Rabu, 14 November 2007

Menikmati Laksa di Bawah Pohon yang Rindang

KOMPAS - Rabu, 27 Nov 1996 Halaman: 12 Penulis: MUL Ukuran: 5269
MENIKMATI LAKSA DI BAWAH POHON YANG RINDANG
TERLINDUNG dari terik matahari di bawah rindangnya pepohonan
memang menyejukkan. Ditambah hembusan angin semilir, apalagi jika bisa
sambil menikmati makanan khas bernama laksa. Suasana semacam itu bisa
diperoleh di tepian sebagian jalan di depan Lembaga Pemasyarakatan
(LP) Wanita Tangerang, Jalan TMP Taruna.
Pada siang hari, di bawah pepohonan rindang sepanjang jalan itu,
bisa dijumpai sekitar 20 orang pedagang makanan khas laksa, yang
banyak dikenal di Tangerang.
Di tempat itu, umumnya pedagang menggelar dagangannya hanya dimeja
dan bangku sederhana. Kalaupun ada tambahan, hanya berupa atap plastik
yang digelar di bagian atas, dengan diikat ke ranting-ranting pohon.
Sementara tempat makanan itu berada di pikulan yang siap dibawa ke
mana-mana. Saat tutup sore hari, pikulan bisa langsung dipanggul
pulang. Sementara meja dan bangku bisa disimpan di sekitar tempat itu.
Menikmati laksa di bawah kerindangan pohon, memang memberi
tambahan kenikmatan.
Suasana nyaman seperti itu yang mungkin akhirnya mengundang para
pembeli. Umumnya, pembeli yang datang adalah para pengguna jalan yang
lewat. Banyak di antara pembeli adalah orang-orang bermobil atau
bermotor. Paling banyak mereka datang pada saat jam-jam makan siang.
LAKSA adalah makanan berupa mie terbuat dari tepung nasi yang
dicampur dengan kari. Menurut Endi (28) salah seorang pedagang asal
Mauk, Tangerang, laksa dikenal sebagai makanan khas Tangerang.
Arti nama makanan itu sendiri sulit diketahui. Sejumlah pedagang
yang ditemui mengaakan tidak tahu pasti kenapa makanan itu disebut
laksa. Namun menurut mereka, nama laksa mungkin diambil karena
banyaknya lembar-lembar mi yang disajikan. Nama laksa menurut mereka
mungkin diambil dari kata selaksa yang artinya seratus ribu.
Mi tepung beras itu dibuat sendiri oleh pedagang di rumahnya.
Bahan bakunya adalah beras jenis IR 42. Jenis beras lain sulit
dibentuk menjadi mie. Mie beras rebus ini disantap dengan kari
bersantan, yang dicampur aneka macam bumbu. Untuk tambahan, pembeli
bisa memilih apakah menginginkan daging ayam atau telur.
Lantas kenapa para pedagang itu memilih trotoar sekitar depan LP
Wanita Tangerang untuk berjualan? Endi mengakui, dia memilih lokasi
itu karena banyak pegawai kantoran lewat. Warga yang hendak berurusan
di sejumlah kantor di Tangerang juga banyak melintas jalan itu. Tepi
jalan yang teduh oleh pepohonan, serta jalan itu sendiri yang umumnya
hanya dilalui kendaraan pribadi dan sebagian angkutan kota, menarik
minat pedagang untuk berusaha di kawasan itu.
"Saya sudah lebih dari dua tahun berjualan di tempat ini. Tadinya
saya berjualan laksa berkeliling ke rumah-rumah penduduk," kata Endi,
yang dalam satu hari menghabiskan sekitar lima liter beras untuk
dibuat laksa. Dia tertarik berjualan makanan itu karena sejumlah
tetangganya sudah lama berjualan laksa.
Pedagang lainnya, Lambang Buana (39), mengatakan hal senada. Dia
memilih tepian jalan yang teduh itu dan tidak terlalu ramai dilewati
kendaraan itu, dengan pertimbangan banyak pemakai jalan yang lewat.
Kekhasan makanan laksa, tentu menjadi pengundang sendiri bagi
masyarakat yang ingin menikmatinya.
Namun berbeda dengan Endi, Lambang Buana, ayah tiga anak kelahiran
Takengon, Aceh itu, berjualan laksa karena didorong mertuanya yang
asli orang Tangerang. "Sebelum saya berjualan laksa, mertua saya
sebelumnya sudah terlebih dahulu berjualan dengan cara berkeliling,"
katanya.
Lambang juga membuat sendiri laksa, dengan bahan baku beras IR 42.
Dalam satu hari dia menghabiskan enam liter beras. "Jarang makanan
dagangan saya ini tidak terjual habis," katanya sambil tersenyum.
Mengenai pendapatannya, dia mengatakan cukup. Dengan berjualan laksa,
Lambang mampu menghidupi keluarganya.
Bagi para pembeli sendiri, kehadiran pedagang laksa membantu
mereka menemukan makanan khas daerah Indonesia yang nikmat disantap.
Di tengah menjamurnya tawaran jenis makanan asal luar negeri yang di
sejumlah restoran dan pasar swalayan, kehadiran laksa memberi
kenikmatan lain bagi mereka.
Mungkin karena kekhasannya itulah, peminat laksa tidak pernah
habis. Pada saat jam-jam istirahat kantor, terlihat sejumlah mobil
atau motor diparkir di depan pedagang, dan penumpangnya menikmati
laksa. Seperti tiga orang karyawan perusahaan di kawasan Batuceper
misalnya, jauh-jauh datang pada saat istirahat siang, untuk menikmati
laksa.
Lambang menyebutkan, ke tempatnya bahkan kadang datang orang-orang
dari daerah lain, seperti Bogor, Jakarta, atau Bekasi, bahkan Bandung,
yang sedang ada urusan di Tangerang. Dan, katanya, ketika mereka
datang lagi ke Tangerang, biasanya datang lagi menikmati untuk laksa.
Warga Kota Benteng sendiri, tidak pernah putus datang menikmati
makanan khas itu.
Sulit diketahui memang, apa yang mendorong orang datang menikmati
jajan makanan laksa di Tangerang. Entah apakah karena memang
makanannya yang nikmat disantap hangat-hangat itu, atau karena suasana
teduh tempat berjualan pinggir jalan, yang mengundang orang datang.
Laksa Tangerang memang nikmat. (mul)