KOMPAS - Minggu, 11 Dec 2005 Halaman: 41 Penulis: mul; iam; jos Ukuran: 6389 Foto: 2
Lintas Timur Barat
BELAJAR GOTONG ROYONG DI SEBLAT ULU
Hanya dalam waktu dua hari, di atas tanah yang sebelumnya kosong
itu berdiri satu rumah panggung berukuran empat meter kali enam
meter. Rumah dengan satu kamar itu siap ditempati Gustin (28) bersama
istri dan seorang anaknya.
Terciptanya rumah baru tersebut bukan terjadi di dalam acara
reality show seperti yang ditayangkan di salah satu televisi swasta.
Itu benar-benar terjadi di Desa Seblat Ulu, Kecamatan Lebong Utara,
Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu.
Hal itu terwujud berkat gotong royong warga desa. Di negara yang
belakangan ini tingkat kebersamaan sebagian warganya mulai rapuh
akibat menjunjung tinggi keduniawian, masih ditemukan sifat dasar
bangsa ini.
Tanpa memikirkan pamrih, berupa bayaran atau imbalan lain, warga
Seblat Ulu bergotong royong membantu Gustin yang semenjak berkeluarga
memang belum memiliki rumah. Ayah satu anak itu, hingga rumah impian
belum terwujud, tinggal di rumah seorang tetangganya.
"Tidak enak terus-terusan tinggal di rumah orang," katanya, saat
bersama puluhan tetangga tengah beristirahat makan siang, Minggu
(13/11).
Desa Seblat Ulu adalah perkampungan terpencil di kaki Gunung
Seblat. Kota terdekat adalah Muara Aman, ibu kota Kabupaten Lebing,
yang berjarak 30 kilometer selatan desa itu. Keterpencilan dan
ketertinggalan desa yang berbatasan langsung dengan hutan Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS) itu mendorong anggota masyarakat tetap
memelihara kebersamaan.
Gotong royong dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Puluhan
laki-laki membangun rumah dan tetangga perempuan memasak di dapur.
Sementara itu, bocah-bocah laki-laki dan perempuan bermain di
pelataran rumah, sebagian coba-coba membantu pekerjaan orang dewasa.
Setelah menikmati makan siang bersama dengan menu ala kadarnya,
puluhan lelaki turun ke salah satu areal kosong di pinggir jalan. Ada
yang langsung memotong bambu, menggergaji kayu, atau memaku papan.
Begitu rangka bangunan telah siap, para lelaki segera mendirikan
rumah.
Rumah penduduk setempat umumnya berbentuk panggung dari kayu,
dengan atap sirap, ijuk, atau seng. Selain menggunakan papan,
sebagian dinding memanfaatkan bambu tua yang dibelah-belah. Rumah-
rumah itu terletak di kiri-kanan jalan tanah liat yang membelah desa.
Untuk mewujudkan impian memiliki rumah panggung seperti itu,
Gustin menghabiskan biaya Rp 4 juta. Itu sudah termasuk bahan baku
kayu, makanan untuk tetangga yang membantu, serta pembelian atap
seng. Uang sebesar itu dikumpulkan Gustin bertahun-tahun.
Kebersamaan
Di Seblat Ulu, warga yang bekerja tak dibayar dengan uang sepeser
pun. Mereka hanya menerima jatah makan bersama, beberapa batang
rokok, dan secangkir kopi. Tetapi, semua pekerjaan dilakukan tanpa
keluh kesah, bahkan kerap diselingi senda gurau yang membuat suasana
meriah.
Kemauan seperti itu membutuhkan niat kuat, meskipun sebagian
penduduk di desa itu tinggal berpencaran dengan jarak cukup jauh.
Sebagian warga membangun rumah di pinggiran sungai dan sebagian lagi
tinggal di gubuk di tengah kebun nilam yang berbatasan dengan
lebatnya hutan kawasan TNKS. Jarak itu hanya dapat ditempuh dengan
berjalan kaki. Anshori (32) datang dari kebun yang berjarak sekitar
tiga kilometer. Perjalanan harus melalui jalan setapak di tengah
belantara atau pinggiran sungai yang becek.
"Meskipun jauh, saya selalu datang setiap ada yang bangun rumah.
Dengan menolong orang lain, saya bisa berharap dapat bantuan dari
orang lain. Inilah yang namanya hidup bermasyarakat," katanya.
Menurut Kepala Desa Seblat Ulu, Muhajir, gotong royong telah jadi
tradisi desa sejak puluhan tahun lalu. Hidup di tengah belantara
membuat mereka tetap menyatu dari dulu sampai sekarang.
Arpan, warga Seblat Ulu lainnya, mengemukakan, hidup bergotong
royong memang telah dikenalnya sejak ia kecil. "Kami ikhlas
menjalankannya. Kalau tidak gotong royong, sulit bagi kami bertahan
di daerah terpencil seperti ini. Jika ada kesulitan, tetangga pasti
akan turun membantu," ujar Arpan.
Kehilangan waktu dua hari, seperti untuk membangun rumah Gustin,
sebenarnya merugikan warga yang umumnya bekerja sebagai peladang.
Mereka tidak bisa mengolah ladang di lahan rambahan di kawasan TNKS
sehingga tidak mendapat penghasilan.
Berpindah-pindah
Warga desa berasal dari sekelompok pencari ikan dari Muara Aman,
yang mulai berpetualang sambil mencari lahan pertanian subur sejak
puluhan tahun lalu. Sebelum tiba di desa itu, para pendahulu mereka
telah tiga kali pindah. Terakhir pada tahun 1982, kelompok masyarakat
itu membuka lahan dan akhirnya menetap di daerah yang kemudian
menjadi Desa Seblat Ulu, sampai sekarang.
Sejak berpindah-pindah hingga saat ini, anggota masyarakat selalu
menjaga keutuhan kelompok dengan cara saling membantu satu sama lain.
Dengan begitu, mereka bisa bertahan menghadapi segala kesulitan.
Sikap itu terus dijaga dan diturunkan kepada anak cucu.
Kesulitan itu begitu terasa karena desa tersebut memang minim
fasilitas. Puskesmas terdekat berada di Muara Aman. Wargayang sakit
harus dibawa ke sana dengan menumpang ojek atau ditandu ramai-ramai.
Sedikit sekali anak yang bersekolah karena desa itu hanya memiliki
SD, sedangkan SMP terdekat juga di Muara Aman.
Di sana juga tak ada televisi atau radio yang bisa menyiarkan
hiburan dan berita, sedangkan listrik belum masuk. Hiburan didapatkan
dari obrolan ringan antarsesama warga yang dilakukan malam hari
sepulang kerja.
"Kadang-kadang kami main kartu domino sambil ngobrol ngalor-
ngidul. Tetapi, kalau terus begitu, jenuh juga. Jadi, kami berusaha
saling menghibur," kata Lovi, Sekretaris Desa Seblat Ulu.
(mul/iam/jos)
Peta: 1
Desa Seblat Ulu
Foto: 1
Kompas/B Josie Susilo Hardianto
Para siswa yang berasal dari Dusun Sungai Lisai harus berjalan kaki
menyeberang sungai dan kemudian beristirahat di Dusun Seblat Ulu,
sebelum melanjutkan perjalanan ke Muara Aman dengan menggunakan ojek.
Mereka terpaksa indekos di Muara Aman dan pulang kampung setahun dua
kali.
Foto: 2
KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO
Sebagian warga Dusun Ketenong I tinggal di pinggir hutan seperti
umumnya warga Dusun Seblat Ulu dan Sungai Lisai.