KOMPAS - Minggu, 29 Mar 1992 Halaman: 8 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 8529
YUYU YUSANAH MEMBOBOL BUKIT,
MENGALIRKAN AIR KEHIDUPAN
RATA-RATA lima ton padi setiap musim tanam (MT), dapat dipetik
dari tiap hektar sawah milik penduduk Kampung Cikarag, Desa
Cipeundeuy, Kecamatan Baturujeg, Kabupaten Majalengka, Jabar, yang
total luasnya 40 hektar.
Keadaan yang baru berlangsung setahun ini, sebelumnya tidak
pernah terbayangkan petani di perbukitan Cikarag. Sawah tadah hujan
di lahan kering di sebelah utara bukit, sebelumnya hanya dapat
ditanami padi sekali setahun, pada waktu musim hujan. Penyebabnya
kurang air, sehingga pada waktu selebihnya, petani hanya bisa
bertanam palawija seperti ubi dan jagung.
Keadaan alam yang tidak menguntungkan bagi pertanian ini,
ternyata mengusik benak salah seorang warganya mengubah keadaan itu.
Dan pikiran itu muncul dalam benak seorang wanita, Nyi Yuyu Yusanah.
Dorongan mengubah petak-petak sawahnya menjadi lahan produktif,
menguat dalam dirinya, karena pesawahan lain di Desa Cipendeuy dan
desa sekitarnya yang mengelilingi bukit dapat panen tiga kali.
Sehingga dapat dikatakan sawah di Cikarag merupakan "lahan tandus"
di tengah kesuburan pesawahan lainnya.
***
PERSAWAHAN Kampung Cikarag memang tidak dilintasi sungai.
Sungai terdekat adalah Sungai Cipicung di seberang bukit. Untuk
mengalirkannya ke sisi bukit lainnya, dianggap mustahil.
Namun ibu sembilan anak ini punya tekad besar untuk memenuhi
kebutuhan dan kelangsungan hidup keluarga besarnya secara lebih
baik. Tekad ini mengalahkan semua kendala. Kehidupan keluarganya
memang tergantung dari hasil sawah, apalagi suaminya, Hasan,
hanyalah seorang penjual minyak eceran di Bandung.
Ilham membuat terowongan menerobos dinding bukit muncul begitu
saja dalam benak ibu berperawakan kecil itu. Kesulitan
mengerjakannya tidak terlalu mengganggu pikirannya. Bagi Nyi Yuyu
hanya dengan melubangi bukit itulah sawahnya bisa diairi.
Setelah berembuk dengan suaminya, perjuangan keras pun dimulai
pada 1987, meski Hasan menyangsikan keberhasilan niat istrinya.
"Bukit ini dipenuhi batu, tentu sulit untuk membongkar dan
menerobosnya," ujar Hasan. Langkah pertama yang diambil wanita yang
mengaku hanya pernah duduk sampai kelas dua SD ini, mencari
kemungkinan menerobos bukit dari dua sisi. Dalam perhitungannya,
bukit lebih mudah ditembus dari dua sisi, dan dapat bersambung di
tengah-tengah.
Langkah kedua, Nyi Yuyu memutuskan menjual seekor dari empat
ekor kerbau miliknya. Selain untuk membeli peralatan menggali, hasil
penjualan itu juga untuk biaya makan keluarganya. Dengan peralatan
sederhana seperti linggis, pahat batu, dan palu, wanita yang tidak
bisa berbahasa Indonesia ini memulai "proyek besarnya".
Tubuhnya yang terlihat ringkih, ternyata menyimpan kekuatan tak
terkira. Dinding bukit bagian selatan mulai dikeruknya, bergantian
dengan dinding seberang yang berhubungan langsung dengan salah satu
petak sawahnya. Pekerjaan menerobos dinding dikerjakannya sendiri.
Anak-anaknya yang ikut membantu, hanya bertugas menyingkirkan tanah
dari lubang galian yang telah dikeruk.
***
KETEKUNAN dan kerja kerasnya, mulai menampakkan hasil ketika
lubang beberapa meter berhasil dibentuk. Makin dalam lubang
dibuatnya, kegelapan di dalam tanah makin dirasakannya. Namun dia
tidak kehilangan akal. Dengan memanfaatkan sinar matahari, Ny Nyi
Yuyu Yusanah memasang cermin di pintu lubang. Cahaya matahari
dipantulkan melalui cermin ke dalam lubang.
Berbulan-bulan pekerjaan itu dilakukannya, sehingga
terbentuklah lubang berbentuk lorong yang makin dalam. Rasa lelah
tidak membuatnya melemah, dan menghentikan tekadnya memperbaiki
hidup keluarganya. Dia pun tidak takut dengan kemungkinan ambruknya
tanah di atas lorong yang dibuatnya. "Pokoknya saya bertekad terus
membuat saluran air. Saya tidak takut tanah yang saya gali ambruk,"
ujarnya ketika ditanya kemungkinan buruk yang dapat menimpanya.
Kesulitan yang paling dirasakannya adalah ketika bertemu batu
yang menghadang lubang yang sedang dia gali. Namun dengan ketekunan,
kerja keras, dan tekad membaja, hambatan itu tidak membuatnya surut.
Kesulitan yang dihadapi, tidak pula membuatnya cengeng, dengan
meminta bantuan penduduk sekitar umpamanya.
Tidak pula ketika lubang makin dalam, dan makin banyak bebatuan
yang menghadangnya. Laju galiannya pun tidak lagi secepat seperti
pada permulaan, karena dalam sehari paling-paling dia hanya mampu
melubangi sepanjang 30 sentimeter. Padahal, dalam sebulan pertama
dia bisa maju sampai sepanjang 15 meter.
Ada alasan sebenarnya mengapa penduduk Kampung Cikarag seperti
mendiamkan proyek Nyi Yuyu. Kesadaran untuk menjaga kelestarian alam
yang membuat mereka berbuat itu. Seperti diakui pejabat kades
setempat, Drs Murtado Arifin, membuat terowongan menembus bukit pada
waktu itu dianggap merusak, sehingga penduduk setempat seolah cuci
tangan, memilih untuk membiarkan ibu sembilan anak tersebut.
Kalaupun bantuan itu ada, sekadar membantu membuat saluran air
yang menghubungkan Sungai Cipicung dengan terowongan air Nyi Yuyu
sepanjang sekitar 500 meter di sisi selatan bukit, sebelum
penggalian lubang dikerjakan. Itu pun Nyi Yuyu memberi upah penduduk
yang bekerja untuknya tersebut.
***
KERJA kerasnya akhirnya tidak sia-sia. Setelah berkutat dengan
segala kemampuannya sebagai seorang wanita, lubang yang dibuat
dengan menggempur dua sisi bukit itu bersambung. Terowongan di perut
bumi sepanjang 200 meter, tinggi sekitar satu meter dan lebar 80
sentimeter, yang sebelumnya hanya menjadi bayangan semata, berhasil
dibuatnya.
Meski untuk itu, wanita yang taat beribadah itu harus merelakan
tiga kerbaunya yang tersisa, baik sebagai upah membayar pekerja,
maupun untuk membiayai kehidupan rumah tanggannya.
Air yang sangat dibutuhkan tanaman padi mengucur deras dari
Sungai Cipicung, melalui saluran air di luar sisi selatan bukit, dan
menerobos melalui terowongan ke dalam sawah miliknya di sisi utara
bukit. "Sampai saat ini sawah kami telah berhasil panen tiga kali.
Tanaman padi ini adalah musim tanam keempat, sejak saluran
berfungsi," ujarnya sambil menunjuk salah satu petak sawah miliknya.
Hamparan hijau dari tanaman padi yang tumbuh subur, kini
terbentang merata di Kampung Cikarag. Cucuran air itu tidak hanya
mengairi sawah Nyi Yuyu. Menurut Sekdes Cipeundeuy, Oon Faturohman,
sekitar 40 hektar sawah petani lain yang terletak di perbukitan
bagian bawah, turut pula terairi. Petani lain yang sebelumnya
seperti melecehkan niat baiknya, ikut pula merasakan manfaat air
dari cucuran keringat dan kerja kerasnya.
***
KEPERKASAAN yang diperlihatkan Nyi Yuyu Yusanah, memang
sepertinya mengulangi keperkasaan wanita-wanita lain di berbagai
belahan bumi bumi ini. Keperkasaan yang di antaranya timbul, karena
tidak dapat berkelit dari persoalan hidup yang dihadapi.
Dengan jenis pekerjaan tidak terlalu berbeda, Nyi Yuyu seperti
mengikuti langkah yang pernah dibuat Eroh, penduduk Pasir Kadu, Desa
Santana Mekar, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, yang
memapas tebing cadas untuk mengalirkan air ke pesawahan, beberapa
tahun lalu. Di antara keduanya tidak saling kenal. Nyi Nyi Yuyu
sendiri tidak pula mengetahui ada wanita perkasa lain, yang "berbuat
besar" seperti dirinya.
Melihat salah satu pintu lubang terowongan yang terletak
sekitar 40 meter dari rumah Nyi Yuyu Yusanah itu, dalam benak tiba-
tiba teringat pada salah satu jenis kepiting, yang dianggap haram
untuk dimakan. Binatang itu oleh penduduk Cirebon dan sekitarnya
disebut yuyu.
Dengan kedua capitnya yang kuat, yuyu selalu mengeruk tanah
untuk tempat tinggalnya. Dalam pembuatan lubang, binatang itu dengan
capitnya pula mengeluarkan tanah yang berhasil dikeruk, sehingga di
mulut lubang timbul gundukan tanah. Gundukan yang menandai di situ
terdapat yuyu.
Kerja keras dan ketekunan Nyi Yuyu, membuat terowongan dengan
mengeruk bukit, sepertinya bentuk besar dari pekerjaan yang biasa
dilakukan yuyu. Hanya Nyi Yuyu mengeruk bukit bukan untuk tempat
tinggal, tapi untuk mengairi persawahan, suatu pekerjaan mengalirkan
"air kehidupan", untuk kepentingan sebagian umat manusia. (agus
mulyadi)