Rabu, 14 November 2007

Bisnis Rumah Kontrakan di Tengah Krisis

KOMPAS - Jumat, 17 Dec 1999 Halaman: 17 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 7265

BISNIS RUMAH KONTRAKAN DI TENGAH KRISIS

JEMURAN pakaian terlihat memenuhi bentangan tali-tali di lorong
terbuka, persis di antara dua deretan rumah kontrakan di Desa
Kendayakan, Kecamatan Kragilan, Serang. Penuhnya pakaian tersebut
setidaknya menandakan semua rumah kontrakan diisi penghuninya.

Jejeran jemuran pakaian penghuni juga tampak di deretan kawasan
rumah kontrakan di Desa Pabuaran Indah, tetangga sebelah timur Desa
Kendayakan. Gerimis yang turun pagi pertengahan November 1999 itu
tidak membuat pemiliknya mengambil jemuran mereka; tetap dibiarkan
tergantung di tiang jemuran.

"Semua rumah kontrakan di sini telah terisi," kata Imron (25),
seorang penghuni rumah kontrakan di Pabuaran Indah. Memurut lelaki
yang telah tinggal di kawasan itu sejak dua tahun lalu tidak pernah
ada rumah kontrakan yang kosong. "Semuanya selalu berpenghuni,"
katanya. Pendatang asal Lampung yang tinggal di rumah kontrakan
bersama istrinya tersebut adalah seorang buruh pabrik di kawasan
Kragilan.

Hal serupa disampaikan pula oleh Yadi (24) dan Prasetyo (20), dua
pemuda buruh pabrik yang menghuni satu rumah kontrakan di Kendayakan.
Rumah-rumah kontrakan yang berbentuk rumah bedeng dalam satu deretan
tersebut, seperti tidak pernah mengenal krisis. Para pemiliknya tetap
bisa menuai keuntungan dari buruh-buruh kontrakan, yang tidak terkena
pemutusan hubungan kerja (PHK) selama krisis ekonomi.

Masih tetap hidupnya rumah kontrakan, khususnya di daerah
Kragilan, Serang, berkaitan langsung dengan eksisnya sejumlah industri
di kawasan itu. Kragilan merupakan salah satu kecamatan di Serang yang
menampung puluhan ribu buruh pendatang. Di daerah tetangganya yakni di
Kecamatan Cikande, terdapat pula satu perusahaan raksasa, PT Nikomas
Gemilang, di Jl Raya Serang Km 71, Cikande. Perusahaan yang
memproduksi sepatu merek Nike tersebut mempekerjakan sekitar 21.000
buruh.

Karena order sepatu dari pembelinya tidak pernah berkurang, PT
Nikomas Gemilang tidak pernah mengurangi pekerjanya. "Bahkan kami
setiap saat masih menerima pekerja baru, untuk menggantikan pekerja
yang meminta berhenti," kata Bambang Kasidi, manajer personalia PT
Nikomas Gemilang.

Di lokasi berbeda yakni di Desa Cangkudu, Kecamatan Balaraja,
Kabupaten Tangerang, keadaannya pun sama. Rumah-rumah kontrakan yang
ada di kawasan itu, juga tetap terisi penghuni buruh pabrik. Padahal
kondisi industri di daerah ini sedikit berbeda dengan yang terjadi
di Kragilan dan Cikande.

Sebuah pabrik besar di Balaraja, PT Tae Hwa Indonesia, buruhnya
saat ini tercatat 3.984 orang. Padahal sebelum krisis ekonomi pekerja
di sini sekitar 5.500 orang," kata Jazuli AM, manajer personalia
pabrik yang memproduksi sepatu merek Fila, yang semua produksinya
diekspor itu.

Menurut Presiden Direktur PT Tae Hwa, Kang Shin Cheol,
berkurangnya pekerja di pabriknya terpengaruh oleh turunnya order dari
pembeli di luar negeri. Disebutkan, selama tahun 1999 order sepatu di
PT Tae Hwa sekitar 200.000 pasang per bulan. Jumlah itu berbeda dengan
sebelum masa krisis atau pada tahun 1998 yang masih mencapai rata-rata
400.000 pasang per bulan.

PARA pemilik rumah-rumah kontrakan, setiap bulan tinggal memungut
hasil dari pembayaran sewa pengontrak rumahnya. Umumnya rumah
kontrakan mereka dibangun sebelum krisis ekonomi terjadi, para pemilik
rumah kontrakan kini tetap tinggal meraih hasilnya.

Namun para pemilik umumnya mengakui pula, mereka tetap saja ikut
terpengaruh terjadinya krisis ekonomi. "Biaya ngontrak rumah di
daerah ini hanya naik sedikit, tidak sebanding dengan melambungnya
harga-harga barang di pasar-an," ujar Ny Erni (30), seorang pemilik
rumah kontrakan di Pabuaran Indah.

Rumah-rumah kontrakannya yang berjumlah 10 unit, selama hampir dua
tahun ini hanya naik Rp 5.000 untuk tiap kamar. Sebelum krisis, biaya
masing-masing rumah kontrakannya Rp 80.000/bulan. Sejak dua bulan
lalu, terpaksa Ny Erni menaikkannya menjadi Rp 85.000/bulan. Bagi
buruh penghuni rumah kontrakan, kenaikan biaya sewa itu juga
dimaklumi. Apalagi mereka merasakan dalam dua tahun ini, upah
minimum regional yang diterima telah naik dua kali.

Naik tidaknya biaya sewa rumah kontrakan, tergantung pemilik rumah
dan kemampuan buruh pabrik yang menempatinya. Seorang pemilik 20 rumah
kontrakan di Desa Cangkudu, mengaku malah menurunkan harga sewa sampai
Rp 10.000/ kamar/bulan, ketika krisis mulai berlangsung dua tahun
lalu. Sampai sekarang harga kontrakan rumahnya belum dinaikkan seperti
sebelumnya dan tetap Rp 90.000/bulan.

"Kasihan pekerja pabrik, mereka harus menyisihkan sebagian
penghasilannya untuk membayar sewa kontrakan rumah," katanya.

BAGI buruh pabrik sendiri, hidup di perantauan di zaman serba
sulit sekarang, harus pintar-pintar menghadapinya. Salah satu cara
menekan biaya hidup adalah berhemat pengeluaran biaya sewa rumah
kontrakan. Caranya, mereka me-ngontrak satu rumah bersama beberapa
orang teman.

Buruh pabrik bujangan seperti Yadi di Kendayakan misalnya,
penghasilannya yang Rp 271.000/bulan, sebagian harus digunakan untuk
mengontrak rumah. Agar upah kerja tidak banyak dikeluarkan untuk
sewa tempat tinggal, dia mengontrak rumah bersama tiga orang buruh
temannya.

"Tidur terpaksa di karpet, di dua ruangan yang ada di rumah
bedeng ini," kata Yadi. Untuk membayar biaya rumah bedeng kontrakan
Rp 90.000, buruh-buruh pabrik asal Lampung itu patungan.

Rumah-rumah kontrakan yang dihuni para buruh pabrik seperti Yadi,
umumnya sederhana. Selain tersedia alas untuk tidur, seperti karpet
atau kasur, isi rumah paling-paling dilengkapi dengan tape recorder
untuk sarana hiburan mereka. Bagi yang telah berkeluarga, umumnya
mereka menyediakan pula sarana hiburan pesawat televisi.

Tetap tinggalnya para buruh pabrik-pabrik di Serang, Cilegon,
Tangerang, dan daerah lain, dengan sendirinya akan tetap menghidupkan
bisnis rumah kontrakan.

Bagaimana pun bisnis rumah kontrakan di kawasan pabrik masih
menggiurkan. Emi (25), warga Desa Ciagel, Kecamatan Cikande misalnya,
masih mencoba untuk memasuki bisnis rumah kontrakan pula. Dengan
menanamkan modal Rp 25 juta, Emi membangun delapan unit rumah bedeng
kontrakan. "Membangun rumah kontrakan tidak akan rugi. Selama pabrik
dan pekerjanya masih tetap ada, rumah kontrakan tetap akan hidup,"
ujar Emi yakin.

Logika untung dalam bisnis rumah kontrakan, memang sederhana.
Pemilik ibaratnya hanya menanamkan modal saat membangun rumah
kontrakan. Setelah rumah telah terbangun, pemiliknya tinggal meraih
hasil dari sewa rumah yang diterimanya. Selagi masih ada pabrik dan
buruhnya, uang sewa pun akan terus mengalir ke tangan-tangan
pemiliknya. Kalau sebaliknya, ya ceritanya lain lagi.
(agus mulyadi)

Foto:
Kompas/agus mulyadi
RUMAH KONTRAKAN - Walaupun krisis ekonomi tak kunjung henti namun
bisnis rumah kontrakan di Serang dan Tangerang tetap bertahan.
Rumah-rumah kontrakan di Kragilan dan Cikande misalnya, selalu
terisi oleh buruh pabrik pendatang.