Kamis, 15 November 2007

Terus Berimpit-impit di KRL Jabotabek

KOMPAS - Jumat, 23 Feb 1996 Halaman: 8 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 4815

TERUS BERIMPIT-IMPIT DI KRL JABOTABEK

INI memang cerita lama. Suasana di gerbong-gerbong KRL (kereta rel
listrik) Jabotabek kelas ekonomi dari Bogor ke Jakarta tetap saja
pengap, panas, sesak, berimpitan, dan menebarkan seribu macam aroma
campur aduk. Selalu begitu setiap hari, tidak pernah berubah.

Namun masyarakat pengguna jasa kereta itu, selalu setia. Mereka
rela berdesakan, berimpitan selama bertahun-tahun. Malahan jumlah
masyarakat yang memanfaatkan KRL Jabotabek Bogor-Jakarta Kota pp
(pergi-pulang) terus meningkat.

"Kesetiaan" masyarakat terhadap angkutan massal ini, karena memang
tidak ada pilihan lain. Masyarakat harus nrimo keadaan itu. Sebab
kalau tidak, mereka akan lebih susah lagi mencari angkutan lain
menuju ke tempat bekerja di Jakarta dan pulang ke Bogor. Bus-bus yang
menghubungkan Jakarta-Bogor tidak bisa diandalkan. Selain mahal
jumlahnya juga terbatas. Belum lagi jika terjebak kemacetan lalu
lintas.

Masyarakat akhirnya tetap "harus setia" pada KRL Jabotabek. Lantas
tidak aneh jika 42 perjalanan KRL kelas ekonomi dari Bogor (atau 84
kali Bogor-Jakarta pp), selalu dijubeli penumpang. Sambil berdesakan
dan berebutan, penumpang pun naik dan turun di 22 stasiun KA yang
dilewati.

Sejak beberapa waktu lalu, untuk melayani kebutuhan penumpang
kelas bisnis dioperasikan pula KRL Pakuan. Naik kereta ini suasana
perjalanan sangat jauh berbeda. Selain penumpang tidak berjejal
-kecuali pada pagi dan petang hari- kereta ini hanya berhenti di
terminal tujuan akhir. Perjalanan menjadi jauh lebih singkat. Dalam
satu hari dari Bogor diberangkatkan enam kali atau 12 kali pp
perjalanan KRL Pakuan.

Menurut Kepala Stasiun Bogor, Ismanto, didampingi wakilnya,
Warsono, dalam satu hari dari Stasiun Bogor diangkut antara 12.000
sampai 21.000 penumpang. Sebagian dari jumlah itu adalah masyarakat
pekerja di Jakarta. Selebihnya mulai dari pelajar, mahasiswa,
pedagang, atau pengangguran yang mencoba mencari pekerjaan di Ibu
Kota.

Angka penumpang KRL dari Bogor yang mencapai 21.000 orang,
biasanya terjadi pada Senin. Sedangkan angka 12.000 pada hari Sabtu.
Hari lainnya berkisar 14.000 sampai 17.000 orang.

TINGGINYA kebutuhan masyarakat pekerja dari Bogor atas jasa
angkutan yang cepat dan murah seperti KRL Jabotabek, akan semakin
meningkat di waktu mendatang. Apalagi belakangan semakin banyak
tumbuh perumahan di wilayah selatan Jakarta. Masyarakat pekerja
benar-benar sangat bergantung pada angkutan massal itu.

Maka saat terjadi gangguan pada angkutan itu, masyarakat pun
kalang kabut. Misalnya saat ada KRL anjlok di Lentengagung, Jaksel,
beberapa waktu lalu yang menimbulkan perjalanan kereta terhambat,
sehingga ribuan orang pekerja terkena getahnya. Mereka berhamburan
mencari angkutan lain agar sampai ke tempat kerja di Jakarta.
Sebagian lagi terpaksa membawa surat keterangan terlambat masuk kerja
dari pihak Stasiun Bogor.

Berdiri berdesakan dalam gerbong kereta yang sumpek dan jauh dari
kenyamanan sudah menjadi bagian hidup warga Bogor yang ke Jakarta atau
sebaliknya. "Mas tolong tangannya diturunkan," kata seorang wanita
muda kepada pria di sebelahnya. Mereka berdua berada di tengah
himpitan penumpang yang menjejali KRL Jabotabek dari Jakarta ke Bogor
petang hari. Permintaan wanita muda tadi akibat terganggu bau busuk
dari ketiak pria di sebelahnya.

Kejadian seperti itu sudah teramat biasa. Berdesakan, saling
berbagi keringat atau bau tidak sedap.
Meski berdesakan, transportasi Bogor-Jakarta pp dengan kereta
terbilang murah. Sekadar contoh, harga tiket KRL ekonomi
Bogor-Jakarta Kota hanya Rp 700, KA Pakuan kelas bisnis non-AC Rp
2.500, dan Pakuan AC Rp 3.500.

Tarif itu menjadi lebih murah lagi kalau penumpang memakai sistem
bayar karcis langganan. Harga karcis abonemen untuk kelas bisnis
misalnya, hanya Rp 70.000 per bulan, sedangkan untuk KRL ekonomi Rp
11.800 per bulan.

Ringannya biaya itu dirasakan betul oleh Samiun, karyawan Bagian
Perlengkapan Depkes. Selain bayar tiket langganan Rp 11.800 per bulan,
dia tinggal mengeluarkan uang Rp 1.500 per hari untuk transpor ke dan
dari stasiun.

Sementara menurut Hasan, karyawan perusahaan swasta di kawasan
Plumpang, Jakut, dia memilih Bogor sebagai tempat tinggal karena
kemudahan transportasinya bila dibanding Tangerang atau Bekasi.

Seperti penumpang lainnya, kini harapan mereka terpusat pada
rencana penggunaan rel ganda, yang pembangunannya diharapkan selesai
tahun ini. "Mudah-mudahan nanti perjalanan KA lebih banyak lagi,
sehingga penumpang tidak terlalu berjubel," kata Hasan. (agus
mulyadi)