Jumat, 09 November 2007

Siapa Kuat Dia Menang

KOMPAS - Jumat, 27 Sep 1991 Halaman: 1 Penulis: MULYADI, AGUS; SETIAWAN, AGUS; SUGANDA, HER Ukuran: 8133 Foto: 1
SIAPA KUAT, DIA MENANG
Jalur Tengkorak Cikampek-Cirebon (1)

Cikampek-Cirebon (250) km) dijuluki "jalur tengkorak". Jalan
raya di pesisir utara Jabar itu dianggap jalur rawan kecelakaan.
Pemandangan yang umum terjadi di situ adalah kebut-kebutan antara
kendaraan besar semacam bis. Inikah arena pamer kekuasaan, yang bisa
merefleksikan sikap budaya kita secara keseluruhan? Koresponden
Kompas Agus Mulyadi, Agus Setiawan, dan Her Suganda, menelusuri
jalur itu dan menuangkan pengamatannya dalam dua tulisan, untuk
hari ini dan besok.
JALUR TENGKORAK. Inilah julukan untuk ruas jalan Cikampek-
Cirebon. Selain dikenal sebagai jalur yang padat dimana pada hari-
hari istimewa seperti Lebaran biasanya menjadi pusat kemacetan lalu
lintas terburuk di Jawa, jalur ini juga sangat rawan kecelakaan.
Dengarlah pengakuan Adji Gunawan, penduduk Kalibata Indah yang
baru saja melewati jalur itu. "Kami sekeluarga hampir jadi korban
jago jalanan," katanya. Mengendarai sebuah kendaraan kecil, dalam
perjalanan ke Jakarta ia berpapasan dengan bus yang sedang adu
kecepatan di daerah Pamanukan. Menyadari bahaya di depannya, ia
segera mengurangi kecepatan sambil memberi isyarat lampu.
Tapi, isyarat kendaraan kecil ini tak digubris. "Monster" di
depannya itu malah menjawab dengan menyalakan lampu merah seperti
layaknya mobil polisi atau ambulans. Gunawan segera keluar dari
jalan aspal, masuk trotoar, dan berhenti. "Bayangkan kalau di
kendaraan kami ada yang berpenyakit jantung," ujarnya.
Pengalaman seperti ini pasti bukan hanya milik Gunawan,
melainkan bisa menjadi milik siapa saja yang punya pengalaman
berkendaraan melewati jalur tersebut. Kendaraan-kendaraan besar akan
menakut-nakuti kendaraan kecil dengan misalnya memepet dari
belakang, merampas jalur pengemudi lain dari arah berlawanan, sampai
ke kesukaan membunyikan klakson kendaraan yang sengaja dibuat
mengguntur bunyinya.
Jika tidak mengalah, keadaan lebih fatal bisa terjadi. Seperti
terjadi suatu siang, 10 Juni 1991. Sepuluh jiwa melayang akibat
tabrakan antara bus SN No Pol E 600 SY dengan Colt L-300 No Pol AD
8069 D yang dikemudikan Ir Nasir Nugroho (34) pada ruas jalan di
desa Batangsari, Pamanukan, Subang. Sebagian besar korban yang
meninggal adalah penumpang Colt berikut pengemudinya. Kendaraan itu
ringsek tak berbentuk lagi. Lebih tragis, bahwa dalam kecelakaan
ini tersambar juga Wasin, petani setempat, yang saat itu sedang
mengambil daun lamtoro di pinggir jalan. Dia tewas di tempat.
Pagi hari, kecelakaan yang menelan nyawa kembali terulang. Kali
ini di Rancajaya, Patokbuesi, tidak terlalu jauh dari lokasi
kecelakaan sehari sebelumnya. Kali ini, bus ALS bertabrakan dengan
Daihatsu Hijet. Kendaraan keluarga ini ringsek, dan empat
penumpangnya tewas.
"Di sini kecelakaan hampir setiap hari terjadi," kata Kepala
Kepolisian Sektor (Kapolsek) Ciasem, Subang, Lettu (Pol) R.
Sudiarna. Ruas jalur utara yang termasuk wilayah hukum Polsek
tersebut tergolong paling rawan, karena sepanjang ruas jalan
Cikampek-Pamanukan padat perumahan dan warung-warung tempat
bersantai dan beristirahat.
Ini bukan lalu berarti bahwa pada jalur yang lain keadaan tidak
rawan. Dalam lima tahun terakhir ini, kecelakaan terhebat dengan
merenggut 24 orang meninggal dan 40 orang luka berat maupun ringan,
terjadi di Desa Rawahurip, Astanajapura, yang terletak antara
Cirebon dengan wilayah perbatasan Jabar-Jateng. Peristiwa yang
terjadi 13 Agustus 1986 itu melibatkan bus Sono No Pol G 2638 BA dan
bus pariwisata Antar Arah No Pol B 7999 FM. Bus Sono melaju dalam
kecepatan tinggi dari Cirebon menuju arah Tegal. Bus tersebut
menyalip pick-up di depannya, kemudian langsung digenjot lagi untuk
mendahului sebuah truk. Sementara, dari arah berlawanan muncul bus
pariwisata itu. Kecelakaan fatal tak terelakkan.
Puluhan penumpang, mati sia-sia...
***
PERSOALAN pokok pada jalur ini adalah akumulasi berbagai
perkembangan yang begitu cepat terjadi di wilayah ini. Daerah-daerah
di utara Jabar telah berkembang sedemikian pesatnya dengan Jakarta
sebagai magnit utama. Perkembangan juga dialami daerah-daerah di
Jateng dan Jatim yang pada akhirnya makin menumbuhkan bobot kegiatan
lalu lintas wilayah tersebut.
Dari terminal Cirebon saja, setiap hari diberangkatkan sekitar
1.700 bus. Belum terhitung kendaraan-kendaraan lain yang melewati
jalur itu semacam truk barang, trailer, kendaraan penumpang kecil,
dan lain-lain. Menurut Ditlantas Polda Jabar, jalur ini dilalui
sekitar 42.000 kendaraan setiap hari.
Dengan angka itu, menurut Kaditlantas Kol (Pol) Drs Agus
Sarman, jalur ini menjadi jalur terpadat di Jabar. Dan juga rawan,
baik rawan kecelakaan, maupun rawan tindak kriminalitas "bajing
loncat". Istilah ini mengacu pada komplotan bandit, yang biasanya
menjarah truk-truk barang. Komplotan itu, tak jarang menghabisi
nyawa korban, seperti terjadi Agustus lalu, dimana seorang kernet
truk ditemukan tewas setelah dilempar sebuah komplotan "bajing
loncat" ke pinggir jalan.
Polwil Cirebon, Letkol (Pol) Drs Nasrul Yusuf mengakui, angka
pencurian dengan kekerasan di wilayah jalur utara sangat tinggi.
Bahkan tertinggi dibanding daerah lain di Polwil Cirebon yang
meliputi Polresta dan Polres Cirebon, Polres Indramayu, serta Polres
Majalengka. Penempatan 40 anggota Brimob ke jalur tersebut, diakui
cukup mengurangi kasus pencurian dengan kekerasan.
Sedang yang sulit ditekan, tetaplah angka kecelakaan. Untuk
wilayah Cirebon, sampai Juli lalu tercatat 395 kasus kecelakaan
dengan merenggut 234 korban meninggal, 306 luka berat, dan 413 luka
ringan. Jumlah kerugian seluruhnya Rp 226 juta.
Sedang untuk Polwil Purwakarta, sampai Juli lalu tercatat 162
orang meninggal, 266 luka berat, dan 387 luka ringan.
Pengawasan jalur sepanjang 250 km itu selama ini ditangani 25
Polsek. Jumlah ini, sebetulnya dipandang kurang memadai. Tiap Polsek
didukung oleh sekitar 30 personil dengan masalah yang ditangani
tidak hanya masalah lalu lintas, tetapi juga masalah ketertiban dan
keamanan.
***
UNTUK memecahkan sebagian masalah lalu lintas yang muncul di
situ, dilakukan pula upaya memperbaiki kualitas jalan. Tapi, ini
seperti buah simalakama. Ini malah merangsang pengemudi untuk memacu
kendaraan seperti layaknya di arena balap mobil (bus). Sistem
penggajian terhadap para sopir bus, juga kian memacu para pengemudi
untuk makin kurang mengingat kepentingan para pengemudi lain.
Menurut Siyam, seorang sopir angkutan umum yang kini meringkuk
di lembaga pemasyarakatan, dulu tiap hari dia harus menyetor Rp
45.000 per hari. Pada hari-hari baik, pendapatan bisa mencapai Rp
65.000. Tetapi, kelebihan Rp 20.000 harus dibagi tiga dengan dua
orang kernetnya, sehingga ia hanya memperoleh bagian Rp 10.000.
Sistem setoran ini juga berlaku pada pengemudi bus antarkota.
Sebut saja Hasan, pengemudi salah satu bus antar kota di Cirebon.
Berdasarkan perjanjian, besar setoran setiap hari adalah Rp 155.000.
Tetapi menurut dia, target itu sebetulnya sulit dicapai. Lantas,
pengusaha biasanya menetapkan, kalau mereka tak bisa memenuhi jumlah
setoran, lalu dianggap utang. Pembayaran, dilakukan dengan cara
mencicil.
Kebiasaan di jalan raya, sistem pembayaran yang membelenggu
para sopir, apresiasi terhadap nyawa orang lain, akhirnya menjadi
unsur-unsur yang terlihat dalam perilaku berlalu lintas di jalur
utara pulau Jawa itu.
Yakni, sebuah perilaku saling sikut, seperti adagium "survival
of the fittest". Yang terkuat yang menang. Sedang yang lemah, yang
kecil seperti kendaraan-kendaraan kecil di jalur Cikampek-Cirebon
kadang harus tersingkir atau terperosok di tepi jalan.
(Bersambung)
Foto: 1
Kompas/kr
TERPEROSOK - Sebuah pemandangan yang umum terjadi di jalur Cikampek-
Cirebon. Sebuah bis terperosok ke parit di tepi jalan.

Tidak ada komentar: