Senin, 12 November 2007

Laporan dari Banten, Monumen Ketimpangan Pembangunan

KOMPAS - Minggu, 21 Sep 1997 Halaman: 4 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 8194
Laporan dari Banten
MONUMEN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN
TIANG listrik beton berderet di pinggir jalan yang menghubungkan
desa-desa di Kecamatan Panimbang sampai Pucung, Kabupaten Pandeglang,
Jawa Barat. Sudah lebih dari satu tahun warga kawasan itu berharap,
kapan listrik menerangi desa-desa mereka.
Deretan tiang listrik beton di daerah yang berjarak 200 kilometer
dari Ibu Kota Jakarta itu, terletak di pinggir jalan yang kondisinya
justru terbalik dengan kukuhnya tiang listrik. Hampir 100 kilometer
jalan yang menghubungkan Panimbang - Cibaliung - Cikeusik - Pucung,
kondisinya berantakan.
Sulit ditemui jalan licin beraspal. Jalan yang rata hanya beberapa
ratus meter setelah pertigaan Panimbang-Tanjung Lesung, dan dua kilometer
menjelang Pucung sebelum bertemu Jl Raya Malingping, jalan kelas propinsi
yang diaspal hotmix. Kondisi jalan rusak yang tiap hari dilalui warga
setempat, dan harap-harap cemas kapan benderangnya nyala listrik bisa
dinikmati, menjadi bagian hidup sehari-hari warga kawasan itu.
Kondisi ini amat jauh berbeda dengan daerah tetangga mereka di
sebelah utara dan barat, seperti Anyer, Karangbolong, dan Carita.
Warga di tiga daerah itu sejak bertahun-tahun lalu, telah menutup buku
cerita lama tentang ketertinggalan mereka. Rupiah dan dollar kini
telah membanjir ke kawasan wisata itu. Kawasan itu telah menjadi daerah
tujuan wisata (DTW) yang diminati, dengan sendirinya pembangunan
infrastruktur seperti jalan, menjadi prioritas pemda setempat. Tidak ada
jalan di kawasan Carita dengan kondisi hancur, atau berlubang sekalipun.
Buku berisi cerita lama tentang ketertinggalan pembangunan -
seperti dialami warga di kawasan antara Panimbang - Cibaliung -
Cikeusik- Pucung, mulai ditutup warga daerah tetangga lainnya di
Kabupaten Pandeglang, yakni mereka yang bermukim di kawasan Tanjung
Lesung sampai Sumur. Daerah yang sudah dekat dengan kawasan suaka alam
Ujung Kulon itu, kini sudah diincar investor berkantung tebal dari Jakarta.
Sebagian kawasan wisata, Tanjung Lesung kini mulai dibangun.
Sejumlah rumah peristirahatan dan jalan mulus ke kawasan itu telah
terwujud. Nantinya sejumlah dermaga juga akan dibangun di bibir
pantai, untuk kepentingan para pemilik atau penyewa rumah peristirahatan.
Rupiah dan dollar mulai mengintip masuk ke kawasan hutan bakau yang
setahun lalu masih perawan itu.
Kondisi yang jauh berbeda antara daerah bertetangga itu - kawasan
Panimbang - Cibaliung - Cikeusik - Pucung dengan kawasan Tanjung
Lesung - Sumur dan Carita - Karangbolong - Anyer - belum diketahui
kapan akan berakhir. Yang pasti, perbedaan yang kian jelas memperlihatkan
ketimpangan pembangunan di kawasan ini. Ketimpangan pembangunan tidak
hanya dialami warga kawasan Indonesia bagian Timur.
Ketimpangan juga dirasakan oleh mereka yang ada di daerah tidak
jauh dari Jakarta. Ketertinggalan dan sentuhan pembangunan yang masih
terasa jauh, telah berpuluh tahun dialami warga di sebagian
Panimbang-Cibaliung-Cikeusik-Pucung.
Deretan tiang listrik beton yang kokoh berdiri, tidak ubahnya
monumen peringatan. Monumen di sepanjang pinggir jalan rusak itu,
bagai wujud ketimpangan pembangunan yang dirasakan warga setempat.
***
"DAERAH kami sepertinya tidak pernah dilirik Pemda Kabupaten
Pandeglang. Kalau daerah kami diperhatikan, paling tidak jalan ini
jangan dibiarkan terus-terusan parah," kata Ahdi (35), warga yang
ditemui di Desa Kesur, Kecamatan Cikeusik, beberapa waktu lalu.
Padahal jalan yang menghubungkan kampung itu dan telah bertahun-
tahun dibiarkan rusak parah, merupakan urat nadi perekonomian warga
setempat. Melalui jalan itulah, warga misalnya bisa menjual hasil
pertanian mereka ke pasar atau daerah lain.
Kini rusaknya jalan antara Panimbang-Pucung, menjadi pelengkap
tertinggalnya warga daerah itu. Terabaikannya daerah itu, misalnya
bisa terlihat ketika dalam perjalanan siang hari pada bulan Agustus
1997 lalu, Kompas hanya berpapasan dengan lima unit mobil.
"Kalau mau lewat jalan ini, kondisi kendaraan harus benar-benar
bagus. Jangan coba-coba lewat menggunakan mobil dengan kondisi pas-pasan,"
kata sejumlah warga Desa Cihanjuang, Kecamatan Cibaliung, yang tengah
berkumpul di salah satu warung.
Sepanjang ruas jalan Cibaliung-Pucung, warga akhirnya hanya bisa
mengandalkan sepeda motor ojek sebagai alat transportasi umum. Tetapi,
adanya ojek bukan berarti warga telah terbebas dari deraan rusaknya
jalan. Badan tetap terbanting-banting, karena roda sepeda motor tidak
menemukan badan jalan yang mulus ketika melintas. Selain itu, tidak
semua warga setempat mampu menggunakan jasa ojek sepeda motor.
Tarifnya amat tinggi, membuat sebagian warga enggan memanfaatkannya.
Akhirnya, mereka memilih berjalan kaki.
Maka bukan pemandangan aneh, jika di sepanjang jalan rusak itu
kerap terlihat laki-laki warga setempat, memikul hasil pertanian
seperti kelapa untuk dijual di pasar terdekat. Kendati nilai tukar
hasil pertanian mereka terlalu rendah, namun mereka tak peduli.
Ahmad (46), warga Desa Cikeusik, harus terbungkuk-bungkuk memikul
50 kelapa tanpa kulit. Jarak tiga kilometer, harus ditempuh dengan
berjalan kaki, dan sudah dijalankan puluhan tahun. Dengan 50 kelapa
itu, Ahmad hanya mendapatkan Rp 10.000.
Nasib Ahmad juga dialami ribuan petani di wilayah Banten. Di
pelosok Kabupaten Pandeglang lainnya, hal serupa juga terjadi. Juga
yang terjadi di daerah tetangganya, Kabupaten Lebak dan Serang.
***
BURUKNYA kesejahteraan hidup warga - khususnya di sebagian
pedalaman Kabupaten Pandeglang seperti di kawasan antara Panimbang -
Pucung - dengan mata telanjang bisa terlihat dari kondisi rumah
mereka. "Istana" tempat warga berteduh, tidak ubahnya gubuk-gubuk yang
mungkin kalau ditiup angin kencang, bisa ikut terbang.
Sebagian besar warga di kawasan itu, mendiami rumah panggung berukuran
seperti rumah tipe 36. Dinding dari anyaman bambu, atap dari anyaman daun
kelapa. Bila hujan deras, tetes-tetes air kerap menimpa penghuninya yang
mungkin sedang tidur lelap.
"Hanya ini yang bisa kami bangun, dan ini sudah cukup bagi kami.
Rumah dari tembok, berlantai keramik, dan beratap genteng, itu impian
kami di daerah ini," kata seorang warga Desa Kelur, Cikeusik.
Di dalam gubuk kecil itu, sebagian warga bertahan hidup bersama
anak-istri, atau saudaranya. Meski harus berdesak-desak, mereka
menerima semuanya itu sebagai bagian hidup sejak mereka lahir.
Memang tidak semua warga di kawasan itu hidup di alam keterbelakangan.
Ada satu dua warga yang hidup lebih dari cukup untuk ukuran di sana. Di
halaman satu dua rumah warga setempat, misalnya bisa dilihat adanya antena
parabola.
Dari media elektronik itulah, warga setempat melihat kemajuan yang
lebih dulu hinggap di daerah lain di Indonesia. Mereka hanya bisa
melihat dari kejauhan, saudara-saudara mereka di daerah lain, yang
sudah menikmati hidup lebih baik. Di malam hari, kegelapan menyelimuti
mereka. Daerah mereka tidak segemerlap Carita, Karangbolong, Anyer,
atau nantinya Tanjung Lesung.
Warga setempat hingga kini hanya bisa berharap, kapan loncatan
kemajuan itu bisa mereka nikmati. Apakah mereka harus menunggu lebih
dulu datangnya investor ke daerah mereka, atau menunggu pemerintah?
Bila dua hal itu tetap tidak terwujud, mereka akan makin tertinggal
apalagi dibanding daerah sekitar yang dihembus angin perubahan begitu
kencang.
Tiang beton tanpa nyala listrik yang berderet pun, tidak ubahnya
seperti monumen ketertinggalan hidup mereka dibanding daerah lain.
Tiang-tiang beton tanpa listrik itu, seolah simbol ketimpangan
pembangunan bagi warga Banten pedalaman. (agus mulyadi)


Foto
Kompas/mul
SEROBOT PANTAI - Dengan mengambil lahan pantai, pemodal berduit
mencoba mendirikan bangunan di tepi pantai di kawasan Panimbang. Sebelum
pengurukan, pantai ini lebih dahulu "diturap" dengan dinding beton.