Rabu, 14 November 2007

Comro Pun Tergeser Hamburger

KOMPAS - Senin, 08 Feb 1993 Halaman: 1 Penulis: HARIYONO, TRI/MULYADI, AGUS Ukuran: 7905
COMRO PUN TERGESER HAMBURGER
PERNAH merasakan nenas goreng atau nangka goreng? Jika
belum, datanglah ke Bandung, ke Jalan Supratman samping RRI
(Radio Republik Indonesia) Bandung. Di sini tempat mencicipi
makanan khas Bandung, seperti bajigur, bandrek, comro hingga
makanan yang agak aneh seperti nenas goreng atau nangka goreng.
Jika belum puas, datanglah ke Cihampelas atau Pasar Baru
Bandung. Cicipilah renyahnya oncom goreng dan kentang goreng
serta manisnya wajit Cililin, wajit duren hingga sale pisang
khas Bandung.
Namun, jika ingin mencicipi makanan khas Sunda yang lain
seperti katimus dan misro, sekarang sudah sulit mendapatkannya.
Untuk merasakan katimus (singkong parut rebus berisi gula) atau
misro (amis di jero - singkong parut goreng diisi gula merah), harus
mau susah mencari di pinggiran kota Bandung.
Beberapa jajanan khas Bandung, kini makin tersisih. "Semula
kami jualan katimus dan comro (oncom di jero), tetapi sepi pembeli.
Sekarang kami menjual jajanan yang lain," ujar Ny Dadah (47),
pedagang bajigur dan bandrek di Jalan Supratman.
"Penduduk Bandung lebih suka hamburger daripada comro atau
misro. Lebih doyan pizza daripada katimus," keluh Ny Dadah
pula.
Selain kurang peminat, sangat boleh jadi kehadiran makanan
Barat yang mudah didapat menjadi salah satu sebab "matinya"
beberapa makanan khas Bandung. Hamburger, pizza dan sejenisnya,
kini sangat mudah didapatkan di berbagai sudut kota Bandung.
Sedangkan jika ingin merasakan makanan khas Bandung, harus rela
bersusah-susah masuk-keluar gang.
Meski demikian, warga Bandung patut berbangga. Masyarakat
Kota Kembang ini bisa berinovasi melahirkan makanan-makanan baru
yang kemudian populer bukan hanya di Bandung, tetapi menyebar
sampai ke kota-kota lain. Batagor atau baso tahu goreng misalnya,
kini menjadi makanan yang banyak disukai berbagai kalangan. Masih
ada lagi nenas goreng, nangka goreng, cilok (aci dicolok/tapioka
ditusuk) gurilem dan makanan-makanan lainnya.
Makanan khas Bandung sendiri, seperti bajigur dan bandrek
masih tetap bertahan. Bajigur adalah minuman santan kelapa panas
ditambah gula merah dan kolang-kaling. Sedangkan bandrek adalah
air jahe manis dan hangat. Salah satu warung yang menjual makanan
khas ini ada di Jalan Supratman.
***
BAJIGUR Supratman punya riwayat panjang. Memang sulit untuk
mengatakan bahwa bajigur ini tertua di Bandung. Namun boleh
dibilang, inilah bajigur yang hingga kini tetap bertahan dan
punya pelanggan tersendiri, yang bukan hanya kalangan mahasiswa,
tapi juga pejabat yang dulu pernah mengenyam bangku kuliah di
Bandung. Ada olok-olok yang beredar, belum sempurna rasanya, jika
kuliah di Bandung tak pernah mencicipi bajigur Supratman.
Bajigur Supratman dirintis oleh Hajjah Maemunah (74) dan
suaminya, Sarban (88), sejak 1958, lebih dari 34 tahun lalu.
Maemunah saat itu hanya menjual bajigur, bandrek, comro, misro,
ubi rebus, singkong rebus dan kacang rebus.
Tidak ada perkembangan yang mencolok di awal-awal usahanya,
sehingga lambat laun pelanggannya mulai meninggalkannya. "Mungkin
kurang cocok makan singkong rebus di udara Bandung yang dingin,"
ujar Maemunah.
Tahun 1974 ia mencoba membuat berbagai makanan baru,
meracik adonan tersendiri, nenas goreng. Buah ini dicampurnya dengan
adonan terigu seperti layaknya pisang goreng, dan digoreng.
Kemudian dia pun mencoba membuat nangka goreng. Hasilnya
ternyata di luar dugaan, pelanggannya jadi bertambah banyak.
Boleh jadi karena mereka merasa makanan ini agak aneh dan ingin
mencobanya.
Ketika Ny Maemunah sudah uzur, usahanya sejak tahun 1980
dilanjutkan oleh anaknya Ny Dadah (47). Meski demikian Hajjah
Maemunah sering mengolah sendiri bajigur dan bandrek untuk
pelanggannya.
Nangka goreng dan nanas goreng yang dulu dirintis ibunya,
hingga kini terus dilanjutkan Ny Dadah. Bahkan kedua makanan ini
seolah-olah menjadi trade mark Bajigur Supratman. Dalam sehari
misalnya, dia bisa menghabiskan 10 nenas segar dan sekitar 12
kilogram nangka, selain 20 kg pisang goreng, 200 tahu isi dan 250
tahu polos. "Jika malam minggu atau malam libur, jumlah
makanan yang digoreng lebih banyak dari itu," ujarnya.
Warung kecil yang melayani pelanggan sejak pukul 19.00
hingga dinihari ini, juga bisa menghabiskan 10 panci besar
bajigur dan bandrek, belum termasuk pesanan yang datang ke rumah.
Dalam acara-acara perkawinan, ulang tahun, bahkan tahun baru
sering ada pelanggan yang meminta dibuatkan bajigur untuk 400 -
800 orang atau sekitar 3 panci besar.
Hasil usaha ini sangat lumayan. Ny Maemunah misalnya, bisa
menunaikan ibadah haji. Sedangkan Ny Dadah bisa menyekolahkan
anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi. Tiga dari enam anaknya kini
masih duduk di bangku perguruan tinggi, sementara enam karyawan
bekerja melayani pelanggan-pelanggannya.
***
SALAH satu makanan khas Bandung lainnya, yang sudah dikenal
sejak berpuluh tahun lalu adalah peuyeum, atau tape. Makanan yang
terbuat dari ubi kayu ini, secara perlahan juga tergeser berbagai
jenis makanan impor, atau karena hasil inovasi baru.
Peuyeum Bandung mempunyai rasa spesifik, karena "daging"-nya
tidak lembek, sehingga bisa bertahan lama. Selain itu makanan ini
punya ukuran lebih besar, bisa sampai seukuran lengan orang
dewasa, karena bahan bakunya ubi kayu kualitas nomor satu.
Salah satu tempat yang masih setia menjual peuyeum adalah di
Pasar Baru, Jalan Otista, Kotamadya Bandung. Di pasar itu, masih
ada lima pedagang yang menjajakannya, di antaranya adalah Suryana
(43), ayah empat anak asal Kelurahan Situ Aksan. Ia berdagang
sejak tahun 1966, mewarisi usaha dari kakek dan ayahnya.
Apa sih menariknya, sehingga berdagang peuyeum bisa menjadi
usaha turun temurun? Jawabnya, mungkin karena ini salah satu
upaya melestarikan budaya, seperti tersurat pada label peuyeum
yang dijajakannya. Pada secarik kertas berukuran 4x6 cm, dia
menyebut, Seni Budaya Pangan Alam Indonesia Karya Wanodya
Parahiyangan, lengkap dengan alamat los tempatnya berjualan.
Pria berperawakan tinggi besar itu dalam sehari menjual
empat bakul peuyeum. Satu bakul berisi 40 kg, dan dijualnya Rp
600/kg. Dalam musim hujan seperti sekarang, dagangannya hanya
laku satu bakul. Padahal kalau musim kemarau paling sedikit lima
bakul yang dibeli konsumen tiap hari.
Suryana sendiri mendapatkan peuyeum mentah dari Desa Cimenyan di
kawasan perbukitan Bandung timur. Ia menerima ubi kayu yang telah
bercampur ragi, dan tinggal menunggu proses fermentasi selama dua
hari, sebelum menjadi peuyeum.
Jajanan khas Bandung ini, selain bisa dinikmati langsung,
dapat pula dijadikan bahan campuran minuman es, digoreng, atau
dibuat colenak (dicocol enak), yaitu peuyeum bakar dikucuri kinca
dari gula merah.
Saking terkenalnya, colenak bahkan pernah dinyanyikan secara
plesetan oleh remaja Bandung tahun 50-an, saat peuyeum belum
tersaingi hotdog. Kini, syairnya tinggal kenangan:
"colenak beuleum peuyeum digulaan,
dicocol enak baju beureum keur duaan.
Awas bom batok, awas bom batok
rebu-rebu randa montok
leumpangna dicentok-centok
sieun nincak tai kotok."
(Colenak, tape bakar diberi gula
dicocol enak, baju merah untuk berdua
awas ranjau, awas ranjau
Beribu-ribu janda montok
langkahnya disendat-sendat
takut menginjak kotoran ayam).
(tri haryono/agus mulyadi)
Teksfoto:
Kompas/js
BAJIGUR - Sebuah kedai bajigur yang selalu padat pengunjung di Jalan
WR ì
Supratman, Bandung. Kedai yang punya perjalanan panjang dalam bisnis ì
bajigur ini masih bertahan dan punya pelanggan tersendiri.