Rabu, 14 November 2007

Mendung Menggantung di Langit Dozon

KOMPAS - Senin, 05 Aug 2002 Halaman: 14 Penulis: Mulyadi, Agus Ukuran: 4368

MENDUNG MENGGANTUNG DI LANGIT DOSON

PARYANTO (32) terlihat asyik menuliskan pasangan angka-angka di
selembar kertas usang. Tangan kirinya memegang beberapa lembar uang
kertas pecahan ribuan. Beberapa temannya yang berdiri di sebelahnya
masih tenggelam dalam lamunan. Tangan mereka masing-masing memegang
secarik kertas fotokopian, berisi tulisan angka-angka dan gambar.

Masih di sebelah mereka, seorang laki-laki muda melayani teman
Paryanto lainnya yang tengah menyerahkan angka pasangannya, sambil
menyerahkan beberapa lembar uang ribuan. Udara panas, gerah, dan
lembab di tengah hari itu seperti tidak mereka rasakan.

Para buruh PT Doson Indonesia di Jalan Raya Legok, Kabupaten
Tangerang, itu tengah mencari peruntungan dengan memasang kupon judi
pakong. Mereka tidak usah jauh-jauh memasangnya karena bandar judi
menggelar usahanya di salah satu warung di luar pagar pabrik.
Paryanto dan buruh lainnya memanfaatkan waktu senggang di sela-sela
istirahat makan siang untuk memasang judi pakong.
Siapa tahu mereka beruntung!

"Ya Mas, siapa tahu kali ini saya beruntung. Dari pada pusing
memikirkan PHK (pemutusan hubungan kerja) yang bakal terjadi, saya
coba-coba mencari uang tambahan," ujar Paryanto yang telah lima tahun
bekerja di PT Doson.

PHK massal mulai awal pekan ini memang tengah menghantui buruh PT
Doson. Itu terjadi setelah produsen sepatu terkemuka dunia Nike Inc
memastikan menghentikan order sepatu merek Nike dari pabrik yang
mempekerjakan 6.890 buruh tersebut. Dihentikannya order akan
menyebabkan pabrik tidak bisa berproduksi lagi dan buruh-buruhnya pun
menganggur.

JALAN pintas mendapatkan uang yang dilakukan sejumlah buruh PT
Doson tersebut terpaksa dilakukan karena sejak beberapa bulan ini
mereka sudah merasa tertekan. Tekanan itu begitu dalam dirasakan
ketika pada 29 Juli lalu pihak PUK (Pengurus Unit Kerja) Serikat
Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit menerima surat pemberitahuan
penghentian order dari General Manager Nike Indonesia Jeff Du Mont.

Ribuan buruh pabrik yang berdiri sejak tahun 1993 itu merasa
shock. Mereka dipastikan akan kehilangan sumber nafkah, ketika PHK
datang nanti. Padahal, di zaman serba sulit sekarang, mencari kerja
di pabrik atau di sektor lain mereka ketahui sulit.

"Saya belum bisa berpikir, kemana nanti akan mencari pekerjaan
baru. Sekarang ini banyak pengangguran, sementara pabrik-pabrik juga
banyak yang mengurangi pekerjanya," ujar Wahidi (34), buruh yang
telah bekerja delapan tahun di PT Doson.

Namun, bayangan suram di masa depan, saat ini belum begitu
menghantui Wahidi. Istrinya, Sulastri, saat ini masih bekerja menjadi
buruh pabrik sepatu yang memproduksi merek Nike di JalanRaya Serpong.
Dengan begitu, asap dapur rumah kontrakan Wahidi yang memiliki
puteri tunggal yang sudah duduk di bangku SLTP itu masih akan tetap
mengepul, juga untuk membayar sewa kontrakan rumah seharga Rp 150.000
di kawasan Kebon Nanas, Tangerang.

Kondisi Wahidi berbeda dengan Paryanto. Istri buruh asal
Semarang, Jawa Tengah, itu juga bekerja sebagai buruh di PT Doson.
Ketika musibah PHK datang menghantam pasangan suami istri buruh itu,
sumber nafkah mereka pasti akan mati. Ayah seorang anak, Murniati,
yang masih berusia enam bulan itu mengaku merasa shock mendengar
kabar buruk, penghentian order sepatu Nike.

"Saya tidak habis pikir, mengapa Nike menghentikan order
sepatunya dari PT Doson. Padahal, setahu saya, mutu sepatu yang
diproduksi di sini tidak kalah dengan pabrik lainnya. Kami pun bisa
mengerjakan model-model sepatu yang tidak bisa dikerjakan pabrik
sepatu Nike lain," kata Wahidi.

Wahidi tinggal bersama keluarganya di rumah kontrakan di kawasan
Bitung, Tangerang, yang disewanya Rp 115.000 per bulan. Uang sewa
diambilnya dari upah dia bersama istrinya, masing-masing Rp 630.000
per bulan.

Lebih parah lagi yang bakal dialami Dalmani (28), buruh yang baru
bekerja dua tahun di PT Doson, yang merupakan sumber nafkah tunggal
keluarganya. Istrinya, Hartati, tidak bekerja. "Saya tidak tahu lagi
harus bekerja di mana. Masa depan anak kami, Mayangsari yang masih
berusia tiga tahun, kini menjadi suram," ujar Dalmani dengan suara
pelan. (Agus Mulyadi)