Senin, 12 November 2007

Goyang Disko Goyang Rupiah

KOMPAS - Minggu, 03 Mar 1991 Halaman: 1 Penulis: DEWANTI, LAKSMI; TEJO, AGUS HADISUJIWO; MAFIRION; MULYADI, AGUS Ukuran: 11448 Foto: 1
GOYANG DISKO, GOYANG RUPIAH
Pengantar Redaksi :
Bisnis diskotik meriah lagi. Bukan hanya di Jakarta, di beberapa
daerah, para pengusaha juga mulai berani mempertaruhkan uangnya dalam
bisnis ini. Bagaimana prospek bisnis hiburan ini? Wartawan Kompas
Laksmi Dewanti dan Agus Hadisuwijo Tejo dibantu oleh Mafirion dan
Agus Mulyadi menuangkan lika-liku bisnis ini dalam satu tulisan di
halaman ini, dan dua di halaman 6.
KOTA kecil Batu, Malang, Jawa Timur, seperti mati di malam hari.
Namun ada pengusaha yang berniat membangun diskotik bawah tanah. Di
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, sebuah gedung kesenian rakyat disulap
menjadi tempat bergengsot dan akan dibuka bulan Maret ini. Dan
Jakarta, menambah arena hiburan malam ini 31 Desember lalu
dengan Fire Discotheque. Terletak di Plaza Indonesia, kehadiran
diskotik yang mengaku the hottest and the most modern hi-tech disco
in Jakarta itu ikut memanaskan bisnis hiburan malam di Jakarta.
Inilah bisnis yang menyenangkan: menghibur orang sambil meraup uang.
Dengan arena melantai 6X12 meter dan menawarkan berbagai
teknologi canggih seperti sinar laser 12 warna, space-video, live
camera yang dihubungkan pada layar raksasa 5X10 meter, atau DJ
console yang terkomputerisasi, Fire mampu menyedot rata-rata 500
pengunjung tiap malam. Untuk malam Sabtu dan malam Minggu,
pengunjungnya lebih membludag lagi. "Hingga tamu sulit berjalan,"
ujar Joe Anwar, manajer operasional FD yang berasal dari Singapura.
Investasi yang ditanamkan untuk bisnis gemerlap ini memang tak
tanggung-tanggung, sekitar Rp 3,5 milyar! PT Rajawali Wirabakti
Utama serta kongsinya, Fire Discotheque Singapura, berani bertaruh
miliaran rupiah sebab sudah lama mereka mengendus bau kuat "uang
malam" Jakarta. Mereka sadar betul, perputarannya bisa mencapai
ratusan miliar rupiah per tahunnya.
***
BISNIS malam, terutama di metropolitan, memang kian marak dari
hari ke hari. Tengok saja pajak hiburan yang sempat dipetik Dinas
Pendapatan Daerah DKI. Angkanya tak main-main. Mencapai Rp 18,4
miliar di tahun 1989/1990! Yang terbesar, justru sumbangan dari
bisnis "uang malam" ini.
Tentu, ke-79 diskotik yang tersebar di seantero Jakarta tak
sendirian meramaikan malam. Panti pijat yang berjumlah 252 buah, 35
bar dan kelab malam, serta arena prostitusi yang tak terhitung
jumlahnya, menurut perhitungan majalah Info Ekonomi mampu
mengalirkan setidaknya Rp 133 miliar per tahunnya.
Perhitungan ini tentu saja belum termasuk transaksi "bawah
tangan" yang melibatkan belasan ribu wanita, dengan 468 germo dan
10.195 pelacur yang tercatat "resmi" di Departemen Sosial.
Lantas, di manakah letak diskotik di tengah perputaran "uang
malam" yang melesat cepat ini?
***
"DISKO adalah bisnis yang profitable, terutama di kota besar,"
tutur Henry Y Pramudhi, manajer operasional Ebony, diskotik populer
di bilangan Rasuna Said, Jakarta. "Sasaran kita jelas kelompok
yuppies, yakni para eksekutif menengah atas yang jumlahnya makin
banyak di Jakarta. Sekarang, melakukan refreshing lewat hiburan
malam, mulai jadi trend di kalangan itu."
Dengan rata-rata pengunjung 200 orang pada hari biasa, mencapai
700 di hari Sabtu, dan melimpah hingga 1450 orang di hari Kamis,
lewat tiket masuk saja Ebony sudah bisa mengeruk Rp 2 juta hingga Rp
17 juta per malam.
Padahal, harga tiket sebesar Rp 10 ribu di hari biasa, dan Rp 12
ribu di malam Minggu itu, sama sekali "bukan apa-apa" dibandingkan
dengan harga minuman yang dijajakan. "Bisnis hiburan malam memang
rata-rata mengeruk keuntungan besar dari penjualan minuman ini,"
tambah Pramudhi.
Diskotik, seperti halnya pub atau kelab malam, memang
biasa "menggenjot" keuntungan lewat harga minuman setinggi-tingginya,
tanpa disadari pengunjung. Sebab first drink, atau minuman yang
pertama kali dipesan, biasanya sudah digabungkan dalam cover charge
tiket masuk.
***
LALU, keuntungannya? Jangan kaget. Marjin keuntungan dari
minuman saja bisa mencapai lebih dari 1000 persen! Tanamur misalnya,
yang mangkal di bilangan Tanah Abang, menawarkan aneka soft drink
dengan harga Rp 3.500 segelasnya. Lantas minuman yang
dianggap "standard" lainnya, seperti whisky, dry gin, vodka, martini
atau cinzono, ditawarkan seharga Rp 4.500 hingga Rp 5.000 untuk tiap
gelas kecil. Itu belum harga minuman lain, yang berkisar antara Rp
6.000 hingga Rp 10.000 per gelasnya.
Padahal, berapa banyak rata-rata pengunjung menghabiskan
minumannya? "Mereka minum rata-rata empat gelas dengan harga minuman
Rp 9.000," papar Fifin Arifin, manajer The Music Room yang letaknya
di Hotel Borobudur Intercontinental Jakarta.
Maka hitung saja, dengan jumlah tamu rata-rata 400 orang dan
cover charge sebesar Rp 10 ribu untuk hari biasa, The Music Room bisa
menyedot tak kurang dari Rp 18 juta tiap malamnya. Belum lagi, jika
acara fashion night dibuka tiap Jumat. Tiket masuknya bisa mencapai
Rp 16 ribu, bahkan lebih tinggi dari tiket malam Minggu yang Rp 14
ribu. Jangan lupa, jumlah ini belum termasuk tip pengunjung, yang
seringkali deras mengalir ke kantong para waitress.
Dengan tarif yang lebih murah, Stardust, diskotik di bilangan
Glodok Jakarta, pada hari-hari khusus mampu menyedot pengunjung
hingga 1000 orang. Jumlah pengunjung yang rata-rata mencapai 500
orang per hari itu, dikenakan tiket masuk seharga Rp 5000 pada hari
biasa, dan Rp 6.500 pada saat acara ladies night.
Padahal, "Jumlah gelas minuman yang laku biasanya 2,5 kali
pengunjung dengan harga minuman rata-rata Rp 4000," papar Arifin
Sialagan, asisten manajer operasional Stardust. Maka, secara rata-
rata, tiap malam Stardust bisa menyabet tak kurang dari Rp 7 juta.
Sementara, The Oriental Discotheque yang menyatu dengan Hotel
Jakarta Hilton International, "cuma" menargetkan pemasukan sekitar Rp
4,5 juta saja tiap malamnya. Pengunjung The Oriental, kebanyakan
memang berasal dari kalangan remaja. "Sekarang, kami sedang mencoba
menggaet kelompok eksekutif dari dunia industri dan perbankan," ujar
Donny Sukamdono, head waiter The Oriental. "Pertimbangannya, spend
kelompok ini untuk minuman jauh lebih besar dari remaja. Para remaja
paling-paling cuma sekali minum saja, cuma first drink yang sudah
masuk dalam cover charge."
***
SASARAN kelas menengah atas ini, rupanya diincar pula oleh
Antoni Argaatmaja, manajer pemasaran diskotik Voila, yang letaknya di
lantai 4 gedung Patra Jasa, Jakarta. Antoni sangat yakin, "Prospek
bisnis diskotik ini bakal running well sepanjang tahun. Yang dijual
di sini adalah musik, dan musik nggak akan habis-habis. Juga jangan
khawatir tentang pengunjung, sebab regenerasi selalu terjadi. Yang
sudah tua-tua itu bukan berarti habis, sebab justru mendapat tambahan
dari pengunjung muda."
Beragam kiat diterapkan untuk merebut pengunjung. Itu antara
lain mengadakan ladies night, miniskirt competition, atau marathon
drinking competition seperti yang dilakukan Ebony. Atau, Hot Sunday's
Jeans dan Student Party yang dilakukan Voila. Ada juga door prize
seperti yang dilakukan Fire. Semua itu jelas untuk menggaet jutaan
rupiah yang berputar dari hari ke hari.
Persaingan dalam bisnis ini kian terasa, setelah 52 diskotik
yang tercatat di tahun 1988 tumbuh menjadi 79 di awal tahun
1991."Lihat saja, The Oriental pun terkena dampak dari munculnya
Fire. Jumlah pengunjungnya merosot," ujar Donny Sukamdono. "Tapi
menurut perhitungan saya, dalam waktu tiga atau empat bulan lagi
pengunjung akan stabil kembali."
Toh Irza Rivai, satu-satunya DJ Indonesia di antara tiga DJ
Singapura di Fire, berkeyakinan bahwa anggapan orang terhadap bakal
merosotnya Fire tiga atau empat bulan lagi, tidak betul. "Saya akan
berusaha mempertahankan agar Fire bisa berjalan terus seperti ini.
Keberhasilan sebuah diskotik sangat ditentukan oleh para DJ-nya. Ini
tantangan buat saya. Bagi saya, yang namanya diskotik itu ya yang
seperti Fire ini," ungkapnya.
Joe Anwar pun mendukung tekad Irza. "Yang penting dari sebuah
diskotik di samping musik dan DJ, adalah adanya perubahan suasana.
Orang-orang kota cenderung cepat bosan. Karena ittu, seperti juga
halnya Fire di Singapura, tiap tahun kita akan mengubah interior dan
suasana."
Meski jumlah uang jutaan rupiah yang tersedot masuk tiap malam
cukup menggiurkan, sebenarnya jumlah yang keluar pun ternyata tidak
main-main. "Setelah jumlah uang yang masuk dikurangi biaya
operasional, seperti bayaran pekerja, sewa gedung, sewa listrik, dan
maintenance, labanya jadi kelihatan tidak seberapa besar lagi,"
ungkap Pramudhi. "Tetapi keuntungan ini tidak bisa dibandingkan
begitu saja, lho. Profit tergantung dari banyak hal, seperti
manajemen, lokasi, dan juga gedung. Seperti Stardust itu, dengan cover
charge relatif murah pengunjung datang berjubelan. Mereka
bisa "mencetak" uang tiap malam."
***
"MENCETAK" uang, agaknya memang tak melulu didominasi diskotik
yang besar-besar di metropolitan. Meski relatif mengeluarkan uang
lebih kecil, kalangan menengah-bawah yang datang dalam jumlah besar
tentu bisa menghasilkan uang dalam jumlah yang lumayan pula.
Kiat inilah yang diterapkan oleh Lipstick Standing Disco di
Bandung. Maka jangan heran, bila di tempat ini sekittar 500
pengunjung dihentak-hentak oleh irama dangdut pada acara dangdut
night. Satu grup dangdut khusus disewa dengan penyanyinya yang
berpakaian seronok. "Pada mulanya, kami hanya mencoba. Ternyata,
sambutannya luar biasa meriah. Sekarang ini sudah dua tahun kami
tetap mempertahankan acara ini dua kali seminggu," papar Ken
Rigawara, manajer Lipstick.
Cara Gatot Wiradinata, manajer diskotik Gunung Batu di Bandung,
lain lagi. "Kami menyelenggarakan acara spesial ladies and breaker
night. Acara itu kami tawarkan melalui pesawat komunikasi untuk
saling kontak," katanya.
Lain di Bandung, lain pula di Pakanbaru. Meski sudah disuplai
dengan tiga diskotik, Desember tahun lalu Inderapura International
Hotel berani menggelar sebuah lagi, Paradise Discotheque. Diskotik
yang menelan investasi sekitar Rp 600 juta ini mengelola bisnis itu
melalui kerja sama dengan Indonesian Disc Jockey School di Jakarta.
(Lihat di halaman 6: Sekolah DJ, Sekolah untuk Hidup). "Meski
sekarang belum begitu menggembirakan, bisnis diskootik ini dua tahun
lagi bakal cerah," ujar HS Chaidir, manajer Paradise. Untuk menggaet
prospek yang cerah itu, harus sudah mulai dirintis dari sekarang."
Barangkali prospek bisnis ini memang cerah. Sebab, seperti yang
dinyatakan Ahmad Fahmy, manajer Tanamur, "Masyarakat itu barangkali
makin kesepian. Mereka butuh keramaian, tak keberatan berjubelan
ramai-ramai."
***
Foto : 1
Kompas\js
CANGGIHNYA DISKO - Hentakan musik, warna-warni cahaya dan layar
proyeksi video mengiringi ratusan pengunjung yang nyaris memenuhi
lantai dansa Fire Discoteque di Plaza Indonesia. Kecanggihan
teknologi benar-benar dimanfaatkan dalam persaingan ketat bisnis
diskotek.