KOMPAS - Minggu, 18 Dec 2005 Halaman: 1 Penulis: Mulyadi, Agus; Eko, Prasetyo Ukuran: 7823
Pencari Sagu
BERJUANG, CARI MAKAN DI HUTAN
Oleh Agus Mulyadi dan Prasetyo Eko
Baru beberapa menit memasuki pepohonan sagu di bagian luar hutan
itu, punggung dan belakang kepala Eganus (30) ditempeli puluhan ekor
nyamuk. Ratusan ekor nyamuk lainnya terbang mengikuti dan merubung
laki-laki Suku Asmat itu. Kami berdua di belakangnya, tidak luput
dari serbuan serangga berbahaya itu.
Meskipun sebelum masuk ke hutan, Jumat (16/12) pagi itu, badan
tertutup rapat jaket dan topi, namun tetap gigitan nyamuk terasa di
bagian leher yang sedikit terbuka. Rasanya menusuk kulit kendati tak
langsung gatal.
"Nyamuk di dalam hutan seperti ini memang sangat banyak dan
ganas. Ini yang selalu mengganggu kami. Tapi gangguan ini tetap kami
hadapi karena keluarga di rumah harus makan. Kami harus mencari sagu
dan membawa pulang ke rumah," kata Eganus.
Gangguan ternyata tidak hanya datang dari serangan nyamuk karena
tiba-tiba ada sesuatu yang menempel di lengan tangan. Segera tangan
yang satunya meraba dan ternyata seekor lintah menempel di situ.
Sebelum sempat menggembung, secepatnya pula binatang pengisap darah
itu harus dibuang.
Nyamuk dan lintah hanyalah dua dari beberapa gangguan binatang
yang muncul ketika warga Suku Asmat dan Suku Kamoro masuk hutan
mencari sagu. Untuk mencari pohon sagu, warga harus berjalan cukup
jauh dari permukiman karena pohon-pohon sagu di dekat permukiman
semakin jarang. Duri-duri semak membuat kulit tergores-gores hingga
perih.
"Kami sekarang harus jalan hampir dua jam ke dalam hutan. Kalau
beberapa tahun lalu di sekitar kampung masih banyak pohon sagu,
sekarang sudah harus jauh masuk hutan," kata Yuliana (35), perempuan
warga Hiripau. Para perempuan Suku Kamoro yang tinggal di Desa
Hiripau biasa jalan berombongan bersama ibu rumah tangga lain ke
hutan mencari sagu.
Bahan baku makanan pokok masyarakat dua suku yang tinggal
berdampingan di Desa Hiripau dan Desa Pomako di Kecamatan Mapuru
Jaya, Kabupaten Mimika, Papua, itu hanya terdapat di hutan, baik di
bagian dalam maupun di bagian luar.
Makanan sagu didapat dari ekstrak tepung sagu yang diambil dari
empulur pohon sagu (Metroxylon rumphii mart) dari famili palmae yang
tumbuh alami maupun dibudidayakan.
Tumbuhan yang hidup secara alami di dalam hutan itu menjadi milik
bersama. Masyarakat yang tinggal di permukiman di luar hutan bisa
bebas menebang, membelah, dan mengambil sari sagu untuk dibawa pulang
ke rumah masing-masing.
"Sagu di dalam hutan tidak ada pemiliknya. Kami bisa
mengambilnya untuk makan, dan tidak pernah ribut, misalnya karena
saling berebut pohon sagu," kata Agusta (45), ibu rumah tangga Suku
Asmat di Hiripau.
Ibu rumah tangga
Markus (60), penduduk Suku Asmat lain di Hiripau, menyebutkan,
pohon sagu masih banyak di dalam hutan. Namun, saat ini pohon sagu di
bagian luar hutan yang dekat dengan kampung semakin berkurang.
Pencari sagu, yang kebanyakan ibu rumah tangga, mencari lebih ke
bagian dalam hutan lagi.
Mencari sagu, yang disebut amos dalam bahasa Asmat atau ameta
dalam bahasa Kamoro, kebanyakan dilakukan para perempuan atau ibu-ibu
rumah tangga. Pekerjaan mencari sagu mereka sebut sebagai memangkur.
Di dalam hutan mereka mencari pohon-pohon sagu yang dianggap layak,
yaitu pohon yang di dalamnya diperkirakan terdapat sari sagu,
biasanya berusia dua hingga tiga tahun.
Jika sudah menemukan pohon sagu, harus diketahui dulu apakah
pohon itu cukup mengandung ekstrak sagu. Untuk mengetahuinya, pencari
sagu melubangi batang pohon sagu menggunakan kapak.
Dari lubang dan bekas pohon di mata kapak, warga bisa mengetahui
apakah pohon itu bersagu atau tidak. Jika dirasa cukup mengandung
sagu, pohon itu langsung ditebang.
Proses selanjutnya, batang pohon sagu dengan diameter sekitar 40
sentimeter itu dibersihkan, termasuk dari pelepah- pelepah daunnya.
Lalu batang pohon dibelah menggunakan kapak. Proses penebangan,
pembersihan, hingga pembelahan pohon sagu berlangsung sekitar satu
jam.
Ketika batang sagu sudah terbelah, sari sagu dari bagian tengah
batang pohon pun diambil, dikorek menggunakan ames atau pangkur, alat
dari kayu khusus untuk mengorek sagu. "Selanjutnya, sagu yang sudah
diambil dari dalam batang pohon diperas di pelepah daun ini," ujar
Eganus.
Memeras sagu untuk diambil sarinya adalah pekerjaan selanjutnya.
Sari berupa cairan berwarna putih itu ditampung untuk diendapkan. Di
tempat yang terbuat dari batang kayu sagu itulah sari pati sagu
diendapkan berjam-jam. Setelah sari sagu mengendap, air dibuang.
"Jam lima nanti, sari pati sagu yang sudah diendapkan dan
dibuang airnya, dibawa pulang ke rumah," ujar Eganus. Satu batang
pohon sagu yang bagus bisamenghasilkan tiga tumang atau lebih.
Endapan sagu itu kemudian ditampung dalam wadah yang dibuat dari
daun sagu yang disebut tumang. Dengan menembus lebatnya pepohonan
serta gangguan segala macam binatang, terutama nyamuk, lintah, dan
duri-duri semak, ibu-ibu rumah tangga atau laki-laki pencari sagu,
pulang sore hari sekitar pukul 16.00-17.00.
Beban para perempuan pencari sagu sangat berat. Berat satu tumang
berisi sari pati sagu, 40 kilogram hingga 50 kilogram, sehingga ibu-
ibu pun terbungkuk-bungkuk menggendongnya sepanjang perjalanan.
Dengan beban seberat itu di punggung, mereka harus berjalan
menembus lebatnya semak belukar. Di rumah, sagu disimpan di bagian
belakang yang biasa digunakan untuk dapur.
"Sari pati sagu dari satu tumang dapat untuk makan keluarga
kecil selama tiga minggu sampai satu bulan. Kami makan tiga kali
sehari. Sagu masih menjadi makanan pokok kami, meskipun kadang-kadang
kami makan nasi," kata Markus, warga pendatang pindahan dari
kelompok masyarakat Suku Asmat di Merauke sejak tahun 1999. Makanan
paling terkenal dari sagu di Papua adalah pepeda.
Sisa pokok sagu yang sudah diambil sarinya itu dibiarkan
membusuk. Satu bulan kemudian mereka mendatangi lagi pokok sagu yang
sudah membusuk.
"Kami dapat makanan lezat dari batang pohon sagu yang sudah
busuk itu, ulat sagu sangat lezat," kata Markus.
Ulat sagu biasa dibakar maupun digunakan untuk lauk teman makan
sagu, dan merupakan sumber protein penting.
Bagi sebagian keluarga, mencari sagu bukan hanya untuk makanan
pokok. Mereka pun mencari untuk dijual. Salah satunya ke pasar di
Timika, ibu kota Kabupaten Mimika. Satu tumang sagu, biasanya dijual
Rp 40.000 hingga Rp 70.000 tergantung berat tumang.
Potensi sagu di Papua sebenarnya sangat besar. Hutan sagu di
pulau paling timur Indonesia ini disebut yang terluas. Data Kompas
menyebutkan, luas lahan sagu di Papua sekitar 771.716 hektar, atau 85
persen dari luas hutan sagu nasional.
Hampir seluruh wilayah Papua, mulai dari pesisir hingga
pegunungan seperti Waropen Bawah, Sarmi, Asmat, Merauke, Sorong,
Jayapura, Manokwari, Bintuni, dan Inawatan, terdapat hutan sagu.
Sayangnya, pembabatan hutan di sejumlah kawasan menyebabkan
semakin berkurangnya hutan sagu. Upaya perlindungan sagu dilakukan
sejumlah daerah di Papua. Kabupaten Jayapura, misalnya, punya
peraturan daerah yang mengatur perlindungan hutan sagu.
Perda Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pelestarian Hutan Sagu itu, di
antaranya larangan menebang pohon sagu dengan tujuan mendirikan
bangunan di lokasi tersebut.
Selain itu, sagu sebagai makanan pokok kini semakin tersingkir
dan dilupakan. Sebagian beralih makan nasi yang tidak tersedia secara
melimpah di Papua, seperti halnya sagu. Sagu seharusnya bisa menjadi
stok makanan yang jumlahnya melimpah di Papua, hingga tidak perlu ada
kelaparan seperti di Yahukimo.