KOMPAS - Rabu, 03 Apr 2002 Halaman: 17 Penulis: mul Ukuran: 3257
MENUNGGU GAJI DIBAYAR MASAK NASI DI DKK
SEKITAR 100 buruh pabrik PT Indolim Utama Garment di Jalan Nambo
Raya, Kota Tangerang, Selasa (2/4) siang terlihat tidur berimpitan di
lantai mushala Dinas Ketenagakerjaan dan Kependudukan (DKK) setempat.
Raut wajah buruh yang semuanya perempuan itu umumnya tampak kuyu dan
lelah.
Sementara di halaman Gedung DKK, bergerombol pula ratusan buruh
lainnya. Raut mereka sama, kuyu dan lelah. Raut muka orang-orang
kecil itu terkesan pasrah.
Poster-poster berisi tulisan kecaman terhadap pihak manajemen PT
Indolim terpampang di dinding-dinding Gedung DKK. Sebagian poster
berisi tulisan yang bermaksud mengetuk hati pengelola PT Indolim agar
memperhatikan nasib sekitar 700 buruh yang sebagian besar kaum
perempuan itu.
Selasa kemarin merupakan hari kedua keberadaan mereka di Gedung
DKK dalam pekan ini. Pada pekan sebelumnya, selama tiga hari dua
malam mereka berada di Gedung DKK.
Mereka datang ke instansi yang mengurusi tenaga kerja di Kota
Tangerang itu untuk mencari bantuan dan menuntut keadilan. Para buruh
itu merasa diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil oleh pihak
manajemen PT Indolim.
"Gaji kami bulan Februari dan Maret belum dibayar. Kami sudah
tidak punya uang lagi, bahkan untuk makan sekalipun," kata Wati,
salah seorang buruh perempuan.
Upah terakhir yang mereka terima pada Januari 2002 jauh di bawah
ketentuan upah minimum kota (UMK) Tangerang. Selama sekitar dua
tahun, para buruh pembuat celana itu hanya menerima upah Rp 300.000
per bulan. Padahal, UMK Tangerang 2002 telah ditetapkan Rp 590.000
per bulan. Bahkan, buruh PT Indolim tidak menikmati UMK 2001 sebesar
Rp 426.500.
Meskipun sudah tidak punya uang, buruh PT Indolim memaksakan diri
berjuang menuntut hak mereka dengan mendatangi DKK Kota Tangerang.
Padahal, agar tiba di tempat itu, mereka butuh uang untuk ongkos
angkutan umum. Selama berada di DKK pun mereka harus makan dan minum.
"Kami datang ke sini masing-masing berbekal satu liter beras.
Kami memasak di sini dengan lauk seadanya, seperti tempe, yang dibeli
dengan cara patungan. Mandi pun kami harus antre bergantian. Sebagian
teman malah tidak mandi," ujar seorang buruh perempuan.
KEPALA Sub-Dinas Tenaga Kerja DKK Kota Tangerang Adang Turwana
menyebutkan, pihak pengusaha sudah menyerah karena mengaku order
garmen sedang sepi.
Dikemukakan, tanah dan gedung tempat pabrik berdiri ternyata
bukan aset PT Indolim. Kompleks pabrik itu disewa dari pengusaha
lain. Biayanya untuk delapan bulan sebesar Rp 500 juta belum dibayar.
Aset yang dimiliki pengusaha tinggal ratusan mesin jahit. Seandainya
dijual, harganya pun tidak lebih dari Rp 500 juta pula.
Berkaitan dengan masalah buruh PT Indolim, Adang mengaku telah
mengirimkan surat ke berbagai pihak, seperti Menteri Perindustrian,
Menteri Tenaga Kerja, Menteri Kehakiman dan HAM, dan Wali Kota
Tangerang. Isi surat berupa pemberitahuan tentang kondisi sebenarnya
PT Indolim dan yang dialami buruhnya. "Saya juga telah mengirimkan
surat kepada pengusahanya agar membayar ratusan buruhnya yang kini
telantar," ucap Adang. (agus mulyadi)