Rabu, 14 November 2007

Tuntutan Buruh PT Mayora, Cermin Persoalan Buruh yang Makin Mencuat

KOMPAS - Senin, 21 Jun 1999 Halaman: 21 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 6286

Tuntutan Buruh PT Mayora
CERMIN PERSOALAN BURUH YANG MAKIN MENCUAT

AWALNYA cuma menuntut kenaikan upah. Tuntutan diajukan setelah
pihak manajemen PT Mayora Indah menaikkan upah sebesar 18 persen.
Buruh minta kenaikan sebesar 30 persen. Dan ketika manajemen menolak,
mereka pun mogok. Sempat berlangsung sebulan, akhirnya manajemen
mengancam, kembali bekerja atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK).
Sebanyak 750 memilih bekerja kembali. Artinya, menerima
kenaikan upah sebesar 18 persen. Sisanya, dan jumlahnya terbanyak,
1.361 orang tetap menolak dan melanjutkan aksi mogok. Akhirnya
manajemen menempuh jalur hukum dan berhasil memperoleh izin mem-PHK
ke-1.361 buruh tersebut.

Sejak itu pula, perjuangan buruh bukan lagi ihwal kenaikan upah,
tetapi mengadakan demo-demo ke berbagai instansi agar bisa kembali
bekerja. Tetapi, upaya kembali ke perusahaan itu ternyata tak mudah.
Berikut ini liku-liku dan peristiwa yang menyertai aksi mogok para
buruh itu sejak 20 April 1999 lalu.

KAMIS (17/6) pagi mulai pukul 07.00, eks buruh PT Mayora Indah
produsen makanan ringan dan permen-mulai berdatangan ke pabrik tempat
mereka selama ini bekerja. Tujuannya, menerima pembayaran sisa upah
kerja bulan Mei 1999.

Seiring makin tingginya Matahari, jumlahnya semakin banyak.
Kerumunan makin banyak. Dan seperti sudah menjadi kebiasaan, kerumunan
yang sebagian besar perempuan itu akhirnya menutup jalan. Ruas Jl
Telesonik, persis di depan pabrik PT Mayora, di kawasan Jatake,
Jatiuwung, Kotamadya Tangerang, tak lagi bisa dilalui. Lalu lintas
terputus bagi semua kendaraan roda empat atau lebih, hanya sepeda
motor dan sepeda bisa lewat.

Puluhan polisi dan anggota TNI AD dari Polres dan Kodim Tangerang
berjaga-jaga di pintu dan di dalam kawasan pabrik. Wajah-wajah yang
sudah tampak letih itu sepertinya mengundang tanya, ''Inikah upah
terakhir yang akan mereka terima?''. Tak ada jawaban. Hanya satu yang
sudah jelas, perselisihan mereka dengan manajemen belum juga tuntas.

Sehari sebelumnya, Rabu (16/6), mereka sempat pula berurusan
dengan polisi dari Kepolisian Daerah Metro Jaya, menyusul unjuk rasa
yang mereka gelar di Kantor Bapepam, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Bersama mereka, Wardah Hafidz, Koordinator Konsorsium Kemiskinan Kota,
turut pula ditangkap polisi, walau kemudian beberapa jam kemudian
dilepas kembali.

Sebelum itu beberapa hari sebelumnya, eks buruh Mayora itu juga
diangkut ke markas Polda Metro Jaya. Penyebabnya, mereka tidak diminta
untuk bubar ketika berunjuk rasa di kantor pusat PT Mayora. Mereka
bahkan menginap di situ.

KE-1.361 eks buruh PT Mayora Indah itu selama dua bulan terakhir
telah menjadi "bintang" semua aksi unjuk rasa buruh pabrik dalam
paruh pertama tahun 1999 ini, setidaknya di daerah Tangerang.

Puncaknya adalah unjuk rasa di depan Kantor Depnaker pusat di Jakarta,
Selasa (1/6) lalu, ketika mereka menutup jalan tol dalam kota, yang
menyebabkan lumpuhnya lalu lintas selama beberapa jam.
Beberapa jam sebelum sampai di Jakarta dan kemudian menduduki
jalan tol, mereka sempat beraksi di depan pabrik di Jl Telesonik.
Bubar dari tempat itu, lalu berjalan kaki sekitar empat kilometer
melalui Jl Gatot Subroto, Kotamadya Tangerang, menuju terminal Cimone,
Tangerang, untuk mencari kendaraan umum yang bisa membawa mereka ke
Depnaker di Jakarta.

Pendudukan jalan tol itu merupakan ulangan aksi serupa yang mereka
lakukan seminggu sebelumnya, Selasa (25/5). Kala itu sasaran mereka,
jalan tol Merak-Jakarta.

Selama sekitar dua jam duduk-duduk di jalan tol Merak-Jakarta Km
26,5 di kawasan Bitung, Tangerang, aksi buruh Mayora mengakibatkan
kelumpuhan total. Untuk melanjutkan perjalanan, kendaraan dari arah
Merak ke Jakarta terpaksa keluar dari gerbang tol Balaraja.
Sebaliknya, kendaraan dari arah Jakarta ke Merak, keluar tol melalui
gerbang Serpong, menghindari kelumpuhan.

Selain aksi-aksi di jalan tol, mereka pun beberapa kali berunjuk
rasa di kawasan pabrik, kantor Depnaker Tangerang, kantor pusat PT
Mayora di kawasan Tomang, Jakarta Barat. Mereka juga pernah menginap
berhari-hari di kantor Depnaker Tangerang dan Depnaker pusat.

"KAMI akan berjuang terus sampai bisa bekerja kembali," ujar
beberapa buruh ketika berkerumun hendak mengambil upah.
Sampai kapan perjuangan mereka bisa berakhir, tidak bisa diketahui
pasti.
Persoalan antara buruh dan manajemen PT Mayora, saat ini tengah
ditangani PTUN. Itu terjadi setelah pengelola PT Mayora melakukan
banding, terhadap keputusan Menteri Tenaga Kerja (Mennaker), Fahmi
Idris, yang sebelumnya memveto putusan P4P (Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan) Pusat.

Namun keputusan Mennaker agar buruh Mayora yang sebelumnya terkena
PHK dapat diterima bekerja kembali, ternyata tidak digubris pengusaha.
Manajemen Mayora tetap dengan keputusannya.

Sebelum veto Mennaker keluar, Senin (31/5), P4P memutuskan untuk
mengabulkan permohonan manajemen PT Mayora yang menginginkan untuk
mem-PHK 1.361 buruhnya. Keputusan P4P itu dianggap buruh berpihak
kepada pengusaha. Buruh juga menganggap, keputusan PHK memang
diinginkan manajemen PT Mayora, dan itu merupakan cerminan sikap
arogan pengusaha yang kurang peduli terhadap nasib mereka.

Keputusan P4P terhadap buruh Mayora antara lain, memberi izin
kepada pengusaha untuk mem-PHK, mewajibkan kepada pengusaha membayar
uang pesangon dan jasa sebesar satu kali pasal 21 dan pasal 22 PMTK
(Peraturan Menteri Tenaga Kerja) No 03/1996. Memberikan uang fasilitas
pengobatan dan perawatan sebesar lima persen dari jumlah uang pesangon
dan jasa, serta upah penuh 100 persen untuk gaji Mei 1999.
(agus mulyadi)

Foto: 1/Warta Kota
BLOKIR JALAN - Aksi unjuk rasa buruh PT Mayora ke Departemen Tenaga
Kerja sempat memblokir jalan tol dan jalan arteri, 1 Juni lalu.
Mennaker membela nasib buruh dengan memveto putusan P4P yang
merugikan buruh, namun PT Mayora mengajukan banding atas veto
tersebut. Nasib buruh itu kini masih terombang-ambing.