Senin, 12 November 2007

Liburan di Gunung Ciremai, Jangan Tinggalkan Apa Pun Kecuali Jejak Kaki

KOMPAS - Senin, 04 Jul 1994 Halaman: 12 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 11220 Foto: 1
Liburan di Gunung Ciremai
JANGAN TINGGALKAN APAPUN,
KECUALI JEJAK KAKI.......
MENDAKI tanpa meninggalkan bekas, kecuali jejak tapak kaki.
Begitu bunyi salah satu "komitmen" para pendaki gunung di mana pun.
Tetapi janji tidak tertulis itu tampaknya tidak berlaku untuk
pendaki Gunung Ciremai, sebuah gunung tertinggi di Jawa Barat dengan
ketinggian 3.078 meter dpl (di atas permukaan laut).
Janji tidak tertulis para pendaki gunung -- yang notabene
adalah pencinta alam -- dilanggar sendiri oleh sebagian pendaki
Gunung Ciremai. "Pelanggaran komitmen", misalnya, terlihat jelas
dari berserakannya berbagai jenis sampah, seperti di jalur pendakian
melalui rute Desa Linggajati, Kabupaten Kuningan.
Di sepanjang jalur yang paling ramai dilalui pendaki Ciremai
itu, tampak serakan kertas koran, kantung plastik, bungkus mie,
sampai karton bungkus fast food. Pada musim pendakian masa liburan
sekolah seperti saat ini, serakan sampah menjadi pemandangan yang
umum mewarnai kegiatan pendaki Ciremai.
Mungkin akibat kurang dipahaminya arti cinta alam oleh
sebagian pendaki Ciremai, terjadilah pelanggaran terhadap komitmen
tidak tertulis lainnya. Perusakan, meski dalam skala kecil, menimpa
sejumlah jenis flora di gunung itu. Salah satu yang termasuk
"incaran perusakan" adalah bunga edelweis.
Bunga abadi itu menjadi sasaran sebagian pendaki Ciremai yang
sampai di kawasan puncak dan kawah. Tangkai bunga dipatahkan. Bahkan
tidak sedikit, terutama pendaki dari kalangan pelajar setingkat SMP,
yang mematah-matahkan ranting hanya sekadar untuk memetik bunga
puncak gunung tersebut.
* * *
PADA masa liburan sekolah, sebagian siswa mengisinya dengan
menelusuri belantara gunung. Dan sebisa mungkin, bagian tertinggi
didatangi. Salah satu sasaran "anak-anak gunung" adalah Gunung
Ciremai yang terletak di wilayah timur Jawa Barat. Gunung yang masih
aktif itu dibanjiri sejumlah siswa dari berbagai penjuru kota dan
daerah. Mereka tidak hanya berdatangan dari daerah sekitar seperti
Cirebon, Kuningan, Majalengka, dan Indramayu tetapi juga dari
Jakarta dan Bandung.
Para pendaki mulai dari yang masih bau kencur (dengan usia di
bawah 15 tahun) sampai sekitar 30-an tahun, datang dan mendaki dalam
jumlah rombongan besar dan kecil. Sebagian besar dari mereka
langsung mendaki, sementara sebagian lainnya melengkapinya dengan
berkemah di kaki gunung. Dua lokasi perkemahan ini di antaranya
adalah kawasan hutan pinus Cibonar, Linggajati dan Palutungan,
Kuningan.
Dua lokasi perkemahan ini juga menjadi awal pendakian. Jalur
teramai menuju puncak adalah dari Linggajati. Data yang tercatat di
pos Linggajati, sejak awal liburan 12 Juni 1994 lalu, sampai dengan
29 Juni 1994, sudah lebih dari 4.000 orang yang mendaki. Sedangkan
jalur Palutungan tidak begitu ramai dilalui, seperti halnya jalur
dari Maja, Kabupaten Majalengka.
Alasan pendaki, jalur Linggajati relatif lebih pendek. Padahal
jalur Linggajati harus melalui medan berat dan curam. Di sepanjang
perjalanan, lokasi pendakian menanjak sampai kemiringan sekitar 70
derajat. Waktu normal yang harus ditempuh pendaki sampai puncak --
dengan diselingi istirahat hanya beberapa menit -- mencapai sekitar
10 jam.
Tetapi, sepanjang pendakian Sabtu (18/6) malam, Kompas
menjumpai pula para pendaki yang tergeletak tidur di sejumlah
lokasi, baik di dalam tenda, kantung tidur (sleeping bag), maupun di
tempat-tempat terbuka. Ada yang memasang tenda di Blok Kuburan Kuda
(ketinggian sekitar 1.000 m), Binbin, Bapak Tere, Batu Lingga (2.200
m), Sanggabuwana, atau Pengasinan (2.900 m).
* * *
DALAM buku "Data Dasar Gunung Api Indonesia", Gunung Ciremai
sama seperti Gunung Slamet di Jateng adalah gunung berapi yang
berdiri sendiri (soliter), yang menguasai pemandangan hingga jauh di
sekelilingnya.
Kaki gunung di sebelah utara, meluas di kiri-kanan Pegunungan
Kromong Lama hingga jauh di daratannya. Kaki gunung barat, selatan,
dan bagian timur, dalam perkembangannya tertahan oleh daerah
pegunungan tersier yang mengelilinginya.
Letak Ciremai terdapat di Tatar Sunda yakni Kabupaten Cirebon,
Kuningan, dan Majalengka. Nama lain Gunung Ciremai yang bertipe
gunung api strato ini adalah Cereme, Cerme, dan Careme. Di puncak
gunung ini terdapat tiga kawah bernama Kawah Barat, Kawah Timur, dan
Gua Walet.
Gunung Ciremai pernah beberapa kali menunjukkan aktivitasnya
sebagai gunung api. Dalam buku itu disebutkan, pada tanggal 11-12
Agustus 1772 terjadi letusan di kawah pusat. Pada bulan April 1805
terjadi lagi letusan dari kawah, tetapi tidak sampai menimbulkan
kerusakan. Pada tahun 1917, dari dinding selatan terbang uap
belerang. Pada September 1924 tampak sebuah hembusan fumarol (gas
bercampur uap) kuat di bagian barat dari dinding pemisah.
Kemudian kegiatan letusan terjadi lagi antara 24 Juni 1937
hingga 7 Januari 1938. Penyebaran abu ketika itu mencapai daerah
seluas sekitar 52,5 km persegi. Pada permulaan tahun 1955 terjadi
gempa bumi tektonik, yang menimbulkan kerusakan beberapa rumah di
sekitar Kawedanan Cilimus, tanpa mempengaruhi kegiatan magmanya.
Dalam buku itu disebutkan, cara mencapai kawah puncak Gunung
Ciremai bisa dilakukan dari barat yaitu melalui Cipanas (1.100 meter
dpl), sebuah kampung di Kecamatan Maja, Majalengka, di perkebunan
teh Argalingga. Pada ketinggian 1.908 meter dpl, pendaki akan
menemukan pertigaan menuju Kuningan dan Gandasoli. Setelah itu baru
dicapai batas hutan Kijamuju yakni Sanghyang Bangkai. Di lokasi ini
pendaki biasanya melakukan upacara memohon keselamatan terlebih
dahulu, sebelum melanjutkan ke puncak.
Pendakian kemudian (setelah berjalan 4,5 jam) akan sampai di
Gua Walet, sebuah gua kecil yang menyerupai terowongan lava yang
telah ambruk. Dari gua ini bisa dicapai kawah di pilar triangulasi
3.056 meter dpl. Sedangkan titik tertinggi Sunan Cirebon berada pada
pilar triangulasi 3.078 meter dpl.
Sedangkan pendakian melalui Linggajati (580 m) dapat dilakukan
melalui Lingga (2.300 m) -- yang dianggap keramat -- hingga pilar
triangulasi 3.027 m. Dari tempat ini, untuk menuju ke Gua Walet
harus melewati bagian tepi kawah sebelah selatan.
Namun, menurut pendaki Wirjosumarto dan Abdulpatah -- yang
menuliskan pengalamannya pada tahun 1955 -- pendakian ke puncak
dapat dilakukan dari Cibuntu (utara), Setianagara dan Gunung Deukeut
(timur), dan Palutungan (selatan).
* * *
JALUR pendakian melalui Linggajati, menurut sejumlah pendaki,
merupakan jalur paling sulit. Bagaimana tidak, hampir sepanjang
jalan setapak yang dilalui, kondisinya menanjak dan harus melalui
sela-sela bebatuan atau akar pepohonan. Jalan setapak ini sekaligus
menjadi aliran air dari bagian atas gunung, jika hujan turun.
Pada musim kemarau sekarang, jalan air untuk jalur pendakian
itu berubah menjadi sangat berdebu, akibat tidak hentinya ratusan
pendaki lalu-lalang tiap hari saat musim liburan 1994 ini. Ketebalan
debu di sebagian lokasi, bahkan, sudah mencapai lebih dari 15 cm.
Meskipun begitu, pendaki tetap membutuhkan energi cukup dan
harus penuh kehati-hatian. Bila terpeleset dan tidak dapat menjaga
keseimbangan, batu-batu besar pun siap menanti. Dengan medan yang
cukup sulit seperti itu, perbekalan yang memadai menjadi syarat
utama untuk mencapai puncak Gunung Ciremai. Tanpa perbekalan cukup,
siap-siap saja tersiksa di sepanjang perjalanan.
Persyaratan paling utama pendakian seperti itu kadang-kadang
diabaikan sebagian pendaki. Dalam perjalanan, Kompas misalnya
bertemu seorang pendaki pelajar SMA asal Cirebon yang nekat
melanjutkan perjalanan ke puncak -- yang masih sekitar tiga jam
perjalanan lagi -- tanpa membawa bekal apa pun. "Teman-teman saya
sudah di depan," katanya. Rasa haus tak tertahankan yang
dideritanya, memaksa pendaki itu meminta minum pada pendaki lain.
Harus diakui, perbekalan cukup, seperti makanan, minuman, obat-
obatan, tenda, sleeping bag, atau juga peralatan memasak seperti
panci, gelas, akan sangat menjadi beban yang begitu menyiksa
pendaki. Namun untuk mereka yang terbiasa mendaki, perbekalan yang
kadang mencapai berat lebih 20 kg, bisa dibawa sekaligus dalam
sebuah ransel.
Jefri dan Endang, dua pendaki asal Jakarta dan Cirebon yang
berjalan bareng, misalnya, membawa perbekalan yang menambah beban,
tetapi memperlama waktu tempuh pendakian itu. Keduanya akan berada
di gunung beberapa hari, sehingga mereka merasa perlu untuk membawa
peralatan cukup.
Meski kadang-kadang peralatan tak perlu dipakai, bisa saja
tiba-tiba situasi berubah. Hal itu terbukti terjadi pada Minggu
(19/6) dinihari di sekitar Kuburan Kuda (1.000 meter dpl), ketika
turun gerimis cukup deras. Sejumlah pendaki kebingungan, karena
tidak membawa tenda untuk berteduh. Mereka beranggapan, pada musim
kemarau, gerimis atau hujan nyaris tidak mungkin terjadi.
Mengenai tidak siapnya perbekalan yang dibawa sebagian pendaki
ini dibenarkan pula oleh Rahman, anggota pencita alam Wanadri.
Menurut dia, sebagian pendaki memang kadang-kadan meremehkan masalah
perbekalan ini. Alasan mereka, ujar Rahman, biasanya karena
pendakian dilakukan pergi-pulang. Artinya, mereka tidak mau
berkemah. Sehingga hanya perbekalan makanan dan minuman sekadarnya
saja yang diboyong. Padahal kemungkinan-kemungkinan buruk bisa saja
terjadi. Misalnya, mereka tersesat, sehingga akhirnya berada di
gunung selama berhari-hari.
Untuk mendaki pun, sebagian besar pendaki Ciremai tidak
mempunyai izin dari KPH Kuningan. Petugas di pos Linggajati, Juned,
mengaku kesulitan untuk menahan mereka yang tidak punya izin
mendaki, karena mereka sudah berada di lokasi itu. Padahal izin dan
identitas pendaki diperlukan guna mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan.
Ini mungkin yang membedakan mereka dengan para pendaki Ciremai
pada zaman dahulu kala, bila mereka naik dari Argalingga,
Majalengka. Izin itu memang bukan berupa surat resmi, tetapi upacara
doa keselamatan yang dilakukan saat tiba di batas hutan Kijamuju
yakni Sanghyang Bangkai. Doa ini diperlukan sebelum pendaki
melanjutkan perjalanan ke puncak gunung.
***
Pendaki gunung sahabat alam sejati
Jaketmu penuh lambang, lambang kegagahan
Memproklamirkan dirimu pencinta alam
Namun maknanya belum kau miliki
Satu bait syair dari sebuah lagu yang dilantunkan artis asal
Kota Kembang, Ritta Ruby Hartland, sekitar awal tahun 1980-an
mungkin dapat melambangkan "kegiatan" sebagian pendaki Ciremai pada
musim pendakian liburan sekolah tahun 1994 ini. (Agus Mulyadi)
Foto: 1
Kompas/mul
BERKIBAR DI PUNCAK -- Setelah lelah menempuh perjalanan belasan
jam, bendera pun dikibarkan di puncak Ciremai. Sunan Cirebon adalah
tempatnya, dengan ketinggian 3.078 meter di atas permukaan laut.