Rabu, 14 November 2007

Mereka Bekerja Keras, Juga Mengecat Rambut

KOMPAS - Minggu, 18 Nov 2001 Halaman: 14 Penulis: mul; arn; ody Ukuran: 8814 Foto: 1
MEREKA BEKERJA KERAS, JUGA MENGECAT RAMBUT

DI tengah himpitan kesulitan ekonomi dan tekanan sistem
perburuhan yang eksploatatif, para perempuan buruh masih mencoba
menikmati sejumlah kesenangan yang bisa direguk. Kehidupan buruh
tidak melulu harus berupa jiwa yang teralienasi. Mereka, masih sempat
merias wajah dan ke salon.

Marni (39), pekerja pabrik garmen PT Kencana Indah Garmenindo
(KIG), Tangerang, terlihat "paling menonjol" di antara kerumunan
teman-temannya. Kulit mukanya putih oleh make up pemutih. Alisnya
melengkung hitam dengan potlot alis. Dia mengenakan baju berwarna
biru muda terang-berbeda dibanding teman-temannya yang warna bajunya
banyak yang kusam.

"Kami biasanya membeli baju dengan angsuran. Tidak ada waktu
khusus kapan beli bajunya. Kalau ada teman menjual yang cocok selera,
ya saya beli," kata Marni, yang sudah bekerja selama 12 tahun di
pabrik itu sebagai tenaga potong kain (cutting). Ia kini tengah
menghadapi kesusahan karena sekitar satu setengah bulan terakhir dia
terkena PHK (pemutusan hubungan kerja).

Dalam pengalamannya bekerja di pabrik, selalu ada saja di antara
sesama pekerja perempuan yang sepabrik jumlahnya total 800 orang itu,
menawarkan baju. Harganya katanya berkisar antara Rp 40.000-Rp
50.000, diangsur dalam tiga-empat kali pembayaran. Mekanisme
mengkredit barang itu-dari barang kebutuhan rumah tangga sampai
pakaian-merupakan cara yang umum dilakukan para buruh untuk
mendapatkan sesuatu yang diidamkannya.

GAJI para pekerja pabrik seperti ini biasanya sekitar Rp 500.000
(jumlah itu biasanya sudah ditambah uang lembur). Jadi, memang bisa
dibayangkan bagaimana harus mencukup-cukupkan uang itu untuk
kebutuhan sehari-hari.

Nana (24), buruh pabrik PT Kumatex, Cikokol-Tangerang, mengaku
gajinya per bulan bahkan tidak sampai Rp 500.000 (UMR Rp 426.500
ditambah dengan uang lembur). Biasanya gaji tadi langsung habis, tak
bisa menabung. "Jangankan menabung, kadang makan pun ngebon,"
katanya. Untuk makan tiga kali sehari, rata-rata Nana menghabiskan
antara Rp 8.000-Rp 10.000. Belum lagi membeli kebutuhan mandi,
pembalut, pakaian, arisan, dan membayar angsuran kredit barang.

"Saya memang tidak menabung, tetapi saya ikut arisan. Tiap bulan
Rp 10.000 dan dapatnya Rp 400.000. Pernah saya ikut arisan yang Rp
50.000 per bulan, dapatnya juga lumayan, bisa Rp 1 juta. Tetapi
lama-lama terasa berat. Setelah putarannya habis, saya tidak mau ikut
lagi," tutur Nana.

Ia mengaku, setiap bulan menghabiskan dana sekitar Rp 50.000
untuk hobi berdandannya. Uang itu dipakainya untuk membeli lipstik,
pinsil alis, minyak wangi, dan creambath atau potong rambut. "Semua
itu tentu tidak berbarengan dalam satu bulan saya lakukan. Kalau
bedaknya masih ada, ya tidak beli lagi. Begitu juga untuk minyak
wangi dan urusan rambut. Misalnya bulan ini saya potong rambut,
berarti bulan depan saya creambath," cerita Nana, janda dengan satu
anak.

"Kalau tidak buat ini lalu buat apa lagi? Anak saya ditanggung
kakak. Paling-paling saya hanya memberikan Rp 50.000-Rp 75.000 untuk
tiap bulannya. Setelah itu apa lagi?" tambahnya.
Adakah berdandan karena ingin mendapat suami lagi? Nana tertawa.
Katanya, "Orang sudah dandan aja belum dapat, apalagi tidak dandan."

ERLIN (23), buruh pabrik lampu PT Osram, Tangerang, yang saat ini
sedang tidak bekerja karena terkena PHK, mengaku dengan menjadi buruh
di Tangerang dia menikmati kebebasan sebagai "anak kos". Dia berasal
dari Kediri (Jatim), dan hijrah ke Tangerang karena tak ada lagi
lowongan kerja di kota asalnya. Sebelum mendapat pekerjaan di
tangeran, dia memang menumpang di rumah teman. Namun setelah bekerja,
dia memutuskan kos sendiri.

"Malu kalau menumpang terus-menerus.
Sudah punya uang sendiri, kok masih nebeng," katanya.

Dengan indekos sendiri dia mengaku lebih bebas, bisa mengatur
kamarnya sendiri seperti apa, tidak ada yang melarang. "Kalau dulu,
namanya ikut orang, mau meletakkan baju di lemarinya saja takut dan
khawatir," tuturnya.

Gajinya per bulan katanya Rp 540.000 termasuk uang lembur.
Diakuinya, gaji itu sering tidak cukup. "Tetapi saya bisa utang dulu
kepada teman. Yang penting saya tidak merepotkan orangtua," katanya.
Ia mengaku hidup dengan sangat berhemat. Katanya,

"Saya memilih kos yang paling murah, hanya Rp 450.000 per bulan.
Saya juga jarang pergi-pergi ke mal atau supermarket.
Hiburan yang saya lakukan hanya nonton TV di rumah tetangga,
ngobrol, atau tidur. Lagi pula, pulang kerja rasanya badan sudah
capek sekali, sehingga malas untuk keluar."

Untuk mengurus kecantikan katanya dia juga tidak mengeluarkan
banyak uang. Sehari-hari dia memakai bedak wajah bermerk Pixy dan
bedak bayi untuk tubuh. Baju yang dikenakannya dibeli di pasar dekat
rumah atau kredit pada teman.

INI tentang Nana (25) yang lain lagi, buruh pabrik garmen PT KIG.
Dia saat ini juga tak jelas nasibnya, karena pabrik tempatnya bekerja
berhenti berproduksi. Saat itu Nana bersama sejumlah temannya berada
di "posko" perjuangan buruh PT KIG, menunggu masalah PHK-nya
selesai.

Selama bekerja di pabrik garmen yang memproduksi berbagai jenis
baju, jaket, dan T-shirt merek-merek terkenal seperti Nike dan Adidas
itu, Nana mengaku hidup cukup bagi ukurannya. "Saya bisa mengontrak
kamar bersama teman, makan cukup, dan punya uang untuk jalan-jalan ke
mal," kata Nana yang berasal dari Rangkasbitung, Banten.

Selain kontrak kamar Rp 40.000 per bulan, pengeluaran Nana yang
jumlahnya tidak sedikit katanya adalah kosmetik. Wanita lulusan SMP
ini mengaku selalu memakau bedak merek Sari Ayu yang dibelinya dengan
harga Rp 20.000. Untuk pemerah bibir, dia biasa menggunakan merek
Avon seharga Rp 25.000. "Saya beli di mal di de-kat tempat kos,"
katanya.

Penampilan Nana memang tidak ketinggalan zaman. Saat ditemui di
poskonya tadi, dia mengenakan celana jeans dan T-shirt ketat.
Bibirnya dipoles pemerah, sementara rambutnya yang sebahu diikat ke
belakang.

Bagi Nana, perubahan hidup ke arah lebih baik katanya akan datang
dengan sendirinya jika waktunya tiba. Apakah itu kalau ada lelaki
yang datang padanya nanti, seorang calon suami dengan penghasilan
cukup? Nana hanya tersenyum manis.

ODAH (30), perempuan beranak satu, merasa harus ikut menghidupi
keluarga bersama suaminya, seorang pedagang buah-buahan keliling.
Mengenai penghasilan suaminya dia berucap, "Tidak tentu. Kadang-
kadang dia mendapat untung, kadang-kadang tidak."

Dia mengaku sudah bekerja di PT KIG selama sekitar 10 tahun. Dia
bekerja sekuat tenaga, ber-usaha agar anak tunggalnya bisa terus
bersekolah. "Anak saya sudah kelas tiga SMP. Saya menikah waktu
berumur 12 tahun," katanya.

Karena kebutuhan rumah tangga yang tinggi, ia mengaku sudah tak
punya waktu lagi untuk memperhatikan penampilan dirinya. "Semua gaji
saya habis untuk keperluan sehari-hari. Saya hanya kadang-kadang saja
beli baju, celana, atau keperluan lainnya," kata Odah.

DI tengah kehidupan para wanita buruh ini, ada berbagai usaha
untuk menarik mereka, termasuk salon seperti Salon Siska, milik
seorang lelaki yang lebih suka dipanggil Siska. Salon berukuran 3x3
meter yang menempati sebuah rumah di belakang pabrik lampu Osram ini
memajang poster bermacam model rambut untuk dipilih oleh para
pelanggannya. Katanya, sehari dia bisa melayani sampai 10 buruh
pabrik.

Para pelanggan ini kata Siska tidak hanya datang untuk memotong
rambut, tetapi juga me-ngecat rambut dengan berbagai warna seperti
tengah menjadi trend sekarang.

"Mengecat rambut memang tidak semua, tetapi ada saja yang senang
rambutnya dicat. Memang tidak semua dibuat berwarna, cuma
sedikit-sedikit saja. Mereka kan juga ingin tampil modis dong.
Zamannya kan sudah lain," kata Siska kemayu.

Dengan setting itu semua, kita memang bisa melihat satu dua
wanita buruh yang tidak saja berpenampilan modis, tetapi juga dengan
rambut dicat, mungkin warna pirang. Mereka menjadi kelompok yang
tidak hanya spartan dengan kerja kerasnya, tetapi juga bergaya.
(agus mulyadi/arn/ody)

Foto: 1
Kompas/agus mulyadi
JAJAN - Sejumlah buruh perempuan di salah satu pabrik di Jl Imam
Bonjol, Kota Tangerang, membeli aneka jajanan yang sengaja datang ke
depan pabrik mereka. Jajanan pada saat istirahat, serta segala macam
kebutuhan hidup lain, harganya harus sesuai dengan kemampuan isi
dompet mereka.