Senin, 12 November 2007

Kejahatan di Kereta Api, Jendela Terbuka Penimba Datang

KOMPAS - Minggu, 18 Oct 1992 Halaman: 1 Penulis: MULYADI, AGUS/GUN/NTS/POM/P/E/HW Ukuran: 12125
Kejahatan di Kereta Api
JENDELA TERBUKA, PENIMBA DATANG

Pengantar Redaksi
KEJAHATAN di atas kereta api kembali muncul, meski upaya aparat
keamanan dengan melakukan operasi dan penangkapan bisa disebut
sukses. Bagaimana bentuk kejahatan di atas kereta, serta dilema yang
dihadapi petugas Polsuska, disajikan dari bahan-bahan dikumpulkan
oleh wartawan Kompas, Agus Mulyadi, Tjahya Gunawan, Hindaryoen NTS,
Djoko Pournomo, Thomas Pudjowidiyanto dan Doddy Wisnu Pribadi serta
Moch S Hendrowijono yang merangkumnya dalam dua tulisan, di halaman ì
ini.
SUDAH lewat tengah malam di akhir September tahun lalu, ketika
KA Bangunkarta dari Jombang ke Jakarta pelan-pelan meninggalkan
stasiun Cirebon. Orang sudah mulai bergelimpangan di lantai kereta.
Pemandangannya jadi seperti dalam pengungsian, saat orang
memanfaatkan sejengkal lahan untuk sekadar istirahat setelah mereka
terusir karena bencana alam. Kalau saja bunyi roda kereta melintas
persambungan tidak terdengar demikian keras, antara lain karena
pintu dan persambungan kereta yang terbuka, pasti dengkur orang-
orang itu terdengar jelas.
Suyadi (57) saat itu duduk di bangku kedua dekat pintu, satu
kursi dengan seorang nenek yang sepanjang perjalanan menekukkan
kepalanya, tidur nyenyak. Nenek yang akan menengok anaknya di
Cempaka Putih Jakarta itu tak sadar, tetesan air sirihnya yang
berwarna merah darah turun dari sela-sela sudut bibirnya. Di depan
Suyadi duduk seorang lelaki setengah umur yang sejak awal
mengajaknya bercakap-cakap terus sehingga ia kecapaian. Diliriknya
jam tangannya, sudah lewat pukul 02.00 dinihari. Ia menggeser
duduknya sedikit dan menyandarkan kepalanya ke sudut antara sandaran
kursi dan dinding kereta, sekadar mencari posisi enak untuk
memejamkan mata, tidur-tidur ayam.
Plasss, rasanya enak sekali terlena, meski bisa jadi cuma
semenit dua. Ia membuka mata, lelaki di depannya tidak ada, mungkin
ke kamar kecil. Ia siap memejamkan matanya lagi, ketika tiba-tiba
saja ia tersentak. Tas di meja kecil di depannya sudah raib. Ia
celingukan ke kanan-kiri, tapi tak ada gerakan mencurigakan. Semua
orang terlelap. Ia bangkit, lalu lari melangkahi beberapa tubuh yang
tergeletak sambil tak lupa mengucap "Amit..", menuju ke pintu. ì
Pintu terbuka lebar, di kanan maupun di kiri. Tak ada satu orang pun di
sana, tak ada juga lelaki yang ramah tadi.
Rahangnya berkerot kesal. ì
"Gandrik..., sudah pasti lelaki tadi," gerutunya. Pasti dia yang ì
menjarahnya saat ia terlena, padahal tak sampai lima menit. Padahal ia ì
sudah ekstra hati-hati, dengan menempatkan tas itu di sisi kirinya, ì
terhimpit antara badannya dengan dinding kereta. Hanya saat ia mencari ì
posisi enak tadi, saat ia mulai percaya lingkungannya, saat kecurigaan ì
kepada tetangga duduknya sudah mulai sirna, ia memindahkan tas kecil itu ì
ke meja, setelah menyingkirkan gelas-gelas kotor. Itu pun, saat
memindahkan tas, ia sudah memandang muka si lelaki tadi sambil
senyum, seolah minta ikut dijagai, dan si lelaki seolah mengerti,
mengangguk sambil senyum juga.
Pensiunan guru itu marah besar, padahal isi tas itu tak
seberapa bagi lelaki tadi. Di dalam tas kecil itu cuma ada empat
buah mangga yang ranum, dan amplop berisi uang Rp 15.000 titipan
istrinya. Semua untuk anaknya di Jakarta yang sedang hamil anak
pertama, yang mengidam mangga yang tumbuh di halaman rumahnya di
Jombang. Calon kakek itu pun merasa perjalanannya sia-sia saja.#l#
* * *
SUYADI bukan orang pertama yang menjadi korban kejahatan di
atas kereta api. Banyak orang senasib, di antaranya enggan melapor
karena yang dicuri pun barang "sepele". Seperti halnya Teguh
Santoso, yang dijambret kacamatanya oleh seorang pedagang asongan
yang baru saja menawarkan dagangan di atas KA Sawunggalih jurusan
Purwokerto -- Jakarta. Warga Pondok Kelapa Jakarta Timur itu enggan
melapor, karena khawatir malah akan menghambat perjalanannya.
Padahal kacamata itu baru dibelinya Rp 95.000.
Sikap Suyadi atau Santoso yang memilih untuk tidak melaporkan
kejahatan itu kepada Polisi Khusus Kereta Api (Polsuska) atau
aparat keamanan lainnya, seperti sudah menjadi sikap umum para
penumpang kereta api. "Sikap demikian ini justru akan menyulitkan
pengusutan yang dilakukan polisi," ujar Kapolwil Banyumas, Kolonel
Pol Drs Anwari SH.
Dengan tidak melaporkan kasus-kasus kejahatan seperti itu,
polisi akan kesulitan melacak tersangka pelakunya. Meski pada
akhirnya, berbekal laporan yang sedikit, Polwil Banyumas berhasil
menggulung tiga kelompok penjahat di atas kereta.
Kejahatan di atas KA, terutama yang berjadwal malam dan di
kelas ekonomi, tampaknya giat lagi. Kejahatan terjadi umumnya pada ì
saat-saat penumpang pulas tidur antara pukul 01.00 hingga 03.00, walau ì
ada juga yang terjadi sore hari, atau pagi menjelang matahari terbit. ì
Bukan kebetulan, jika pada jam-jam rawan itu justru kereta api umumnya ì
berada di wilayah Banyumas, baik yang datang dari Jakarta, maupun dari ì
arah Surabaya, atau Bandung. Ini terutama antara stasiun Kroya -- ì
Kutoarjo (arah ke Yogyakarta), Kroya -- Sidareja (arah ke Bandung) dan ì
Kroya ke Purwokerto -- Prupuk (arah ke Jakarta).
Walaupun demikian, daerah selepas Cirebon, misalnya antara
Pegaden Baru -- Cikampek dan Cirebon -- Brebes -- Tegal, termasuk rawan
pula. Utamanya pada saat-saat tiadanya petugas polsuska karena
pergantian wilayah.
Usaha untuk menanggulangi berbagai gangguan KA sebenarnya sudah
dilakukan secara rutin. Khususnya yang dilakukan oleh polisi dan
aparat keamanan lainnya. Perumka misalnya menempatkan petugas
Polsuska untuk melakukan tugas pengawalan dan pengamanan KA terutama
pada rangkaian KA terbuka, KA kelas ekonomi. Sementara penjagaan di
KA-KA berbendera, misalnya KA Mutiara, Bima atau Senja, Perumka
mendapat bantuan tenaga Brimob.
"Polsuska yang bertugas di Daop V masih sangat terbatas," ujar
Kepala Daop (Daerah Operasi) V Perumka, Ir Suprayitno didampingi
Kepala Seksi Operasi, Sunyoto ketika ditemui Kompas. Wilayah Daop V yang ì
jalur KA-nya sangat luas dan frekuensi paling tinggi, hanya punya 24 ì
orang anggota polsuska. Padahal idealnya 60 orang untuk mengawasi 68 ì
rangkaian KA penumpang dan barang pergi pulang dari arah Purwokerto, ì
sebagian besar jalan malam.
* * *
KEJAHATAN di atas KA, sebenarnya kejahatan kecil-kecilan, bukan
penjahat kaliber dan profesional. "Umumnya hanya sebatas orang lapar
saja, yang diambil pun barang seadanya," ujar Djatmiko, reserse
Polsuska Perumka Wilu (wilayah usaha) Jawa di Semarang. Mereka ini,
katanya, banyak datang justru dari kalangan pedagang asongan, yang
frustrasi karena terus-terusan dikejar-kejar petugas saat berdagang.
Mereka menjambret saat KA mulai jalan seperti yang dialami oleh
Teguh Santoso, "untuk mendapat tambahan penghasilan". Sasarannya pun
umumnya KA kelas ekonomi yang selain kurang mendapat pengawalan,
juga memberi peluang sangat besar.
Namun justru karena dicurigai sumbernya dari kalangan asongan,
banyak stasiun yang kini dibersihkan dari pedagang itu. Cirebon,
misalnya, kini lengang dari asongan, juga Kroya dan Purwokerto.
Meski di stasiun yang terakhir ini masih ada asongan, tapi semua
terawasi lewat seragam asongan warna biru bernomor.
Hadi, kondektur KA Bangunkarta setiap kali merasa was-was jika
KA yang ditumpanginya itu dinaiki pedagang asongan. Apalagi jika
mereka tidak segera turun begitu peluit kereta berbunyi sebagai
tanda untuk berangkat. "Kalau ada asongan ngider saat KA jalan,
pasti akan ada penumpang yang kecurian," tuturnya.
Padahal, mengusir pedagang asongan tidak mudah. "Biasanya
pengusiran malah jadi bumerang bagi petugas yang bersangkutan karena
ia jadi incaran balas dendam pedagang yang merasa diusir itu. Hal
seperti ini pernah terjadi di Cikampek," ujar seorang perwira
menengah polisi yang dikaryakan di Perumka Pusat sebagai pembina
polsuska.
Memang tidak semua pedagang asongan melakukan kerja rangkap
itu. Ada yang benar-benar bersih, ada pula yang sekadar membantu
kelancaran kejahatan, dengan melaporkan situasi yang ada kepada
penjahat. Sambil mengasong, ia melihat barang-barang yang berada di
tempat yang mudah diambil, misalnya di meja dekat jendela, atau yang
terletak di tiga baris kursi pertama dekat jendela. Ia lalu
melaporkan pada rekannya yang akan beroperasi pada saat KA berjalan,
baik dari bawah atau di atas kereta.
***
ADA satu cara yang riskan sekali, yang sering dilakukan oleh
para perampok. Cara ini disebut nimba, yang dilakukan oleh dua
orang, satu berperan sebagai penimba, satu lagi sebagai timbanya.
Mereka benar-benar berani menantang maut, dengan si timba
menjulurkan badannya dari atas atap kereta yang sedang berjalan
kencang, ke arah jendela. Sambil kedua kakinya dipegangi oleh
penimba di atap, tangannya masuk lewat jendela yang terbuka,
mengambil barang yang ada di meja dekat jendela.
Berhasil atau tidak, si timba akan segera ditarik ke atas, lalu
keduanya lari melompat-lompat ke gerbong lain, lalu turun di salah
satu sambungan, terus melompat ke tanah. "Mereka punya keahlian
meloncat dari KA," ujar Saroni (52) anggota Polsuska Stasiun
Cirebon.
Praktek demikian ini bisa berjalan mulus antara lain karena
banyak stasiun yang terbuka, sehingga orang bebas keluar masuk.
Selain itu kondisi kereta kelas ekonomi juga sangat buruk. Jendela
banyak yang pecah, atau tak bisa ditutup. Atau juga karena memang
dibuka oleh penumpang akibat kepanasan karena ventilasi yang tidak
baik. Pencoleng pun mudah kabur, sebab umumnya persambungan kereta
kelas ini terbuka, pintu-pintu pun banyak yang tak bisa dikunci,
atau bahkan tak ada daun pintunya.
Tidak cuma itu, jendela WC umumnya sudah terlepas, dan kemudian
WC jadi tempat penumpang, karena fasilitas kamar kecil itu sejak
lama tak ada. Ketika hal ini ditanyakan kepada seorang pejabat
Perumka, walau dengan nada berkelakar, ia ketus menjawab, "Lha wong
mbayare murah, kok mau fasilitas komplet". KA Ekonomi memang murah,
untuk jarak 750 km Jakarta -- Surabaya, dengan Rp 9.000 orang Jakarta
tahu beres sampai Surabaya.
Kondisi buruk kereta diperjelek lagi dengan banyaknya ì
pelemparan-pelemparan batu dari luar, sehingga banyak kaca-kaca
pecah, bahkan tak jarang mencederai penumpang. Menurut Ir Ronny
Wahjudi, Kadaop III Cirebon, pelemparan ini biasanya dilakukan
remaja yang nakal. "Kami pernah tangkap satu, kami haruskan dia
mengganti, dan kami laporkan ke sekolahnya," kata Ronny. Selain itu,
Perumka melakukan pendekatan dengan pamong sepanjang jalur KA yang
sering diganggu pelemparan, dan hasilnya gangguan itu agak
berkurang.
Namun satu cara yang kini mulai dikerjakan oleh pencoleng
adalah menyamar sebagai penumpang KA dan membeli karcis, yang sejak
dari stasiun pemberangkatan sudah mengincar calon korban. Di
perjalanan, ia akan menjalankan metode geser, yaitu menukar ì
barang korban saat ia lengah, atau saat ia terlelap, pergi ke WC atau ke
restorasi.
Karenanya, menurut Udiyo Basuki SH, Kepala Security Peleton
Polsuska Yogyakarta, penumpang KA bagaimanapun harus ekstra hati-
hati, terutama jika mendapat kenalan baru di atas kereta. "Belum
tentu dia orang baik-baik," kata alumnus Fak Hukum Universitas Islam
Indonesia itu.
Pernyataan ini diperkuat oleh Kepala Seksi Eksternal Humas
Perumka Pusat, Dra Nenny SH (Siti Hasanah). "Penumpang sebaiknya
tidak membawa atau mengenakan barang berharga, sebab bisa merangsang
penjahat beraksi," tuturnya.
Pada dasarnya, meski Perumka menyediakan pengawalan, baik dari
polsuska maupun dari Brimob, penumpang seharusnya tetap waspada,
tidak mengandalkan petugas. Apalagi, untuk seluruh jalurnya, Perumka
cuma memiliki 500 polsus, dan ini adalah jumlah yang sangat kecil.
***