Selasa, 13 November 2007

Mencari Pesanan dan Upaya Mengenalkan Batik Trusmi

KOMPAS - Minggu, 28 Mar 1993 Halaman: 5 Penulis: MUL Ukuran: 8429

MENCARI PESANAN DAN UPAYA
MENGENALKAN BATIK TRUSMI

"INI Mbak Yeyen kan?" ujar seorang pelayan wanita di salah
satu studio cuci cetak film di Cirebon, sambil menunjuk foto seorang
wanita yang akan diambil Kompas, setelah dicetak di tempat itu.

"Mbak Yeyen sering ke mari mencetak foto-foto batiknya," tambah
pelayan tadi.

Wanita yang ditunjuk tadi adalah Ny Yeyen Roswargita. Ibu tiga
orang anak berusia 32 tahun ini, konon satu-satunya wanita pengusaha
batik trusmi di Cirebon. Artinya, dia adalah seorang wanita yang
melahirkan dan mengelola sendiri usahanya. Baik mencipta motif baru,
memasarkan, dan mengelolanya. Kemandirian itu dimulai, ketika dia
bercerai dari suaminya tahun 1991 lalu.

"Setelah bercerai dari suami, saya memulai lagi usaha ini benar-benar dari nol.
Dengan modal berupa bantuan pinjaman dari seorang bapak angkat,
saya kembali meniti usaha ini dari bawah," ujarnya di show room miliknya
di kawasan industri batik trusmi, Cirebon. Yeyen sendiri menggeluti usaha
perbatikan sejak masih bersama mantan suaminya 12 tahun lalu.

Yeyen memulai usahanya pada tahun 1981 lalu bersama mantan
suaminya yang merupakan anak pengusaha batik trusmi, di tengah
lesunya usaha perbatikan saat itu. "Ketika kami memulai usaha,
industri batik trusmi sedang lesu. Namun saya melihat ada peluang
yang selama ini diabaikan pengusaha batik yakni membuat seragam
karyawan-karyawan instansi. Peluang itulah yang kemudian kami masuki
untuk memulai usaha," katanya.

Dengan menggunakan sebuah mobil milik mereka, Yeyen Roswargita
dan mantan suaminya berkeliling ke berbagai instansi. Tidak hanya di
kota-kota tingkat desa, tapi ke instansi tingkat propinsi dan pusat.
Tujuannya mencari pesanan seragam dari batik. Di sinilah kemampuan
Yeyen keluar. Kemampuan bagaimana meyakinkan pimpinan suatu instansi
untuk mau memesan seragam batik dari perusahaan mereka berdua Gunung
Jati.

KEMAMPUAN melobi Yeyen bisa dikatakan hanya belajar dari
pengalaman masa kecilnya. Sejak kelas enam SD, Yeyen yang anak putri
pertama dari enam bersaudara, sudah sering menawarkan karya foto
ayahnya yang berprofesi sebagai fotografer yang biasa memotret
acara-acara di berbagai instasi, kepada orang-orang yang wajahnya
terdapat dalam foto. Kepandaiannya makin bertambah setelah ia
bekerja sebagai pramuniaga di perusahaan optik di kota kelahirannya,
Bandung, sebelum dipersunting mantan suaminya.

"Tidak semua instansi yang kami datangi mau memesan. Tapi dari
beberapa pesanan yang ada, kami mulai usaha ini," katanya. Selain
itu Yeyen seperti membawa misi khusus untuk memperkenalkan batik
trusmi kepada masyarakat di luar Cirebon. Trusmi sendiri adalah nama
sebuah desa sentra batik yang terletak di Kecamatan Weru sekitar 8
km sebelah barat kota Cirebon. Meskipun motifnya terus berkembang,
tetapi dasar motif serta warnanya sepintas mirip dengan batik
Pekalongan, yaitu yang disebut batik pesisir.

Bisa dikatakan, berkat jasa Yeyen kalau kemudian misalnya PGRI
dan BKKBN Pusat menggunakan batik trusmi untuk karyawannya. Belum
lagi seragam instansi lain yang tidak terhitung banyaknya.

Terobosan untuk ekspor pun pernah pula dicobanya. Melalui
korespondensi, dia mendapat lampu hijau dari rekan di AS, Jerman dan
Inggris. Tapi Yeyen akhirnya terbentur berbagai urusan yang tidak
bisa ditembus.

Obsesinya menembus pasar luar negeri, membuat ibu muda ini
ingin sekali membangun museum batik trusmi. Maksudnya, untuk lebih
mengenalkan batik trusmi kepada para turis mancanegara yang
berkunjung ke Cirebon.

Dalam melobi untuk mencari order, wanita berambut lurus ini,
sedapat mungkin tidak menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan
pemesan. Bagi dia, produk yang dihasilkan harus sesuai dengan
contoh-contoh desain yang dibawa. Demikian pula kualitasnya. Dia
percaya kalau pesanan sesuai dengan kehendak pemesan, kalau sekali
waktu instansi yang bersangkutan membutuhkan seragam lagi, niscaya
akan kembali memakai produknya.

Yeyen sadar industri batik mempunyai banyak saingan. Sebut saja
umpamanya batik Pekalongan atau Solo, yang lebih mempunyai nama
dibanding batik Trusmi. "Tapi saya percaya batik trusmi mempunyai
kelebihan dan kualitas tersendiri. Kalau kita bisa meyakinkannya,
tentu orang mau memesannya."

Dalam hitungan tahun usaha berdua itu terus berkembang. Hingga
kemudian badai merontokkan rumah tangganya dua tahun lalu. "Gunung
Jati" pun kemudian dikelola suaminya.

YEYEN Roswargita sendiri ternyata tegar menghadapi cobaan itu.
Rontoknya rumah tangga, tidak merontokkan semangatnya. Dia kembali
ingin meniti usaha itu. Namun dia terbentur ketiadaan modal.
Dasar kemauannya keras, kendala modal tidak mematahkannya.

Yeyen berusaha mencari mitra atau pemberi bantuan modal. Untuk itu
dia membuat usulan mengenai bisnis yang akan digelutinya. Usulan itu
lalu dibawanya kepada beberapa orang bermodal. Sampai akhirnya salah
seorang dari mereka, yang disebutnya sebagai bapak angkat mau
memberinya modal.

Meski tidak besar, yakni Rp 10 juta, bantuan modal itu
disebutnya sebagai "pertolongan Tuhan". Dan Yeyen tidak menyia-
nyiakan kesempatan itu. Kembali dia berkeliling mencari pesanan.
Tidak hanya di Cirebon dan sekitarnya, tapi ke berbagai instansi di
Bandung dan Jakarta. Sekolah-sekolah pun tidak dilewatkannya.

Untuk meyakinkan pemesan dan sebagai bendera produk batiknya,
Yeyen memberi nama perusahaannya "Sinar Gunung Jati". "Bukannya saya
mendompleng nama perusahaan Gunung Jati yang sudah dikenal lebih
dulu. Saya pilih nama Gunung Jati, karena nama itu identik dengan
Cirebon," ujar Yeyen.

Kemampuan Yeyen untuk meyakinkan calon pemesan, kadang justru
merepotkan dia sendiri. Itu kerap terjadi untuk pesanan dalam partai
besar. Yeyen kadang tidak mampu memenuhi jumlah pesanan, karena
keterbatasan modal. Dia menyebutkan satu contoh ada pesanan untuk
seragam SD di Kabupaten Cirebon, sebanyak 100.000 potong. Namun yang
bisa dipenuhinya hanya 40.000 sehingga pemesan mengambil pula dari
perusahaan lain.

Modal besar sangat diperlukan karena untuk memenuhi pesanan
partai besar, bahan baku yang dibutuhkan akan sangat besar pula dan
waktu pengerjaan yang bertambah lama. Karena itu dia merelakan kalau
pemesan mencari perusahaan batik lain untuk menyelesaikan pesanan
persis dengan motif yang diciptakannya. Padahal datangnya pesanan
seragam itu sebenarnya murni usaha Yeyen.

Untuk pesanan partai besar ini, dia bisa melibatkan lebih dari
20 orang penduduk sekitar yang berprofesi sebagai penjahit. Mereka
dilibatkan dengan upah sesuai kontrak, sehingga tidak mempunyai
ikatan dengan "Sinar Gunung Jati". Sedangkan untuk mengelola
perusahaannya, tenaga kerja yang terlibat 14 orang.

Yeyen menerima pesanan pula dari berbagai butik di Jakarta,
Bandung dan Cirebon sendiri, serta dari bermacam orang yang tertarik
dengan motif-motif batik kreasinya. Pesanan itu terus mengalir,
karena dia tidak hanya menunggu. Yeyen masih pula keluar masuk
instansi atau butik, menawarkan karyanya.

Dari hasil keringatnya, kini ibu muda yang merangkap ayah ini,
mempunyai show room sendiri di kawasan Trusmi. Bagian belakang
gedung itu juga menjadi tempat pembuatan batik dan di bagian lainnya
ditinggali Yeyen bersama dua anaknya. Sedangkan anak pertamanya yang
berusia 13 tahun, masuk pesantren di Solo, Jateng.

Saat ini produksi batik yang dihasilkan untuk pemesan mencapai
nilai sekitar Rp 30-Rp 40 juta per bulan. Sedangkan dari penjualan
langsung di show room-nya, paling tinggi Rp 500 ribu per hari.

Sebagai manusia adalah wajar saja jika Yeyen ingin terus
mengembangkan usahanya. Misalnya, dengan membuka show room di Jakarta,
yang akan menjadi tempatnya memajang dan memasarkan berbagai motif
baru hasil kreasinya. Namun dia sadar, untuk itu dibutuhkan modal
tidak sedikit. Karena itu dia berusaha memperkuat akar bisnisnya di
Cirebon dulu. "Siapa sih yang tidak ingin maju." (mul)

Teksfoto:
Kompas/mul
PERHATIAN -- Di tengah kesibukan yang menyita hari-harinya sebagai ì
pengusaha batik, Ny Yeyen Roswargita tetap menyempatkan diri mengasuh ì
sendiri anak bungsunya yang berusia dua tahun.