KOMPAS - Sabtu, 17 Dec 2005 Halaman: 37 Penulis: Mulyadi, Agus; Eko, Prasetyo Ukuran: 7067 Foto: 1
MENCARI KEHIDUPAN DI "DUNIA LUAR"
Oleh Prasetyo Eko dan Agus Mulyadi
"Untuk makan, penduduk desa ini mendulang emas di Sungai Kapur
atau menanam apa saja di kebun. Sebagian dari kami disuruh turun
gunung sejak tahun 1982 dan tinggal di sini," ujar Jeckman Waker,
Kepala Suku Dani Lani, di Desa Kwamki Lama, ketika ditemui di
rumahnya pada hari Selasa (13/12) siang lalu.
Kwamki Lama adalah satu desa di pinggiran Timika, ibu kota
Kabupaten Mimika, Papua. Desa yang berdekatan dengan Bandar Udara
Moses Kilangin, Timika, tersebut merupakan desa tempat bermukimnya
ratusan keluarga dari tujuh suku di Papua.
Jeckman menyebutkan, di Kwamki Lama tinggal penduduk yang berasal
dari suku-suku DaniLani, Amungme, Kamoro, Moni, Ekari, Ndagua, dan
Damal. Mereka warga yang turun dari kawasan pegunungan di
pedalaman. "Ketika pertama kali turun gunung, kami mengalami
kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan daerah baru ini," kata
Jeckman.
Masalah terberat yang dialami Jeckman dan penduduk lain dari Suku
Dani Lani adalah cuaca. Penduduk yang biasa hidup di daerah dingin
pegunungan di daerah Puncak Jaya tersebut, ketika itu harus hidup di
daerah dengan cuaca panas di Timika yang berada tidak jauh dari
pantai.
Mereka waktu itu sangat takut dengan penyakit malaria yang banyak
menimbulkan korban. "Kami juga tidak tahan menghadapi malaria yang
menyerang. Ketika itu banyak warga yang jadi korban terserang
malaria," ucap Jeckman mengenang masa-masa pertama kali harus hidup
di "dunia luar".
Kepindahan itu tentu saja membawa perubahan besar dalam kehidupan
Jeckman dan penduduk lain dari sukunya, serta suku-suku lain yang
bermukim di Kwamki Lama.
Di tempat baru, mereka pun harus mencari penghidupan baru,
mencari sumber nafkah baru untuk hidup keluarganya. Terjadi perubahan
pola hidup warga yangsebelumnya berada di pedalaman, kini warga harus
hidup dekat dengan kawasan perkotaan.
Hidup berdekatan dengan kawasan perkotaan yang masyarakatnya
lebih heterogen, warga harus menyesuaikan diri. Interaksi dengan para
pendatang sedikit banyak berpengaruh terhadap pola hidup warga.
Pengaruh baik maupun buruk dari interaksi tersebut juga terjadi pada
warga.
Jeckman dan penduduk lain pindah ke daerah baru itu karena
diharuskan pindah dari daerah asal yang berdekatan dengan pusat
penambangan emas Tembagapura tersebut. Di daerah baru, Jekcman dan
ratusan keluarga lain diberi rumah dan lahan untuk bercocok tanam.
Warga harus menanam berbagai macam bahan makan. "Saya dan
penduduk lain umumnya menanam umbi-umbian untuk makan, seperti
singkong dan keladi," kata Jekcman.
Kini sumber penghidupan warga pun lebih bervariasi, tidak melulu
berasal dari lahan pertanian. Belakangan, sejak sekitar tahun 1998
lalu, sumber nafkah baru didapat penduduk Kwamki Lama. Mereka ramai-
ramai terjun ke Sungai Kapur untuk mendulang emas.
Di sungai yang menjadi tempat pembuangan limbah dari penambangan
emas di Tembagapura milik PT Freeport Indonesia itu, butiran-butiran
emas didapat, dan cukup mendulangnya dengan peralatan sederhana,
seperti penggorengan untuk melimbang pasir dan lumpur.
Sejak hidup di daerah baru, Jeckman dan penduduk lain harus
mengubah pola hidup. Hal itu tentunya tidak bisa dilakukan karena di
kawasan perkotaan yang sudah jauh dari hutan.
Mereka tidak lagi makan dari tumbuhan yang hidup di hutan. Mereka
harus mengolah lahan pertanian agar bisa makan. Menurut Jeckman,
perubahan itu tidak mudah hingga waktu pertama kali turun gunung
warga mengalami kesulitan untuk bertahan.
Selama 27 tahun hidup di daerah baru, terjadi berbagai perubahan.
Perubahan itu tampak salah satunya dari tempat tinggal mereka. Rumah-
rumah berdinding tembok menjadi tempat tinggal yang dianggap lebih
layak daripada gubuk- gubuk kayu kecil di hutan pegunungan.
Mata pencarian lain
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Mimika, Maimun Madia,
mengatakan, perubahan pola hidup hal yang wajar terjadi pada warga
yang semula bermukim di pedalaman kemudian pindah ke kota dan
berinteraksi dengan warga lain, seperti para pendatang di Timika.
"Seperti sejumlah suku yang dipindah dari pegunungan di
pedalaman Mimika ke Kwamki Lama, mereka sekarang mengenal mata
pencarian lain. Jika sebelumnya mencari makan tergantung dari hasil
hutan, kini mereka mempunyai mata pencarian lain, seperti menjadi
penambang emas," katanya.
Terjadi perubahan seperti pola makan, mata pencarian, dan
perilaku warga. Namun, tidak seluruh segi kehidupan warga berubah.
Pada beberapa suku, sebagian masih mempertahankan budaya asli
meskipun hidup dan tinggal dekat perkotaan.
Misalnya, Suku Kamaro di Desa Hipuri, yang terletak sekitar 20
kilometer di selatan Timika ke arah pesisir pantai. Penduduk pribumi,
terutama perempuan, masih mencari sagu secara beramai-ramai ke hutan.
Mereka pergi ke hutan pagi-pagi, sekitar pukul 08.00, secara
berombongan untuk mencari pohon sagu. Lalu mereka langsung
mengolahnya menjadisagu, dan sore hari, sekitar pukul 16.00, pulang
membawa sagu dengan cara digendong di punggung, kembali ke desa.
Sagu tersebut ditempatkan di wadah yang terbuat dari daun sagu.
Cara-cara tradisional masih mereka pertahankan untuk membuat sagu
tersebut.
Jus, seorang ibu rumah tangga, saat ditemui sedang dalam
perjalanan pulang mencari sagu di hutan, Kamis (15/12) petang,
menuturkan, mencari sagu sudah merupakan kebiasaannya sejak
kecil. "Sudah sejak lama saya mencari sagu untuk makan. Sehari kami
mencari sagu di hutan, berangkat pagi terus pulang bawa sagu untuk
makan," katanya sambil masih menggendong sagu di punggungnya.
Sementara itu, Suku Asmat yang tinggal di perkampungan di selatan
Timika, juga masih bertahan mencari ikan sebagai penghidupan utama.
Itu, misalnya, dijalani sekitar 500 keluarga Suku Asmat yang tinggal
di rumah- rumah panggung sederhana di Desa Pamako, sekitar 30
kilometer dari Timika.
Menurut Linus, salah seorang warga, mereka merupakan warga
pendatang di tempat tersebut. Sebelumnya, komunitas Asmat tersebut
berasal dari daerah Merauke, kemudian pindah dan menetap di sekitar
pesisir Timika, sekitar tahun 1996. Mereka pindah untuk mencari
tempat penghidupan yang lebih baik.
Mereka mencari ikan dengan menggunakan perahu dayung. Berbagai
macam ikan mereka tangkap, seperti ikan kakap. Ikan tersebut sebagian
dijual, sebagian mereka makan sendiri sehari-hari. Warga Asmat ini,
menurut Linus, masih membawa keahlian lama sebagai pematung. "Saya
masih suka membuat patung-patung khas Asmat kecil, dan biasa saya
jual ke Timika, di dekat bandara," ujarnya.
Foto:1
Kompas/Arbain Rambey
Kelaparan yang melanda sebagian penduduk lereng pegunungan
Jayawijaya, Papua, selain disebabkan serangan hama juga disebabkan
sulitnya medan. Mereka umumnya tinggal di tempat-tempat yang
ketinggiannya di atas 1.800 meter di atas permukaan laut.