kecil, Lingga luput dari
perhatian dan tidak begitu dikenal. Meski ketika pertanyaan itu
diajukan kepada beberapa orang sopir angkutan antarkota di kawasan
Padang Bulan, Medan, mereka menganjurkan agar naik kendaraan yang
menuju Kabanjahe. Dari ibu kota Kabupaten Karo itu, bisa dilanjutkan
dengan naik kendaraan umum langsung ke Lingga.
Lingga adalah satu desa kecil berpenduduk sekitar 2.500 jiwa.
Letaknya sekitar 83 kilometer Selatan Medan, atau hanya sekitar
delapan kilometer selatn kota sejuk Brastagi. Desa ini termasuk
salah satu daerah tujuan wisata (DTW) Sumatera Utara. Satu objek
wisata yang terutama menarik minat wisman (wisatawan mancanegara)
berkunjung, melihat peninggalan rumah-rumah adat Batak Karo berusia
ratusan tahun.
Desa itu oleh masyarakat setempat dianggap pula, sebagai daerah
asal mula masyarakat Karo. Lingga konon pada ratusan tahun lalu,
menjadi pusat pemerintahan dan cikal bakal suku Batak Karo. Lengkap
dengan seorang raja, rumah pertemuan, dan rumah-rumah permukiman
penduduk di sekitarnya.
Meski kini sudah tidak ada raja di sana, dan sebagian rumah
tinggal penduduk tidak lagi seperti bentuk rumah adat, Lingga masih
tetap ditinggali penduduk setempat. Bahkan keberadaan sisa rumah
adat yang masih berdiri, dijadikan salah satu penarik minat
kedatangan wiman atau turis lokal. Lingga menjadi satu DTW, yang
bisa mendatangkan devisa bagi negara. Mungkin itu sebabnya, meski
tidak ada di peta umum misalnya, desa itu tampak jelas ada di dalam
peta wisata.
RUMAH adat Karo oleh penduduk setempat dinamakan siwaluh jabo.
Gedung berbentuk rumah panggung itu, pada waktu dulu kala menjadi
rumah tinggal masyarakat Karo. Tiang-tiang penyangga rumah panggung,
dinding rumah, dan beberapa bagian atas, semuanya terbuat dari kayu.
Bagian semacam teras rumah -juga berbentuk panggung-, tangga naik ke
dalam rumah, dan penyangga atap, terbuat dari bambu. Sedangkan atap
rumah sendiri, semuanya menggunakan ijuk.
Di bagian paling atas atap rumah adat, kedua ujung atap masing-
masing dilengkapi dengan dua tanduk kerbau. "Tanduk itu dipercaya
penduduk sebagai penolak bala," ujar Darusalam Ginting (35),
penduduk setempat yang biasa mengantar turis.
Satu rumah ditinggali oleh lebih dari satu KK (kepala
keluarga), dalam satu ruangan besar. Di gedung siwaluh jabo yang
dikenal sebagai "rumah raja" umpamanya. Saat ini rumah yang dahulu
kala konon menjadi rumah tinggal Raja Karo itu, ditempati empat KK.
Tiap KK bisa ditandai dengan jumlah dapur yang juga berada di dalam
ruangan. Empat kelambu atau tirai kain persegi dan menempel di
bagian dinding, juga menandakan rumah ditinggali empat KK.
Di dalam kelambu tanpa ranjang atau dipan itu, menjadi tempat
tidur bapak dan ibu. Sedangkan anak-anak tidur di tikar sebelah luar
kelambu, tidak jauh dari dapur. Sedangkan empat dapur dalam ruangan
yang sama itu, masing-masing terletak sekitar empat meter dari empat
penjuru ruangan.
Dapur bagi masyarakat Karo juga mempunyai arti. Tungku tempat
menaruh alat memasak, terdiri atas lima buah batu. Menurut penduduk
setempat lainnya, Mustarif Sinulingga (20), kelima batu menandakan
adanya lima marga dalam suku Karo yang mendiami Lingga, yakni
Sinulingga, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Peranginangin.
Selain siwaluh jabo, gedung tua lainnya adalah kuntur-kuntur,
sapo ganjang, dan grinten. Rumah adat-rumah adat ini menjadi
pelengkap dari satu komunitas masyarakat Karo dahulu kala. Seperti
juga siwaluh jabo, semua bangunan ini berbentuk rumah panggung.
Kuntur-kuntur adalah gedung pertemuan pemuka-pemuka masyarakat
Karo, untuk memecahkan berbagai masalah. Letaknya, sekitar 40 meter
di sebelah timur dari "rumah raja". Bentuknya lebih jauh lebih kecil
dibandingkan siwaluh jabo.
Sapo ganjang bentuknya hampir sama dengan kuntur-kuntur, tapi
dalam ukuran sedikit lebih kecil lagi. Gedung ini disediakan
penduduk, khusus untuk pemuda-pemuda lajang yang ingin tidur atau
beristirahat.
Sedangkan grinten, terbagi dua macam. Ada grinten yang khusus
menjadi tempat muda-mudi berpacaran. Sebelum menuju jenjang
perkawinan, di sinilah tempat muda-mudi memadu janji dan berusaha
untuk saling mengetahui isi hati masing-masing. "Kalau sekarang
tempatnya ya bukan di sini Bang," kata Mustarif, pemuda yang baru
lulus dari STM tahun ini.
Gedung lain yang disebut pula dengan nama grinten, berukuran
lebih kecil lagi dibanding grinten tempat kencan. Bangunan ini
menjadi tempat penyimpanan tengkorak-tengkorak, sanak keluarga
pemilik grinten yang telah meninggal.
Salah satu grinten yang sampai saat ini masih menjadi tempat
penyimpanan tengkorak, berada di pinggir jalan di desa Lingga,
sekitar 200 meter selatan gapura pintu masuk kawasan Lingga.
KEBARADAAN rumah adat-rumah adat di Lingga, memang seakan
simbol dari kebesaran nenek moyang Batak Karo masa lampau. Namun
"sisa" kebesaran itu, kini tampaknya sudah kurang diperhatikan lagi.
Selain karena sudah tersentuh peradaban lebih moderen, pewaris
rumah-rumah itu sudah tidak sanggup lagi memperbaikinya.
"Biaya memperbaiki rumah adat ini sangat mahal. Keturunan
pemilik lebih memilih membangun rumah baru dari tembok dan beratap
seng, karena biayanya lebih murah," ujar Darusalam. Mereka membuat
rumah, baik di kawasan Lingga sendiri maupun jauh ke daerah lain.
Hingga tidak aneh kalau di Lingga kini, berderet bangunan-
bangunan tembok atau beratapkan seng. Atau bagi yang berduit, rumah
tembok dengan model arsitektur masa kini.
Tidak adanya perawatan oleh pemiliknya sekarang, mengakibatkan
sebagian besar kondisi rumah adat sungguh mengenaskan. Dari 18 rumah
adat yang tersisa, hanya tujuh di antaranya yang masih berdiri dan
dihuni orang. "Rumah-rumah itu tinggal menunggu ambruk saja," kata
Darusalam Ginting, sambil menunjuk beberapa rumah yang sudah bolong-
bolong bagian atapnya.
Dalam empat bulan terakhir ini saja, menurut dia, sudah ada
tiga rumah adat yang ambruk. Terakhir terjadi pertengahan Juli lalu.
Kalau dilihat jauh ke belakang lagi, tentu lebih banyak lagi
bangunan yang telah ambruk dan diganti bangunan baru. Darusalam
mengungkapkan bahwa sampai skitar tahun 1960-an, masih ada sekitar
40 rumah adat. Namun kemudian rumah-rumah itu rontok satu demi satu.
Pemerintah sendiri sebenarnya tidak lepas begitu saja, terhadap
peninggalan bangunan-banguunan tua itu. Tiga rumah di antaranya
telah direnovasi oleh pihak Deparpostel Februari 1992 lalu, yakni
dua gedung siwaluh jabo (termasuk "rumah raja" dan satu gedung
kuntur-kuntur. Biaya renovasi konon paling sedikit Rp 8 juta per
gedung.
Bangunan sisa kalau tidak segera direnovasi, tentu akan seperti
tiga bangunan lain yang sudah rata dengan tanah. Sebagian rumah tua
itu kini hanya dimanfaatkan penduduk setempat untuk kandang babi.
Sebagai salah satu DTW Sumatera Utara, tentu kehancuran tidak
akan begitu saja dibiarkan datang. Dan untuk bisa memancing lebih
banyak lagi wisman, pihak terakit harus segera turun tangan
merenovasi bangunan sisa yang masih berdiri. Apalagi Lingga cukup
menarik wisman datang.
Lokasi Lingga sendiri cukup potensial untuk berkembang.
Letaknya yang berada di antara Brastagi-Danau Toba, bisa memancing
lebih banyak lagi turis datang. Selain perbaikan rumah adat-rumah
adat, penataan lingkungan tentu harus pula diperhatikan. Agar tidak
ada lagi, misalnya, kotoran babi berserakan di mana-mana seperti
sekarang ini. (agus mulyadi)
Teksfoto: 1
"RUMAH RAJA" - Setelah selesai direnovasi Februari 1992 lalu, sebuah ì
rumah adat Siwaluh Jabu di Lingga tampak kukuh kembali. Gedung berusia ì
sekitar 400 tahun, dinamakan penduduk setempat "Rumah Raja", rumah ini ì
menjadi tempat tinggal Raja Karo dahulu kala.