Rabu, 14 November 2007

Tidur Hanya Beralaskan Karpet

KOMPAS - Senin, 17 Apr 2000 Halaman: 17 Penulis: MUL Ukuran: 2959
TIDUR HANYA BERALASKAN KARPET

KEHIDUPAN sehari-hari buruh pabrik di Tangerang, dan di daerah
lain di Indonesia, kadang bisa membuat orang lain yang melihat bisa
tersentuh rasa kemanusiaannya. Akibat rendahnya upah yang diterima
dari pabrik tempatnya bekerja, buruh kadang makan seadanya dan
bertempat tinggal di rumah atau kamar kontrakan seadanya pula.

Di ribuan rumah-rumah petak kontrakan buruh di Tangerang dan
daerah tetangganya di Kecamatan Kragilan, Serang, banyak dijumpai
tempat tinggal yang sederhana. Bagi buruh-buruh yang belum berkeluarga
atau hidup berpisah dengan anak dan istrinya, mereka biasanya bisa
tinggal bersama temannya di satu rumah kontrakan. Satu rumah petak
berukuran tiga kali empat meter, bisa ditinggali dua orang atau lebih.

Hampir pasti rumah kontrakan yang ditinggali buruh-buruh yang
belum berkeluarga, tidak dilengkapi perabotan memadai. Tidak ada
tempat tidur berkasur empuk atau meja kursi untuk bersantai. Rumah
kontrakan paling-paling hanya dilengkapi karpet multifungsi yang
digelar di dalam ruangan.

Di atas karpet itulah, buruh menerima tamu-tamunya. Di atas
karpet itu pula mereka tidur. Rumah kontrakan memang hanya benar-
benar menjadi tempat untuk tidur dan mandi. Isi rumah kontrakan
lain, paling hanya lemari plastik untuk menyimpan baju, meja
sekadarnya untuk menyimpan piring dan gelas, serta tape recorder.

Perlengkapan rumah seperti itulah yang dijumpai di tempat
tinggal Yadi (22) di sebuah rumah petak kontrakan di Desa
Kendayakan, Kragilan, yang disewa bersama seorang temannya. Biaya
sewa rumah petak sederhana itu setiap bulan Rp 90.000, dan
dibayar secara patungan oleh mereka berdua.

Di kawasan rumah-rumah petak kontrakan buruh di Kelurahan
Gandasari, Kota Tangerang, pemandangan serupa banyak dijumpai pula.
Buruh di kawasan itu umumnya mengaku tidak mampu untuk tinggal di
rumah yang lebih baik, dengan isi rumah yang lebih bagus dan lebih
layak pula. Penyebabnya tetap bermuara pada pas-pasannya upah yang
mereka terima sebagai buruh pabrik.

Kondisi serupa dialami pula Aryataji (38), seorang buruh pabrik
yang mengontrak kamar di Kelurahan Kalideres, Jakarta Barat. Kamar
tempat tinggal yang disewanya dengan biaya Rp 30.000/bulan, hanya
berukuran dua kali dua setengah meter. Kamarnya hanya berlantai semen
dan berdinding anyaman bambu. Lokasi kamarnya hanya dua meter dari
tepi saluran Banjir Kanal yang airnya kerap luber ke permukiman
sekitar.

Di lokasi lain, dua orang gadis buruh pabrik pancing dan sikat
gigi PT Forinco Ancol, Jatiuwung, Kota Tangerang, juga hanya mampu
tinggal di rumah petakan berkamar kosong, tidak jauh dari tempat
mereka bekerja. Upah setiap bulan yang hanya pas-pasan untuk bertahan
hidup-sebagian untuk biaya sewa kontrakan Rp 60.000/ bulan yang
ditanggung bersama, membuat mereka hanya mampu membeli karpet untuk
tidur. (agus mulyadi)