Rabu, 14 November 2007

Mempertaruhkan Hidup dengan Cangkul

KOMPAS - Sabtu, 08 Apr 1995 Halaman: 8 Penulis: MUL Ukuran: 5348
MEMPERTARUHKAN HIDUP DENGAN CANGKUL
PULUHAN orang berkerumun di pinggir Jalan Ahmad Yani, Jakarta
Timur pekan lalu. Mereka sedang menyaksikan dua buah mobil rusak,
yang beberapa saat sebelumnya saling bertabrakan. Sementara belasan
orang lainnya, terlihat tiduran atau duduk-duduk di bawah jalan
layang Cawang-Tanjungpriok itu.
Ada pemandangan khas di antara kerumunan orang yang rata-rata
berpakaian lusuh itu. Di sana-sini teronggok bungkusan atau tas, dan
batang cangkul. "Kami sedang menunggu pekerjaan," kata beberapa
orang dari mereka.
Di bahu jalan di bawah jalan layang itulah, para buruh kasar
berbekal cangkul ini menunggu jatuhnya rezeki. Menunggu orang-orang
yang mau memakai jasa mereka. Siang malam, kalau tidak ada kerja,
mereka duduk dan tidur di udara terbuka beratapkan jalan layang.
"Kami semuanya berasal dari Kabupaten Brebes, Jateng," kata
Warkim yang mengaku berasal dari Desa Jemasih, Kecamatan
Ketanggungan, Brebes.
Mandi tidak terlalu mereka pikirkan, sebab untuk keperluan ini
ada sebuah sumur pompa di tanah kosong sebelah barat jalan. Makan
pun, mereka bisa utang dulu di warung yang pemiliknya juga berasal
dari daerah sama.
Soal pekerjaan? Semuanya tergantung dari tawaran. Biasanya
pelaksana proyek yang menawarkan kerja seperti membuat galian kabel
Telkom, pipa PAM, pondasi rumah, dan sebagainya.
Kerumunan buruh cangkul ini terdapat pula di bawah pepohonan
jalur hijau di sekitar pintu masuk kawasan industri Pulogadung, dari
arah Jalan Pemuda. Meski tidak tidur di di bawah pepohonan itu,
kalau malam mereka juga harus saling berjejal untuk beristirahat di
pondokan.
* * *
SEKWILDA DKI Jakarta Harun Al Rasyid, dan Ketua DPRD DKI
Jakarta MH Ritonga pernah mengatakan, para pendatang baru
hendaknya memiliki jaminan kerja dan tempat tinggal yang tetap.
"Bila tidak punya keterampilan, jangan coba ke Jakarta. Banyak
pendatang baru jadi gelandangan karena tak punya bekal itu," tegas
MH Ritonga.
Ia memperkirakan, jumlah pendatang baru ke kota Jakarta usai
Lebaran 1995 diperkirakan antara 200.000 sampai 300.000 orang. MH
Ritonga mengakui, Jakarta memang ideal sebagai tempat mencari
nafkah. Tetapi itu hanya dapat dimenangkan oleh mereka yang memiliki
keterampilan. Sedangkan mereka yang tidak memiliki bekal itu akan
terjepit, dan selanjutnya menjadi gelandangan, pengemis, dan
menghuni permukiman-permukiman kumuh.
Kaum urban yang datang bermodalkan cangkul dan menjadi buruh
bangunan, tidak hanya terdapat di kawasan Pulogadung. Sejumlah orang
lainnya, mangkal di bawah pepohonan di Jalan Ahmad Yani, Cinere,
kawasan Halim Perdanakusuma, dan lokasi lain.
Sebagian pekerja seperti ini ada yang telah berpengalaman dan
mengadu nasib selama belasan tahun. Seperti misalnya Haryono (29)
dan Waryo (30) yang berasal dari Larangan, Brebes. Umumnya kalangan
buruh ini tiba di Jakarta setelah mendengar informasi dari
rekannya. Cerita tentang kemudahan memperoleh uang dalam jumlah
ribuan rupiah, mendorong warga desa berbondong-bondong meluncur ke
Ibu Kota. Di desa mencari uang Rp 100 pun nyaris mustahil.
Tapi impian mereka tidak semua menjadi kenyataan. Seperti
dialami Haryono, Waryo, dan teman-temannya yang ke Jakarta seusai
Lebaran namun belum juga ada tawaran kerja.
* * *
"UNTUK makan kami bisa utang dulu di warung," kata Haryono,
yang mengadu nasib di Jakarta sejak awal tahun 1980-an. Mereka bisa
utang karena pemilik warung berasal dari satu desa. Dan di kawasan
industri Pulogadung itu terdapat lima warung makan yang menjadi
langganan ratusan orang asal Brebes, para buruh yang mengadu nasib
di Jakarta. Di pondokan-pondokan sekitar warung makan ini pula
mereka tinggal, untuk sekadar memejamkan mata pada malam hari.
Menurut Haryono dan Waryo, utang itu seperti biasanya dibayar
kalau mereka mendapat pekerjaan nanti. Kalau tidak juga dapat
pekerjaan, utang bisa saja diselesaikan di desa nanti. Soal tidak
kunjung mendapat pekerjaan sampai sebulan lebih ini, pernah membuat
Haryono misalnya, terpaksa pulang kampung dengan numpang truk.
Pekerjaan yang didapat itu biasanya dalam bentuk borongan,
sehingga upahnya pun berdasarkan kesepakatan pemberi pekerjaan.
Namun karena lamanya waktu menganggur, uang bayaran hanya dapat
untuk menutup utang. Jarang berlebih, kalaupun ada, berapa pun
jumlahnya, dikirim untuk keluarga di kampung lewat teman.
Meski perjuangan hidup begitu berat dirasakan, para buruh
cangkul itu tetap mencoba bertahan. Sebab di kampung mereka, untuk
menjadi buruh tani sekali pun tetap banyak saingan. Waktunya pun
musiman, hanya pada waktu pengolahan lahan yang tidak terlalu lama
dan saat panen. Namun ada sebagian dari mereka memang tidak dapat
bertahan, sehingga terperosok ke dunia hitam. Ikut-ikutan menjadi
maling, copet, atau rampok. Sebagian lainnya, menjadi pemulung,
gelandangan, dan pengemis. Itulah nasib pendatang di Ibu
Kota...(mul)
Teks Foto:
MENUNGGU REZEKI-Ratusan calon tenaga kerja dengan berbekal cangkul
datang mengais rezeki di Ibu Kota. Tapi kebanyakan dari mereka malah ì
menganggur. Dibawah jalan layang inilah, mereka menanti, tidur dan
berharap.