Senin, 12 November 2007

Nasib Primadona Ekspor Nonmigas Jabar, Benur yang Ditebar Ular yang Didapat

KOMPAS - Minggu, 22 Aug 1993 Halaman: 8 Penulis: SUGANDA, HER/MULYADI, AGUS Ukuran: 11785
Nasib Primadona Ekspor Nonmigas Jabar
BENUR YANG DITEBAR, ULAR YANG DIDAPAT
AGAK sulit dicari kegiatan usaha subsektor perikanan yang
mampu menandingi keuntungan menggiurkan dibanding tambak udang.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, udang tampil sebagai mata ì
dagangan yang memikat berkat dukungan harga yang relatif
mantap dan pasar yang jelas terjamin. Dengan dukungan itu, pantas
jika para pengusaha menanamkan modalnya di tambak udang. Ribuan ì
bahkan puluhan ribu hektar lahan baru dibuka untuk dijadikan areal ì
tambak di berbagai tempat di Indonesia.
Intensifikasi dan ekstensifikasi tambak yang berlangsung secara
besar-besaran selama tahun 1986 paling tidak diiming-iming
keuntungan memikat. Tak kurang dari Gubernur Jawa Barat (Jabar) yang
saat itu dijabat HR Moch Yogie Suardi Memet mencanangkan udang
sebagai primadona Jabar dalam ekspor nonmigas.
Di Jabar sendiri, budidaya udang sebenarnya bukan hal baru.
Tetapi selama itu petani tambak hanya mengusahakannya secara
tradisional dan kecil-kecilan. Modal dan kemampuan teknologinya
tergolong masih lemah, sehingga bisa dipahami jika di beberapa
tempat udang hanya hasil sampingan. Hasil utamanya adalah bandeng.
Namun selama tahun 1980-an, ikan bandeng hampir
tidak mempunyai arti ekonomi akibat harganya yang rendah. Padahal
budidaya ikan bandeng membutuhkan penanganan khusus. Benur yang
merupakan bibit kadangkala harus didatangkan dari Jatim.
Karena penanganannya masih sederhana, angka mortalitas cukup
tinggi. Keadaannya diperberat dengan bencana alam seperti banjir,
sampai akhirnya petani tambak kehabisan modal kerja dan modal
hidup. Pada gilirannya, semua itu mengakibatkan tingkat kehidupan
ekonomi petani tambak selalu dililit utang atau bahkan ijon.
Akibatnya, tambak-tambak yang terletak di bagian utara Jabar
dibiarkan dan kurang perawatan.
***
BABAK baru pertambakan mulai merebak di daerah ini bersamaan
dengan munculnya pemilik modal kuat yang mengusahakan tambak udang
secara intensif. Ini merupakan pengaruh positif yang banyak
mempengaruhi budidaya tambak tradisional. Paling tidak, petani
tambak tidak lagi melihat udang sebagai hasil sampingan tetapi
menjadi hasil utama yang mengalahkan bandeng. Keadaan ini bisa
tercermin dari meningkatnya produktivitas tambak yang terus
meningkat. Jika dalam tahun 1980 hanya 682,05 kilogram per hektar,
pada tahun 1990 mencapai 1.425,88 kilogram per hektar.
Pembukaan tambak baru dan meningkatnya produktivitas, jelas
meningkatkan produk tambak secara keseluruhan. Tetapi agak
sulit mencari angka-angka pasti, seberapa besar sebenarnya
produksi udang tambak dari bagian utara Jabar memberikan
sumbangannya untuk menjawab tantangan "primadona ekspor nonmigas
Jabar".
Di Cirebon misalnya, ekspor udang beku ke Jepang, AS dan Taiwan
yang dilakukan tiga perusahaan pembekuan udang (cold storage) pada
tahun 1992/1993 mencapai 35.398 kilogram atau senilai 5.753.493
dollar AS. Tetapi harus diingat, jumlah tersebut bukan hanya berasal
dari Kotamadya dan Kabupaten Cirebon. Udang yang dikirim melalui
tiga perusahaan pembekuan udang tersebut banyak yang berasal dari
Kabupaten Indramayu dan Jateng.
Dari Karawang angka-angka ini agak sulit diperoleh karena
perusahaan pembekuan udang justru berada di Jakarta. Selain itu tidak
semua udang hasil tambak yang berasal dari daerah ini bertujuan
memenuhi kebutuhan ekspor, sebagian kecil lainnya untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri.
Tetapi bagaimanapun, Jabar utara yang membentang sejak
Serang, Tangerang, Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu dan
Cirebon merupakan daerah potensial tambak udang. Sekaligus
memperlihatkan, usaha tambak, terutama tambak udang tetap
mempunyai daya pikat tersendiri. Ini bisa terlihat dari
perkembangan luas areal tambak yang terus meningkat dari tahun ke
tahun. Tahun 1970 lalu, luas tambak secara kotor hanyalah sekitar
29.000 hektar. Dalam tempo dua dasawarsa, luasnya hampir mencapai dua
kali lipat, sekitar 51.000 hektar.
Memang luas tersebut bukan sepenuhnya tambak udang. Tetapi
bahwa udang telah jadi primadona subsektor perikanan, rasanya tidak
bisa dibantah. Sebaliknya yang menjadi pertanyaan kemudian adalah,
budidaya udang secara intensif hampir dapat dikatakan masih baru dan
merupakan diversifikasi dari usaha pokoknya. Sehingga tidak
mengherankan kalau di antara para investor itu sebelumnya tidak
memiliki pengalaman sama sekali. Tenaga-tenaga lapangan juga banyak
yang belum berpengalaman sehingga kegiatannya banyak yang coba-coba.
Padahal udang membutuhkan perlakuan-perlakuan khusus dengan kondisi
yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan.
***
MASALAH yang terakhir ini menjadi perdebatan hangat di
kalangan sesama petambak, apakah lingkungan di bagian utara Jawa
Barat masih mendukung usaha tambak udang secara intensif?
Soalnya, angka mortalitas sekarang begitu tinggi sehingga banyak
petambak yang gulung tikar akibat serangan virus atau
bakteri yang belum diketahui bagaimana penanggulangannya.
Sebagian besar menyebutkan karena kualitas air laut yang sudah
tercemar. Tetapi sebagian lagi menyebut faktor perlakuan yang
intensif dan monokultur yang mengakibatkan terjadinya serangan
penyakit. Bahkan Agus Mulyatno dari PT Ika Nusa Windutama terang-
terangan menyatakan serangan virus berasal dari tambak rakyat.
Alasannya, tambak rakyat membuang dan mengambil sumber air kebutuhan
tambak dari satu tempat, yakni saluran pembuang. Sedangkan tambak
intensif menyedot air laut sebagai sumber airnya secara langsung
melalui mesin pompa.
Sebenarnya, masalah kualitas air tidak hanya sebatas
bagaimana cara sirkulasi air di tambak. Kepala Dinas Perikanan
Kabupaten Cirebon, Ir Rusli Thamrin mengingatkan pentingnya
kondisi lingkungan lainnya, misalnya tersedianya ruang hijau
berupa hutan payau.
Walaupun di atas kertas terdapat cukup luas kawasan hutan
payau, tetapi kenyataan di lapangan tidak selalu sesuai. Pantai
utara Jabar boleh dikatakan miskin hutan payau. Bahkan seperti
disinyalir Bupati Cirebon Suwendo, hutan payau yang masih ada
malah dibabat dijadikan tambak. Menyadari kelengahan ini, hanya
sedikit sekali pengusaha tambak yang berusaha memperbaiki
lingkungan sekitarnya. PT Ika Nusa Windutama, menurut Thamrin
menanam sekitar 20 hektar hutan bakau. Perusahaan ini, sejak 1989
membuka tambak udang windu seluas 300 hektar di Pulosari, Desa
Tawangsari, Kecamatan Losari, Cirebon.
Petambak intensif juga dituding ada yang teledor dalam
memberikan pakan. Pakan yang diberikan secara berlebihan lalu
terbuang, pada akhirnya akan menjadi racun sehingga memungkinkan
munculnya bakteri atau virus. "Apalagi kalau proses pengeringan
tambak kurang sempurna," kata sebuah sumber di Dinas Perikanan.
Serangan virus dan bakteri sekarang ini merupakan momok
paling menakutkan petambak udang. Di Karawang, sekitar 300 hektar
tambak udang diserang virus Vebrio Sp. Di kalangan petambak,
ini disebut penyakit kusta udang, karena yang diserang bagian ì
kakinya yang kemudian rontok dan akhirnya mati. Di tempat lain ì
serangan mengakibatkan usus udang robek sehingga penyakit itu ì
dijuluki virus usus. Gejalanya diawali dengan makan berlebihan dan ì
dua hari kemudian mati. Bentuk serangan lainnya seperti di Cirebon ì
dan Indramayu terjadi pada bagian insang.
Petambak-petambak yang belum berpengalaman, biasanya
memberikan obat untuk penanggulangan. Tetapi menurut Iwan
Binardi, Bagian Teknik Budidaya PT Udang Asli Kencana di
Sungaibuntu, Karawang, pemberian obat hanya akan mengakibatkan
serangan makin parah dan kerugian bertambah besar. "Sampai
sekarang, belum ada obat untuk menanggulangi virus dan bakteri ì
tersebut," kata Ir Odi Suryadi, Kepala Dinas Perikanan Karawang.
Keadaan yang tidak menggembirakan ini dialami petambak
selama tiga tahun terakhir. Banyak pengusaha yang menderita
rugi bahkan gulung tikar. Seorang pengusaha di Sungaibuntu sempat
pingsan di tambaknya karena udang yang baru berumur dua bulan
sudah jadi bangkai. Udang seumur itu tidak laku dijual.
Sekarang ini para petambak lebih banyak berusaha menahan
diri untuk ancang-ancang berikutnya, atau bahkan hengkang dari
usaha tambak. Tambak untuk sementara dibiarkan atau hanya
ditanami bandeng untuk makanan pancing ikan tuna. PT Argo Pantes
yang menguasai 125 tambak, menurut petugasnya, Edi Winarto sudah
sejak 1989 tidak memiliki semangat lagi menebarkan benur udang.
Bandeng yang jadi sumber utama tambak ini, kini dibudidayakan
secara tradisional.
Keluhan hasil tambak udang muncul pula dari petambak-
petambak kecil. "Benur yang ditebar, justru ular yang dipanen,"
kata seorang petambak di Cilamaya, Karawang.
Bupati Karawang, Sumarno Suradi pernah mengemukakan, karena
udang habis oleh hama dan hanya tinggal ular yang bisa didapat,
binatang melata yang satu ini akhirnya jadi salah satu mata
pencaharian penduduk tertentu. Mereka menangkapnya lalu menjual
ke pedagang penampung untuk kemudian diambil kulitnya sebagai bahan
kerajinan. Di Cilamaya, usaha perajin kulit ular malah dijadikan
salah satu pola untuk mengurangi kemiskinan di daerah Karawang.
***
KECUALI tahun 1989, harga udang selama ini yang berkisar
antara Rp 17.000 - Rp 18.000 akan tetap merupakan mata dagangan
menarik walaupun risikonya sangat tinggi. Apalagi dengan teknik
budidaya yang memadai, produksinya bisa mencapai 3,5 - 5 ton per
hektar, atau bahkan lebih tinggi lagi karena tergantung kepadatan
benur yang ditebar.
Harga yang menjanjikan keuntungan dalam usaha tambak udang
rupanya merupakan salah satu penyebab mengapa masih ada pengusaha
tambak udang tidak merasa jera walaupun dalam dua atau tiga hari,
modal ratusan juta yang ditanam ludes dimakan virus atau bakteri.
Hanya jika dulu mereka berlomba mengusahakan tambak seintensif
mungkin dengan kerapatan benur yang cukup tinggi, kini mereka
lebih berhati-hati. Bahkan tidak jarang yang melakukan berbagai
uji coba.
Iwan Binardi dari PT Udang Asli Kencana misalnya, dari 54
tambak yang dikelolanya, 21 hektar sengaja ditanami bandeng. Tambak-
tambak bandeng tersebut merupakan tempat pembuangan air sekaligus ì
pengendapan untuk mentralisir air payau yang dibutuhkan. Setelah ì
dianggap bersih, air digunakan kembali. Di tempat lain, Ahoy
lebih mencurahkan perhatian pada warna air yang akan digunakan untuk
tambak di kolam khusus. Jika warna air sudah memenuhi warna
tertentu, barulah dialirkan ke tambak.
Percobaan-percobaan itu tentu saja sangat tergantung
ketrampilan setiap orang. Mereka tidak memiliki pola yang sama
karena semuanya dilakukan tidak lebih dari coba-coba, sehingga
jika Ahoy mengaku tidak pernah gagal dalam mengelola tambak
udangnya seluas empat hektar, ia kemudian menyatakan hal ini,
"Mungkin saya lagi hoki," katanya mengungkapkan nasib mujur yang
berpihak padanya. (Her Suganda/Agus Mulyadi)
Foto: Kompas/mul
TAMBAK UDANG -- Mengelola tambak udang membutuhkan penanganan yang
serius dan intensif, hingga pengelola bisa dikatakan harus berada di
tambak setiap saat.