Rabu, 14 November 2007

KOMPAS - Kamis, 25 Jan 2001 Halaman: 1 Penulis: mul Ukuran: 6237 Foto: 1

DEMI PERUT, BURUH SIAP TERIMA RISIKO

DEMI mendapatkan hak-hak yang telah terampas atau belum dapat
diraih, orang kadang menempuh jalan penuh risiko. Itu yang dilakukan
oleh ribuan buruh PT Prima Inreksa Industries, pabrik sepatu yang
memproduksi sepatu merek Adidas.

Meskipun tidak semua buruh -dari jumlah seluruhnya sekitar
6.000-mau menghadapi dan siap menerima risiko besar, upaya
mendapatkan hak itu sejak seminggu lalu tengah mereka lakukan.
Bermula dari unjuk rasa di kawasan pabrik pada tanggal 16 Januari
lalu, keesokan harinya mereka mengadu ke DPRD.

Karena tetap belum membuahkan hasil, besoknya, Kamis, "orang-
orang kecil" itu kembali mogok kerja di pabrik di Jalan Industri Raya
Blok A No 8, Desa Bunder, Cikupa, Kabupaten Tangerang. Namun,
perundingan yang dilakukan tetap belum mencapai kesepakatan.

Pada hari Jumat, buruh PT Prima kembali mengadu ke DPRD. Pada
hari itu, keadaan sedikit membaik. Pihak pengusaha yang baru sore
hari datang ke DPRD untuk berunding mau memenuhi gaji sebesar UMK
(upah minimum kabupaten) Tangerang tahun 2001 sebesar Rp 426.500 per
bulan.

Akan tetapi, belasan tuntutan lainnya, yang berkaitan dengan uang
tunjangan dan tuntutan non-normatif lainnya, tetap belum bisa
dipenuhi. Eddy Purwanto dari Komisi E DPRD Kabupaten Tangerang ketika
itu menyarankan agar masalah-masalah itu diselesaikan secara
bipartit, antara buruh dengan pihak pengusaha.

Tuntutan buruh PT Prima lainnya adalah dibayarkannya premi hadir,
Pajak Penghasilan (PPh) ditanggung perusahaan, tunjangan kesehatan
keluarga, cuti haid antara Rp 10.000-Rp 30.000 tidak dipotong, uang
makan Rp 5.000/hari (naik dari Rp 1.200), uang transpor Rp 4.000/
hari, uang shift kerja satu dan dua Rp 1.500 dan Rp 2.500, dan uang
premi shift bagian pres antara Rp 50.000-Rp 100.000.

Buruh juga menuntut sejumlah perbaikan lainnya, seperti perbedaan
gaji antara karyawan baru dengan yang lama disesuaikan dengan masa
kerja, saldo akhir tahun Jamsostek diberitahukan kepada buruh,
pembenahan di tubuh pelaksana unit kerja Federasi SPSI (Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia) setempat, dan digantinya manajer HRD
(pengembangan sumber daya manusia).

Belum dipenuhinya semua tuntutan tidak membuat buruh terus-
menerus mogok. Sejak Sabtu lalu, mereka telah bekerja kembali. Namun,
tuntutan-tuntutan mereka, sampai dengan Rabu, ternyata belum juga
dipenuhi.

"Saya dengar masih ada perundingan antara wakil buruh dan
pengusaha. Tempatnya di office. Saya juga tidak tahu mengapa belum
tercapai kesepakatan mengenai tuntutan kami. Padahal, janjinya hari
ini akan ada pengumuman soal itu," kata Abdul, salah seorang buruh PT
Prima, ketika ditemui di warung di depan pabrik.

Kepala Kantor Depnaker Tangerang Apon Suryana menyatakan,
perundingan untuk mencapai kesepakatan itu bisa memakan waktu cukup
lama. Kesepakatan bisa dicapai dalam waktu seminggu atau sebulan.
Sejumlah buruh yang ditemui menyatakan, mereka akan terus
berjuang agar sejumlah tuntutan dipenuhi pihak pengusaha.

"Kalau tidak diperjuangkan, kami akan terus dilecehkan. Sudah
terlalu lama kami diperlakukan tidak sepantasnya. Kalau tuntutan
tidak dipenuhi juga, kami akan mogok kerja kembali. Saya tidak peduli
pihak pengusaha kesal dan nantinya akan menutup pabrik ini," ujar
seorang buruh di bagian pres dengan bersemangat.

MOGOK kerja buruh memang ditakuti pengusaha karena itu berarti
produksi terhenti dan pengusaha akan menanggung rugi. Buruh menyadari
aksi mogok dapat membuat pabrik bangkrut, atau dipindahkan ke negara
lain, seperti Vietnam, yang lebih menguntungkan pengusaha.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo)
Djimanto, Jumat lalu, mengungkapkan, sebanyak 12 perusahaan sepatu di
Indonesia sedang memproses diversifikasi usaha ke Vietnam karena
unjuk rasa buruh yang tidak tertib. Kenyataan itu mengakibatkan
negara berpotensi kehilangan pemasukan 480 juta dollar AS per tahun
dari penyerapan tenaga kerja dan perolehan pajak.

Ketika ancaman sejumlah pengusaha pabrik sepatu ditanyakan kepada
buruh PT Prima, jawaban mereka beragam. Buruh yang masih lajang tidak
peduli kalau pabrik mereka pindah ke negara lain. Yang sudah
berkeluarga berharap agar pabrik tidak sampai ditutup.

"Pokoknya pihak pengusaha harus memenuhi tuntutan kami. Yang kami
tuntut itu, kan, seharusnya telah lama kami peroleh. Masak perusahan
sebesar ini, dan semua produksi sepatunya untuk ekspor, tidak mau
memenuhi tuntutan yang tidak besar itu," kata seorang buruh laki-laki
bujangan di bagian rolling.

Kalau pabrik harus ditutup karena dipindah ke luar negeri, para
buruh lajang, terutama laki-laki, akan mencari kerja di tempat lain.
"Kalau tetap sulit mencari kerja, saya pulang saja ke Jawa
Tengah," ujar seorang buruh di bagian pres.

Meskipun umumnya berbicara penuh semangat, mereka rata-rata
meminta agar namanya tidak
ditulis. Mereka rupanya takut menerima risiko secara sendiri-sendiri.
Para buruh yang berkeluarga, meskipun tetap menuntut agar
tuntutan mereka dipenuhi, merasa khawatir kalau pabrik ditutup.

"Saat melakukan unjuk rasa, terpikir juga kalau-kalau pabrik
nantinya ditutup. Namun, aksi mogok kerja yang kami lakukan tetap
untuk memperbaiki hidup sehingga saya mendukungnya. Kalaupun tuntutan
tidak dipenuhi 100 persen, paling tidak 80 persen tuntutan kami
dipenuhi pengusaha," kata seorang buruh pabrik di bagian pres.

Bagi buruh, perjuangan dengan melakukan mogok kerja merupakan
sarana yang dianggap ampuh untuk mewujudkan harapan mereka. Demi
kebutuhan hidup yang lebih layak, buruh tidak peduli pabrik akan
ditutup atau dipindah ke luar negeri. Harapan buruh ini semestinya
dipenuhi pengusaha yang selama ini telah memeras tenaga mereka. (agus mulyadi)

Foto: 1
Iwan
MEMILIH JADI BURUH-Buruh yang rata-rata masih muda usia ini memilih
jadi buruh ketimbang menganggur di tengah sulitnya kehidupan akibat
krisis ekonomi. Foto ini dimabil, Rabu (24/1), di salah satu pabrik
sepatu dan sandal di Tangerang yang mempekerjakan sekitar 700 orang.