Rabu, 14 November 2007

Tiada Nasi, Singkong Rebun Pun Jadi

KOMPAS - Rabu, 02 Sep 1998 Halaman: 9 Penulis: MUL Ukuran: 3543
TIADA NASI, SINGKONG REBUS PUN JADI
ORANG kecil, orang miskin selalu menjadi korban pertama. Ketika
harga-harga barang terus membubung seperti sekarang ini, mereka
jualah yang pertama tercekik kesulitan. Ketika harga beras melejit
keluarga-keluarga miskin terpaksa harus mengganti makanan pokok yang
selama ini dinikmatinya. Padahal yang namanya perut tidak bisa
menunggu. Segala akal dan cara dicari-cari, asal awak bisa bertahan
hidup.
Ibarat kata, tiada beras singkong pun jadi. Itulah prinsip hidup
sebagian warga Kedungdalem, Tangerang saat ini. Kendati terasa tidak
enak di perut, apalagi saat dikunyah di dalam mulut, keluarga Ny Riyah
(50) dan Ny Sukiyah (45) pada pekan lalu terpaksa harus memakan
singkong rebus untuk mengganjal perutnya. Nasi sudah sulit lagi
dikonsumsi dan cuma tinggal mimpi karena harganya semakin melangit.
Jangankan membeli, berpikir membeli beras pun tidak.
Hari Jumat (28/8) pekan lalu, Ny Riyah dan Ny Sukiyah menceritakan
nasib mereka berdua dan keluarganya di zaman sulit beras. Kedua ibu
yang masing-masing mempunyai empat dan enam anak itu mengaku,
keluarganya telah tidak lagi makan nasi. Keluarga mereka terpaksa
hanya mampu membeli singkong seharga Rp 600 per kg, untuk makan dua
hari itu.
Di pasar dekat kampung mereka, memang ada dijual beras. Namun
harga makanan pokok di pengecer sampai Rp 2.000 - Rp 3.000 per
kilogram. Mana tahan beli beras semahal itu.
Jadilah singkong, si ubi kayu menjadi pilihan mereka. "Singkong
itu kami rebus," kata Ny Riyah. Biar enak ditelan, ubi putih itu cukup
hanya diberi garam sebelum dimakan. Lauk pauk, ikan apalagi daging,
sudah lama dilupakan mereka.
Sebenarnya, suami kedua ibu itu bekerja sebagai buruh lepas di
industri "rumahan" kerajinan rotan di desanya. Upah yang bisa diterima
suami mereka, kata keduanya, konon Rp 50.000 per bulan. Uang sejumlah
itu zaman sekarang, cukup apa?
***
MAKAN singkong rebus, tentu saja tidak senikmat makan nasi. Karena
itu ketika ada kabar di Kedungdalem akan ada penjualan beras murah Rp
1.000 per kg, kedua ibu-ibu warga RT 007/RW 002 itu bergembira. Dalam
hati mereka, anak-anak akan makan nasi lagi.
Namun kegembiraan itu berubah menjadi rasa kecewa mendalam, ketika
mereka dan ratusan warga Kedungdalem lain mengetahui, beras murah OP
(operasi pasar) dari Dolog itu ternyata dijual kepala desanya kepada
seorang tengkulak. "Kami ingin makan nasi lagi. Makan singkong tidak
enak di perut, dan badan jadi lemas. Kami ingin beras murah dari Dolog
itu dibagikan kepada rakyat. Mendapat beras satu liter juga saya
senang," kata Ny Sukiyah.
Desa Kedungdalem dengan jumlah warga sekitar 4.000 jiwa merupakan
salah satu desa di Kabupaten Tangerang, yang mendapat jatah beras
murah OP dari Dolog. Desa itu dalam pengiriman Rabu pekan lalu,
mendapat jatah 3,5 ton beras.
Di Kabupaten Tangerang, beras murah kiriman Dolog ditujukan kepada
42.419 KK (kepala keluarga). Total jatah beras per bulan untuk keluarga
pra sejahtera di Kabupaten Tangerang itu sebanyak 424.190 kg. Penyaluran
bantuan beras murah itu, berlangsung selama sembilan bulan, terhitung
sejak Juli 1998. Rencananya masing-masing KK mendapat jatah 10 kg.
Namun kisah-kisah tentang orang-orang yang berhenti makan nasi
karena harga beras melangit belum akan berhenti. Masih banyak warga
di kampung-kampung atau desa-desa lain yang semakin sulit menemui nasi.
(mul)