Senin, 12 November 2007

Munggahan, Marpangir, dan Musik Sahur

KOMPAS - Selasa, 14 Feb 1995 Halaman: 10 Penulis: MUL/DMU/THY/SP/MBA Ukuran: 9898
MUNGGAHAN, MARPANGIR, DAN MUSIK SAHUR
Pengantar Redaksi:
BERBAGAI macam tradisi menjelang dan selama bulan Ramadhan,
banyak dilakukan oleh masyarakat. Berbagai kegiatan yang sudah
mentradisi itu bisa mencakup ihwal makan, mandi, maupun bermusik.
Berikut disajikan sejumlah kegiatan yang mentradisi di beberapa
daerah. Red
MENYAMBUT bulan suci Ramadhan yang penuh berkah, berbagai acara
dan tradisi dilakukan masyarakat Indonesia. Acara itu berbeda satu
dengan daerah lainnya, sedangkan yang hampir sama di tiap daerah,
adalah mengunjungi makam sanak keluarganya, yang biasanya mulai
dilakukan satu minggu menjelang datangnya bulan suci Ramadhan.
Munggahan menjadi acara tradisional dari Tasikmalaya untuk
menyambut datangnya bulan puasa, sementara mandi khusus dengan
sebutan marpangir biasa dilakukan masyarakat Tapanuli Selatan.
Selama bulan puasa, hampir di seluruh daerah, selalu dimeriahkan
dengan berbagai bunyian perkakas musik, seperti rebana, gendang,
kecrek dan lainnya untuk membangunkan orang makan sahur.
***
HARI Minggu, dua hari sebelum bulan Ramadhan, 20 orang
berkendaraan jip pergi ke luar kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Mereka
menuju perkebunan albasia di Kecamatan Kawalu, sekitar 10 km selatan
kota. Mereka kemudian membakar ikan-ikan mas dan setelah matang,
beramai-ramailah para anggota klub jip itu makan dengan lahapnya.
Acara makan-makan itu merupakan tradisi munggahan yang biasa
dilaksanakan sebelum puasa. Puncak tradisi biasanya dilakukan sehari
menjelang puasa. Sekelompok orang-orang atau gabungan dari beberapa
keluarga pergi ke suatu tempat sambil membawa makanan lalu makan-
makan di sana. "Pesta-pesta" kecil itu dilakukan untuk menyambut
bulan Ramadhan dan merupakan hari terakhir makan di siang hari
sebelum bulan puasa.
Selain menuju tempat-tempat yang agak menjorok ke luar kota,
warga Tasikmalaya dan Ciamis banyak yang memburu rumah-rumah makan
ikan bakar di luar kota. Mereka berkelompok dan makan munggahan di
rumah-rumah makan tradisional itu. Tidak ada yang istimewa dalam
tradisi itu. Hanya saja suasana dan rasa agak berbeda dengan waktu-
waktu makan biasa. Terutama bagi anak-anak, tradisi ini merupakan
persiapan mental dalam menghadapi bulan puasa.
Menurut KH M Ilyas Ruhiat, Rois Aam Syuriah Nahdatul Ulama,
munggahan hanyalah tradisi masyarakat yang boleh dilakukan asal
tidak bertentangan dengan ketentuan agama. Tradisi itu dilakukan
dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi puasa di bulan Ramadhan.
"Menghadapi bulan Ramadhan, sebaiknya mempersiapkan makanan-makanan
bergizi. Namun bukan berarti menghadapi bulan puasa berlomba-lomba
mengumpulkan makanan, bukan itu yang dimaksud," ujar KHM Ilyas.
Upaya-upaya ini hanya sebagai penunjang agar bisa melaksanakan
puasa lebih baik. Bagi anak-anak, upaya itu terutama untuk
merangsang mereka agar mampu belajar puasa. Anak-anak harus dibibita
(diberi dorongan semangat) untuk belajar berpuasa.
Berbeda dengan kebiasaan masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan,
Sumatera Utara, yang biasanya mandi khusus atau dalam bahasa
Mandailing disebut marpangir. Tujuannya tidak lain agar jasmani dan
rohani bisa benar-benar bersih saat memasuki bulan Ramadhan, selain
agar dapat melaksanakan ibadah puasa dengan sebaik-baiknya.
Agak mirip dengan mandi balimau" bagi masyarakat Sumbar, bahan-
bahan yang dipakai untuk marpangir antara lain jeruk purut, mayang
pinang, pandan wangi, sere wangi dan akar wangi. Bahan-bahan itu
direbus sampai airnya wangi dengan aroma menonjol wewanngian daun
pandan. Air rebusan itu lalu dicampur air biasa secukupnya.
Bagi masyarakat Tapanuli Selatan, marpangir juga dilakukan
menjelang hari raya Idul Fitri. Tujuannnya sama, agar jasmani dan
rohani yang melakukannya bisa bersih seterusnya sampai menjelang
bulan Ramadhan berikutnya.
***
MUSIK jalanan khas daerah ikut mewarnai kehadiran bulan puasa.
Di pesisir utara Jabar, Cirebon dan Indramanyu, dikenal nama obrog,
yakni membangunkan orang untuk makan sahur dengan membunyikan aneka
tabuhan. Mulai dari rebana, gendang, kecrek dan berbagai alat musik
lainnya, dibunyikan sekelompok orang sambil berkeliling kampung.
Alat yang digunakan, mulanya sangat khas pedesaan. Gendang
misalnya, dibuat sendiri dengan memanfaatkan batang pohon pepaya
yang dilubangi tengahnya. Lalu salah satu sisi ditutup dengan kain
bekas (jarit) yang direkat tanah lempung di seputar lubang. Namun
kini dengan "modernisasi", gitar, seng bekas dan bahkan karaoke
berpengeras suara pun digunakan. Pokoknya, ditambah teriakan
"sahur...sahur", ditanggung ampuh untuk membangunkan orang tidur.
Kalaupun masih tak bangun juga, yah...keterlaluan.
Agar tak monoton, sejumlah kelompok obrog akan menambahinya
dengan suguhan atraksi menarik, seperti membawa wewe (semacam ondel-
ondel Betawi), tiruan binatang seperti burung atau ular, bahkan
topeng. Di malam-malam bulan puasa ini, para penduduk yang sudah
bangun biasanya menyempatkan diri untuk sejenak melihat mereka.
Kelompok-kelompok obrog itu, biasanya satu hari menjelang
lebaran atau pada hari lebaran, akan "menagih" hasil kerja mereka.
Kelompok-kelompok ini akan keliling kampung untuk mendapatkan "upah"
baik berupa kue lebaran, beras, atau uang. Tergantung pemberi.
***
Kota Sumenep di Madura dirasakan menjadi gaduh oleh suara aneka
alat musik tradisional dan modern. Beragam jenis musik pun digelar,
mulai dari dangdut, qosidah sampai rock, tergantung siapa yang
memainkan. Meski tak seramai tahun 1980-an, tidak sedikit orang yang
terlibat dalam musik sahur ini.
Justru keberadaan musik sahur ini, telah mengilhami banyak
orang untuk kreatif memilih dan menggunakan alat musik yang akan
dipakai. Bahkan, tidak jarang keberadaan alat musik "kuno" seperti
accordion, cello atau bas jegug, jadi dominan dalam musik sahur ini.
"Selain harganya murah, merawatnya juga relatif gampang. Jadi,
katakan tidak dipakai sama sekali dalam setahun, masih bisa
dipakai," ujar Sumari (43), pemijit accordion musik sahur di Desa
Marengan Daya, Kecamatan Kota Sumenep.
Kebutaan sejak kecil tak membuat Suparno ragu untuk terlibat
dalam musik sahur. Sebab, dia punya kelebihan khususnya dalam
menabuh gendang. "Kalau urusan nabuh gendang, dia itu pakarnya,"
ujar Suatlan (23), anggota rombongan Sumari.
Keterlibatan Suparno dalam musik sahur datang tiba-tiba,
menyusul sakitnya pemain gendang kelompok Sumari. Tiga hari Sumari
kehilangan suara gendang yang menjadi daya tarik utama dalam
memainkan lagu dangdut. "Saya coba mengajak Suparno. Ternyata mau,
dan hanya dalam dua tiga hari dia bisa main dengan baik," ujarnya.
Musik sahur di Sumenep mulai digelar sekitar pukul 01.30.
Mereka biasanya berkumpul di perempatan jalan atau tempat strategis
lain seperti gardu jaga, menunggu anggota sambil memadukan alat
musik yang dibawanya. Satu kelompok, bisa terdiri 10 - 20 orang.
Jika seluruh anggota sudah hadir, mereka mulai memainkan musik
sesuai dengan kebiasannya. Meski sebagian besar memainkan musik
dangdut, tak jarang bila sebagian besar pemainnya anak muda juga
memainkan musik pop atau rock. Bagi yang sedikit "kaya", mereka
menyewa seperangkat mesin pengeras suara.
Dari perempatan jalan, masing-masing kelompok dengan rute
tertentu, mulai keluar masuk kampung lewat jalan kecil yang kadang
berlumpur. Masing-masing kelompok berusaha untuk tidak bertemu,
apalagi berhadapan.
Sebab, hal itu juga berkaitan dengan rezeki bagi masing-masing
dan kepercayaan dari warga terhadap rombongan itu. Di depan rumah
salah seorang warga, rombongan Sumari berhenti sebentar. Dari rumah
itu keluar seorang wanita membawa nampan berisi bermacam makanan.
"Ini makanan yang tidak habis dimakan sewaktu berbuka. Daripada
dibuang, lebih baik diberikan kepada kami sekadar untuk mengganjal
perut," ujar Suatlan.
Bahkan, tak jarang ada warga yang sengaja mengundang mereka
untuk sahur di rumahnya. "Kalau ada rezeki apa salahnya kita
mengundang mereka makan sahur bersama," ujar Haji Adenan (57).
Kebiasaan memberi makanan bagi pemusik sahur, menjadi salah
satu alasan mengapa musik sahur di pinggiran kota Sumenep tetap
bertahan sampai sekarang. Bagi orang seperti Sumari dan Suparno
misalnya, keberadaan musik sahur memberi kesibukan ekstra yang
menguntungkan diri sekaligus warga desanya.
Para pemusik sahur, umumnya anak muda yang tidak punya banyak
kegiatan di siang hari dan pemimpinnya lebih banyak orang tua yang
berasal dari golongan ekonomi lemah. Potensi konflik para pemuda
diredam dengan cara menghindari pertemuan langsung dua kelompok
musik itu.
***
BERBEDA di lingkungan masyarakat Aceh, para pemudanya biasanya
jarang tidur malam di rumah selama bulan puasa. Mereka berkumpul di
meunasah (langgar), yang juga digunakan sebagai tempat berkomunikasi
sesama mereka.
Meunasah merupakan pusat informasi bagi masyarakat desa. Di
meunasah ada pengajian, ada tengku dan ustad yang mengajarkan
berbagai masalah agama dan cara beribadat. Berbagai peristiwa yang
terjadi di desa pasti menjadi berita dan bisa didengar ceritanya di
meunasah.
Mulai dari peristiwa sehari-hari yang menimpa warga desa,
masalah untung rugi dalam bertani di sawah atau di kebun, sampai
urusan politik luar negeri, misalnya perang Bosnia, Saddam Husein
dan berbagai informasi tentang perkembangan dunia setiap hari
beritanya bisa didengar di meunasah. Sumbernya dari berita TV dan
radio. Apalagi setelah antene parabola masuk ke desa dewasa ini.
(mul/dmu/thy/sp/y/mba)