Senin, 12 November 2007

Nelayan "Gegemi" yang Lengket Pada Ikan Besar

KOMPAS - Jumat, 26 Nov 1999 Halaman: 17 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 7651
NELAYAN, "GEGEMI" YANG LENGKET PADA IKAN BESAR
KATA orang nasib nelayan kecil-seperti juga nelayan buruh-selalu
di ujung tanduk. Mencari ikan di laut, diintai maut. Bisa karena
perahu bocor akibat kurangnya perawatan, dan terbalik. Atau di tengah
badai dipukul ombak dan perahu-perahu kecil itu pecah
berkeping-keping. Bila itu yang terjadi, bisa-bisa hanya nama yang
pulang ke pantai.
Akan tetapi, di darat pun tak beda! Utang melilit tubuh dan
dirinya sudah terikat kepada pemilik uang. Apakah dia tengkulak atau
juragan atau pemilik perahu. Karena terikat, nelayan tak bisa bebas
menentukan pilihan. Nasibnya di tangan orang lain.
Beda dibanding pemilik perahu atau nelayan besar. Sebutan boleh
sama, tetapi nasib berbeda. Nelayan besar tak tergantung hasil
tangkapan hari ini. Untuk nelayan kecil hasil tangkapan sangat
menentukan. Apakah hari ini dia dan keluarganya bisa makan atau tidak.
Nelayan besar punya lumbung untuk menghadapi masa paceklik-di musim
angin barat-yang berlangsung selama tiga bulan setiap tahun.
Ihwal semacam itu menampakkan sosoknya secara jelas sepanjang
pantai Laut Jawa dan Selat Sunda di Kabupaten Pandeglang, Serang, dan
Tangerang, serta Kotamadya Cilegon. Sepertinya mengikuti garis pantai
yang seakan tak berujung, begitu pulalah nasib nelayan kecil.
Sepanjang hidupnya didera kemiskinan.
***

CITUIS di Kecamatan Pakuhaji (Tangerang), atau Bojonegara
(Cilegon), Pasauran, Kecamatan Cinangka (Serang), Sukanegara, Carita,
dan Labuhan, Kecamatan Labuhan, Citeureup serta Panimbang, Kecamatan
Panimbang, Sumberjaya dan Tamanjaya, Kecamatan Sumur (Pandeglang)
adalah desa-desa nelayan kecil.
Serba kekurangan, dililit utang sepanjang hidupnya. Celakanya,
generasi berikutnya pun tetap tak bisa beranjak dari serba kekurangan
dan utang.
Dan dalam situasi semacam itu, muncullah para tengkulak yang
selalu siap memberikan pinjaman uang. Syaratnya tak banyak. Hanya
satu, hasil tangkapan harus dijual dan harganya ditentukan oleh
tengkulak.
Nelayan buruh, seperti yang dituturkan Entis dan Alimudin di
Citeureup, Kecamatan Panimbang, Pandeglang pertengahan November lalu,
seumur-umur juga dijerat utang. "Dari mana keluarga saya bisa tetap
makan, kalau sama sekali tidak mendapat upah dari mencari ikan di
musim angin barat seperti sekarang," ujar Alimudin (45), ayah empat
orang anak.
Sama sepert Entis, sejak masih usia belasan tahun, Alimudin telah
terjun ke laut, menjadi buruh nelayan. Dia menerima upah sebagai awak
perahu. Upah untuk menghidupi keluarganya. Upah yang jumlahnya tak
pernah tetap. Berjuang mati-matian bukan ukuran. Tergantung hasil
tangkapan. Tak ada hasil-artinya, penjualan hasil tangkapan hanya
cukup untuk mengganti biaya melaut, beli bahan bakar, garam, kopi dan
sebagainya-tak ada pula upah.
Akan tetapi, Entin dan Alimudin serta keluarga masing-masing harus
makan. Dan pilihan satu-satunya, membuat utang baru kepada pemilik
pe-rahu. Bila hal sama terjadi esok dan esoknya lagi, maka utangpun
menumpuk. "Mengubah hidup, hanyalah mimpi bagi kami," kata Entis, atau
Yana, Asim warga Desa Pasauran, Kecamatan Cinangka, Serang.
Dulkarim (55), warga Desa Sukanegara, Karangbolong, Serang, atau
Akya (60) warga Desa Sumberjaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten
Pandeglang, sudah menjadi nelayan sejak masih remaja. Di usia senja
sekarang ini keduanya mengaku harus terus melaut. Selain untuk
menghidupi keluarga, juga untuk melunasi utang.
Beda dibanding nelayan buruh, Dulkarim sudah memiliki perahu kecil
dan jaringnya. Tetapi, itu bukan jaminan bisa mengubah nasib. Bahkan
Dulkarim tak bisa menghindarkan Naroji (17), cucunya dari nasib
serupa. Naroji sudah pula mengikuti jejaknya menjadi nelayan.
Begitu pun, Dulkarim tetap setia melaut. Dia tak mau beralih
profesi. Padahal muara sungai tempatnya biasa berlabuh di Pasauran,
sejak lama telah menjadi bagian dari kawasan wisata di kawasan
Karangbolong. Tetap saja Dulkarim tidak tertarik memanfaatkan
perahunya mengantar pengunjung pantai yang ingin berwisata di laut
misalnya. Pekerjaan itu diakuinya bisa mendatangkan uang jauh lebih
besar dibanding mencari ikan.
Akya yang mempunyai enam anak, 12 cucu dan sembilan buyut, sudah
punya bagan. Akan tetapi ia juga tak mampu menghindarkan anak-anaknya
menjadi nelayan. Tak mampu mem-beri mereka pendidikan sehingga tak
perlu melaut.
***

INILAH penuturan Tasirah (65), seorang pembuat perahu, warga desa
nelayan Labuhan, Kabupaten Pandeglang. Kata pria yang membuat perahu
sejak 1960-an itu, di Labuhan dikenal dua istilah untuk membedakan
nelayan besar dan kecil. Juragan atau nelayan besar disebut "bapak
nelayan". Sedangkan para buruh dan nelayan kecil hanyalah "anak
nelayan".
"Istilah bapak dan anak nelayan itu untuk menggambarkan perbedaan
dua golongan nelayan yang berbeda tersebut," kata Tasirah, saat
ditemui sedang membuat perahu. Karena hanya sebagai anak nelayan,
ungkapnya, buruh dan nelayan kecil tetap tidak bisa lepas dari
ketergantungan kepada juragan nelayan. "Anak nelayan" selalu
bergantung kepada "bapak nelayan", tanpa bisa menjadi besar dan
mandiri.
Nelayan di perairan Selat Sunda punya istilah lain.
Nelayan-nelayan Sumberjaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang,
menamakan nelayan kecil atau buruh nelayan sebagai gegemi.
Gegemi itu ikan yang selalu menempel dan menumpang hidup pada ikan
lain yang lebih besar. Sepanjang hidupnya, gegemi selalu tidak lepas
dari ikan besar," kata Odi (30), nelayan Sumberjaya.
***

INGIN mengubah nasib menjadi lebih baik, adalah cita-cita setiap
insan. Termasuk nelayan kecil, walau mereka sadar hal itu sangatlah
sulit. Tetapi, harapan selalu ada. Dan harapan itu bisa diwujudkan
bila pemerintah turun tangan menggantikan peranan juragan. Setiap saat
siap memberikan kredit untuk modal melaut atau membeli, memperbaiki
alat tangkapan dan perahunya. Tetapi, hasil tangkapan dan pemasarannya
tetap di tangan nelayan.
Petani dapat KUT (kredit usaha tani), tetapi nelayan tak dapat
apa-apa. Dan ketika Presiden Gus Dur mengumandangkan akan
memaksimalkan penggalian potensi kelautan, Odi dan rekan-rekannya
nelayan Sumberjaya mengira, pemerintah akan menurunkan bantuan kredit
kepada mereka. Kredit untuk membeli perahu, mesin dan jaringnya,
sekalian buat modal kerja. Dengan demikian potensi kelautan bisa
digali lebih baik lagi. "Saya dan kawan-kawan menerjemahkan ucapan
presiden itu untuk meningkatkan hasil tangkapan. Itu saja," kata Odi.
Cuma, Odi agaknya tak paham hasil tangkapan meningkat-entah berapa
kali pun-tak langsung meningkatkan kesejahteraan nelayan. Masih ada
soal besar, yakni ihwal pemasaran yang juga di tangan "bapak nelayan".
Dialah yang menentukan berapa hari ini harga tongkol, udang, gembung
dan sebagainya... (agus mulyadi)

Foto:1
Kompas/agus mulyadi
PERAHU DITAMBATKAN - Musim angin barat merupakan petaka bagi
nelayan. Sewaktu-waktu cuaca bisa berubah disertai angin barat
yang berembus kencang dan ombak besar. Biasanya, di musim angin
barat yang dimulai sejak awal November lalu - dan berlangsung
sekitar tiga bulan - adalah hari untuk beristirahat bagi nelayan.
Tetapi, karena umumnya nelayan di negeri ini berpenghasilan kecil,
maka di musim angin barat pun terpaksa juga melaut. Hanya saja,
risikonya menjadi sangat besar, bisa-bisa nyawa pun melayang
ditelan ombak.