KOMPAS - Jumat, 27 Dec 1996 Halaman: 18 Penulis: MUL/BOY Ukuran: 6273
MENDUNG MENGGANTUNG DI LANGIT MAJA
NENEK Min mengaku menyesal. Lahan sawahnya seluas tiga petak
terpaksa dijual kepada salah satu developer yang akan membangun
perumahan di Kecamatan Maja. Sebelum dilepas hampir tiap hari dia
didatangi calo, minta tiga petak sawahnya seluas kurang dari 2.000 m2
itu dijual saja.
Karena tidak tahan, nenek berusia sekitar 80 tahun yang tinggal
bersama seorang anak dan menantunya, akhirnya melepas sawahnya. Uang
hasil penjualan sawah, sekitar Rp 1,4 juta, sudah habis untuk berbagai
keperluan.
Dia menyesal, karena tak ada lagi miliknya yang berharga. Kini
sawahnya sudah diuruk untuk pembangunan kompleks perumahan. Selama
puluhan tahun sawah itu menjadi sumber nafkah utama. Bisa ditanami
dua kali dalam setahun.
Tetapi, nenek Min tidaklah sendirian. Karena masih puluhan warga
Tanjungsari lainnya menuturkan penyesalan sama. Sawah dan kebun dibeli
developer yang akan membangun perumahan. Sebagian hingga kini memang
masih bisa menikmati uang hasil penjualan, karena masih ada yang
tersisa. Tetapi launnya, sudah ludes. Dan celakanya, uang ludes mereka
belum juga mendapatkan pekerjaan.
Dan untuk Kecamatan Maja, keadaan sama dialami ribuan warga.
Seperti juga warga Tanjungsari, sebagian warga 15 desa lain di Maja
telah menjual harta mereka paling berharga, tanah. Tidak ada data pasti,
berapa banyak warga yang kehilangan lahannya yang telah dibebaskan
atau mau dibebaskan developer perumahan.
Setalah tanah dijual, memang tampak perubahan. Di Tanjungsari,
Sangiang, atau Cipining dan desa lain yang terkena proyek perumahan,
rumah-rumah warga sudah berubah bentuk. Rumah bergaya kuno, kusen
rumah yang kusam karena sudah lama tidak dicat, atau lantai yang masih
tanah, diubah dan perbaiki dengan uang hasil penjualan tanah.
"Hampir semua warga sini dan Tanjungsari yang menjual tanahnya,
dihabiskan untuk memperbaiki rumah. Terutama warga yang tanahnya tidak
terlalu luas," kata H Ajid (50), warga Desa Sangiang yang bertetangga
dengan Tanjungsari.
Sementara bagi warga yang menjual tanah cukup luas, lebih dari
satu hektar, selain untuk memperbaiki atau membangun rumah, sebagian
uangnya juga dibelikan kendaraan atau untuk modal berdagang. Semisal
Hasimin (45), warga Desa Padasuka misalnya, memilih berdagang kamping
dan kerbau.
Ayah tiga anak itu memperoleh modal dari hasil penjualan satu hektar
tanahnya. Sekarang dia memiliki dua ekor kerbau dan 10 ekor kambing.
Di luar itu, dia tak mempunyai kesibukan lain yang bisa menghasilkan.
Beda dibanding ketika masih menjadi petani dulu.
Murdi (50) warga Cipining, lain lagi. Meski lahan sawahnya sudah
dijual kepada developer, sampai saat ini dia masih bisa bercocok tanam
di situ. Entah sampai kapan. "Kalau sudah tidak boleh lagi, yah, baru
kita pikirkan mau kerja apa lagi", katanya.
* * *
BOLEH dibilang, sebagian besar petani itu kini menjadi
pengangguran. Dan dalam keadaan menganggur itu, mereka berharap bisa
bekerja di proyek pembangunan perumahan itu. Menjadi buruh bangunan,
bila proyek sudah dimulai. Tetapi, proyek belum juga dimulai. Dan
keadaan itu sangat mereka sesalkan. "Coba kalau yang dibangun pabrik,
pasti banyak penduduk daerah ini bisa menjadi pekerjanya," kata Ny
Mamari (35), warga Tanjungsari.
Begitupun, warga tetap berharap poyek perumahan di Maja, bisa
mendongkrak hidup mereka. Andai kata tidak diterima sebagai buruh,
mereka berharap kehadiran warga baru perumahan itu bisa melahirkan
lapanagan kerja.
Catatan menyebutkan, total luas izin lokasi di Maja, 4.785 ha.
Lebih dari 60 persen di antaranya telah dibebaskan dari pemiliknya.
Tanah warga dibebaskan sejak 1994 dengan harga sekitar Rp 700/m2.
Dan pada 1996 ini dengan harga antara Rp 1.300-Rp 1.500/m2.
Menurut Mujiono, Mantri Polisi Kecamatan Maja, pembebasan lahan
di 16 desa tidak mengambil lahan sawah. Lagi pula sawah di Maja tidak
ada yang beririgasi teknis. Sementara lima desa lainnya, tetap akan
dipertahankan sebagai penghasil rambutan tangkue, khas Lebak.
* * *
MARAKNYA pembebasan lahan di Maja, ternyata mengundang pula
spekulan tanah datang ke daerah itu. Orang-orang berduit dari kota,
ikut menekan harga.
Mereka bekerja sama dengan calo setempat. Salah seorang di antaranya,
Sahlan (45) warga Cilangkap, menuturkan bahwa dia hanya mendapatkan
komisi. Uang itu diterimanya sebagai upah atas jasa yang diberikannya,
mencari tanah.
Menurut warga, seorang spekulan tanah asal Jakarta saat ini sudah
menguasai lebih dari 1.000 ha. Mereka tidak tahu untuk apa tanah itu
"diborong".
Menurut Ir Aan Kusdinar, Kepala Seksi Tata Ruang Bappeda Kabupaten
Lebak, tidak semua lahan yang dibebaskan developer adalah milik warga.
Sebagian merupakan tanah-tanah negara, di antaranya bekas perkebunan
karet yang telah habis HGU (hak guna usaha)-nya. Lahan itu dipergunakan
oleh dua developer yakni PT Argrindo Adyapratama dan PT Jabaragro
Nusatama, yang masing-masing memegang izin lokasi seluas 800 ha dan
400 ha.
Luas lahan bekas perkebunan yang turut dibebaskan itu, katanya,
sekitar 60 persen dari total luas izin lokasi yang dipegang dua
developer tersebut. "Sebagian lahan lain yang dibebaskan, juga
merupakan lahan tidak produktif," ujar Aan, didampingi Kabag Humas
Pemda Lebak, Tony Fathony BA.
Mendung tengah menggantung di Maja. Petani menganggur. Sementara
di depan mata lahan-lahan pertanian itu masih dibiarkan oleh pemilik
barusang developer perumahan-kosong. (mul/boy)
Foto:
Kompas/boy
MEMBURUH - Sebagian besar petani Maja kini menganggur setelah lahan
usaha dijual kepada developer perumahan. Ada yang beruntung menjadi
pedagang kerbau dan kambing. Ada juga yang menjadi buruh bangunan
atau mengerjakan apa saja asalkan bisa mendapat Rp 1.000/hari. Dua
petani tengah melintas di lahan kosong yang kini dikuasai developer.
Foto:
Kompas/boy
STASIUN MAJA - Angkutan kereta api adalah satu-satunya andalan warga
Maja ke Jakarta. Kesederhanaan stasiun Maja tidak mengurangi pentingnya
angkutan kereta api bagi warga.