Rabu, 14 November 2007

Papung Sicanang, Ronggeng Deli yang Masih Bertahan

KOMPAS - Sabtu, 12 Sep 1992 Halaman: 14 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 5639

Papung Sicanang
RONGGENG DELI YANG MASIH BERTAHAN

DARI jembatan yang melintas di atas Sungai Deli di kawasan
Sicanang, Desa Titi Sapu, Belawan, Sumut, sayup terdengar alunan
nyanyian dan irama musik. Makin dekat ke arah asal suara makin jelas
terdengar. Itulah irama musik yang mengiringi pantun lagu Melayu,
yang didendangkan seorang wanita.

Lagu dan irama itu, berasal dari satu grup kesenian. Mereka
berpentas di halaman samping salah satu rumah di Sicanang, sekitar
dua kilometer selatan Pelabuhan Belawan, atau 25 km utara Medan.
Warga sekitar dan pengunjung, menyebut kelompok musik ini dengan
nama papung. Sebagian lagi menyebut Ronggeng Deli.

Di lokasi yang dipagari gedek bambu setinggi dua meter, tiga
pasang pria wanita nampak berjoget diiringi irama Melayu. Di
sekeliling meja yang diduduki para pengunjung, mereka berjoget puas
di lantai tanah. Salah seorang di antara tiga wanita itu, terus
melantunkan pantun dalam lagu Melayu Deli.

Ada semacam keseragaman dari tiga pasang penari. Usia mereka
setengah baya. Mereka tidak nampak rikuh, meski ditonton lebih dari
20 pasang mata. Mungkin karena sebagian penonton seusia mereka, enam
penari itu bersikap cuek.

Beberapa wanita usia muda lainnya, tampak di beberapa bangku
bersama tamu pria setengah baya. Di atas meja nampak pula gelas, dan
beberapa botol minuman. Arena joget dan meja-meja itu, dilindungi
atap seng.

Lima orang wanita muda lain, bergerombol duduk di dekat pintu
masuk tanpa atap. Di jari tangan sebagian dari mereka, terselip
rokok.

Tarian terus berlangsung, dan bersamaan dengan itu terlihat
pasangan pria jangkung dengan kepala botak sekali-kali berputar-
putar. Salah satu tangan mereka saling bergandeng.
"Bapak dan ibu itu, memang sering hadir di sini. Mereka sudah
menjadi tamu langganan.........," ujar seorang wanita yang duduk di
sebelah. Sebut saja namanya Debi (21).

HALAMAN samping rumah tempat papung mentas, terletak di kawasan
Sicanang. Rumah itu sekitar satu kilometer dari pertigaan Sicanang-
Belawan. Konon grup papung di Sicanang, satu-satunya kesenian khas
Melayu yang masih bertahan di Medan dan sekitarnya.

"Papung masih bisa bertahan, dan bisa mentas setiap malam. Di
sini kan neraka. Lingkungan sekitar tidak peduli terhadap segala
macam keadaan. Di tempat lain, jangan harap bisa hidup, karena sulit
diterima lingkungan," ujar salah seorang ibu di tempat pementasan
Ronggeng Deli itu.

"Neraka" yang dikatakan ibu berusia sekitar 45 tahun itu,
mungkin dikaitkan dengan lingkungan Sicanang sendiri. Rumah papung
memang hanya berjarak sekitar 100 meter, dari rumah-rumah wanita
penghibur di pinggiran Sungai Deli. Segala jenis lagu dangdut dan
lainnya, terdengar memekakkan telinga.

Namun lingkungan yang cuek, tidak cukup untuk membuat Ronggeng
Deli bisa bertahan. Sedikit "kekuatan" dan kemampuan pengelolanya,
sangat diperlukan untuk membuat pementasan tetap berlangsung. "Kalau
tidak kuat ini-nya, jangan harap bisa membuat papung bertahan," ujar
ibu tadi, sambil memainkan jari tangan. "Kekuatan" itulah yang
membuat papung Sicanang bisa bertahan selama 11 tahun.

Beberapa grup papung yang rontok di beberapa tempat di Medan
dan sekitarnya, seperti di kawasan Glugur dan Ampelas beberapa tahun
lalu, konon karena kurang didukung "kekuatan" itu. Karena selain
tidak diterima lingkungan, backing yang kurang kuat membuatnya tidak
dapat lama bertahan. Keamanan menjadi faktor penting, karena papung
saat ini tidak lepas dari minuman keras. Pengunjung teler dan
membuat keributan, bisa membuat papung terusir.

GRUP musik Ronggeng Deli di Sicanang terdiri dari tiga orang,
tanpa penyanyi tetap. Oleh pemilik rumah, menurut Debi, mereka
dibayar masing-masing Rp 5.000 per malam. Tiga orang itu masih
mendapat tambahan pula, dari tip yang diberikan pengunjung.

Pemilik rumah sekaligus warung berani membayar, karena dia
mengambil keuntungan sedikit dari minuman yang dijual, di banding
harga pasaran. Selain bir dan minuman ringan, minuman keras khas
daerah setempat pun, seperti cap Kambing Putih (Kamput) dan Kambing
Merah (Kamer) turut dijual. Bahkan dua jenis minuman dengan
kandungan alkohol tinggi itulah, yang paling laku dan disukai
pengunjung.

Sedang pengunjung wanita, baik yang menyumbang lagu atau yang
diajak joget, setiap malam hampir yang itu-itu juga. Mereka juga
mendapat penghasilan, dengan turut menghibur pengunjung pria.
Biasaya pengunjung pria yang mengajak joget, memberi tip. Kalau
ada kecocokan, kencan berlanjut.

Alunan perpaduan tiga jenis alat musik, terus mengalun membelah
malam. Gesekan biola, ditambah gendang dan akordian, begitu padu
mengiringi para pengunjung menari. Irama Melayu yang didendangkan,
menggelitik memancing kaki bergoyang mengikuti irama yang dimainkan.

Pantun-pantun dalam lagu Melayu, menambah romantis suasana.
Irama musik dan lagu seperti itulah, pemikat kedatangan
pengunjung yang kebanyakan orang berusia setengah baya asal Medan,
sekadar menikmati kesenian khas daerah itu.

Mungkin mereka ingin bernostalgia dengan irama lagu Melayu
Deli. Karena jarak Medan tidak jauh dari Sungai Deli, papung mencoba
bertahan, di tengah gempuran berbagai bentuk kesenian yang konon
lebih modern. Meski tempat yang cocok untuk bertahan itu hanya di
daerah pinggiran, jauh dari hingar bingar kota. (agus mulyadi)

Foto : 1 buah.