Senin, 12 November 2007

Suiseki dari Ciniru, Batu yang Langka

KOMPAS - Minggu, 12 Apr 1992 Halaman: 8 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 8547
"SUISEKI" DARI CINIRU,
BATU YANG LANGKA
SEPINTAS tidak ada yang istimewa dari batu itu. Seperti batu-
batu sungai atau gundukan batu lainnya, benda itu terlihat biasa-
biasa saja. Baru kalau dilihat seksama, terasa ada perbedaannya -
batu itu menyerupai binatang tertentu, candi atau bentuk lainnya.
Bagi awam belum cukup hanya dengan itu. Dalam benaknya
terpateri bahwa batu itu menyerupai bentuk tertentu, jika orang yang
mengerti memberi masukan. Kalau tidak ada pemberitahuan atau
penjelasan semacam itu, memang sulit untuk menyatakan batu itu
bernilai.
"Lihat. Batu ini mirip pemandangan di pantai. Makanya enggak
salah kalau saya namakan Pantai Kuta," ujar Iman Sudiman, penduduk
Desa Pakapasan, Kecamatan Ciniru, Kabupaten Kuningan (Jabar), kepada
Kompas di rumahnya beberapa waktu lalu.
Uraian semacam "penekanan" pengertian itu hanya dijawab dengan
anggukan kepala, karena pikiran melayang ke Pantai Kuta. Kok batu
berdiameter sekitar 30 sentimeter, bersusun lebih dari empat
tingkatan dan bergaris-garis, disebut sebagai salah satu pantai di
Pulau Dewata? Apanya yang mirip?
Bagi awam, tentu batu dengan berat 15 kg dan tinggi 30
sentimeter tersebut tak ubahnya batu-batu lain, yang "hanya" berbeda
bentuknya saja. Kalau sampai batu kemudian disebut mirip dengan
sesuatu bentuk binatang, candi atau pemandangan alam, tentu harus
dilatarbelakangi pemikiran mendalam.
"Memang, batu ini dianggap bernilai hanya oleh orang-orang yang
mempunyai jiwa seni. Batu yang dianggap bernilai oleh saya
umpamanya, belum tentu dianggap sama oleh orang lain. Karena itu
harganya pun tergantung pada selera orang yang melihatnya. Kalau
dianggap bernilai, penawaran tentu lebih tinggi," tutur Iman, yang
dianggap sebagai salah seorang kolektor batu-batu yang dianggap aneh
tersebut.
***
BATU yang dianggap bernilai seni tinggi bagi peminatnya ini,
dikenal sebagai batu suiseki. Satu jenis batu yang "dianggap
menyerupai" berbagai macam bentuk, oleh para peminatnya.
Nama suiseki muncul begitu saja di Ciniru. Nama batu alam ini,
bagi penduduk setempat pun sebenarnya terasa asing. Baik dalam
bahasa sehari-hari maupun primbon-primbon kuno, di daerah kawasan
perbukitan sekitar 30 kilometer tenggara Kuningan ini, istilah itu
tidak pernah dikenal penduduk.
"Penduduk di sini menamakannya batu renjul (menonjol). Mungkin
karena bentuknya yang bertonjolan di beberapa bagian. Kami hanya
ikut-ikutan saja menamakan suiseki, karena orang-orang luar
menamakannya seperti itu," kata Iman Sudiman.
Konon nama itu berasal dari Jepang, yang terlebih dahulu
menemukan dan mengenal batu alam tersebut. Oleh para penemunya batu
alam ini dinamakan suiseki. Ketika telah dikenal di berbagai negara,
termasuk di Indonesia, nama dari negara pertama yang menemukan batu
bernilai seni itu tetap dipakai.
Seperti di Jepang, penggemar batu ini pun kemudian bermunculan.
Ketika penggemar makin bertambah, perlu pula satu wadah bagi
kelompok pemerhati suiseki. Para pecinta suiseki bergabung dalam
wadah PPBI (Perkumpulan Penggemar Bonsai Indonesia). Tentu tidak
hanya di kota-kota besar saja, karena cabang PPBI menyebar ke
seantero Indonesia, termasuk PPBI Kuningan dan Cirebon.
Perburuan batu alam bernilai seni pun gencar dilakukan. Dari
para penemunya yang mungkin malah tidak mengerti nilai seni yang
terkandung pada batu, baik sengaja ataupun tidak, batu ini berpindah
tangan kepada mereka yang menaruh perhatian dan berminat.
Perburuan itu sampai pula ke satu desa di lembah Gunung Ciremai
yaitu di Desa Pakapasan, Kecamatan Ciniru, Kabupaten Kuningan.
"Sekitar dua tahun lalu, salah seorang penduduk di sini menemukan
suiseki," ujar Iman Sudiman, yang juga menjabat Sekretaris Desa
setempat.
Menurut dia, awal perburuan batu alam ketika adik iparnya
seorang polisi di Kuningan berpesan kalau menemukan batu berbentuk
aneh agar disimpan. Ketika ada penduduk menemukan batu, serta sang
adik ipar membelinya dengan harga lumayan untuk ukuran penduduk
setempat Rp 5.000. Penduduk semakin giat mencarinya.
Dari sungai-sungai yang mengalir di sekitarnya, atau perbukitan
yang sengaja digali, ditemukan batu alam-batu alam berikutnya. Maka
perburuan batu yang terbentuk seperti keadaannya sekarang, akibat
proses alam itu, menjadi pekerjaan sambilan penduduk setempat.
Beberapa orang di antaranya bahkan menjadikannya sebagai pekerjaan
utama. Demam itu pun menyebar pula ke desa-desa tetangga.
Namun karena mungkin Pakapasan kebetulan menjadi pusat
terbentuknya suiseki, dari desa itu yang paling banyak ditemukan.
Batunya pun dianggap bernilai seni lebih tinggi. "Mungkin sudah
lebih dari seribu batu yang ditemukan di sini, dan telah dimiliki
oleh para penggemarnya baik di Kuningan sendiri, Jakarta atau daerah
lainnya," ujar Kades Pakapasan, Singa Santana.
Soal penemuan batu itu sendiri, faktor nasib mujur berlaku di
sini. Kalau sedang bernasib baik, tanpa sengaja penduduk setempat
menemukannya di kali ketika sedang mandi, atau di kebun ketika
mencangkul tanah. Sedangkan bagi mereka yang sengaja mencarinya,
sampai seminggu pun kadang tidak menemukannya. Namun di lain waktu,
tiap hari bisa mendapatkannya.
"Batu renjul ini memang kami anggap batu gaib. Bagaimana tidak,
meski berhari-hari sengaja mencarinya, tidak didapatkan satu pun
batu. Tetapi kalau lagi hoki, tanpa sengaja kami menemukannya," ujar
Tarya, salah seorang penduduk setempat. Dia menganggap batu itu
sebagai pertanda nasib baik penduduk desanya. Karena, meski sama-
sama berada di daerah pegunungan, di desa-desa lain sedikit
ditemukan batu itu.
Faktor keberuntungan menemukan batu alam, pada hari-hari
mendatang mungkin lebih banyak berperan. Pemda Kuningan telah
melarang penggalian-penggalian bukit yang dianggap rawan longsor,
untuk mencegah terjadinya bencana. Karena itu penduduk setempat
lebih mengandalkan pencarian untung-untungan di sungai, atau tanah-
tanah datar yang dianggap tidak membahayakan.
Salah satu kelebihan suiseki asal Pakapasan, di antaranya
adalah adanya garis-garis lembut bersusun pada batu. Di daerah lain
batu seperti ini sangat sulit ditemukan. Suiseki dari daerah lain
biasanya halus, meski bentuknya juga beranekaragam.
***
SEJAK ditemukannya batu ini, Pakapasan pun kerap didatangi para
penggemarnya. Rata-rata mereka yang datang, orang-orang bermobil,
dari Kuningan, Cirebon, Jakarta atau Bandung.
Meski pembeli datang sendiri, ternyata hal itu tidak memudahkan
pemasaran batu, sehingga pemilik dapat memasang harga sesuka
hatinya. "Harga suiseki lebih ditentukan penggemarnya. Kalau menurut
mereka batu itu bernilai seni tinggi, batu dapat terjual mahal.
Sebaliknya, kalau calon pembeli melihatnya kurang bernilai seni,
harganya pun rendah," ujar Iman Sudiman.
Kedatangan pencari batu alam di Pakapasan, ternyata
dimanfaatkan pula oleh penipu-penipu berkedok kolektor seni. Itu
terjadi sekitar setahun lalu, para pemilik batu tertipu seorang
pembeli yang mengaku berasal dari Jakarta. Pada waktu itu, kolektor
yang sebelumnya sering muncul di Pakapasan ini, datang lagi dan
membeli sekitar 100 batu suiseki, dan membayar sebagian dari harga
jual batu. Sebagian uang lainnya, dijanjikan kalau batu-batu itu
berhasil dijual di Jakarta.
Nilai uang dari batu-batu tersebut, karena masih telanjang -
belum dialasi papan kayu seperti suiseki yang siap dipajang,
seluruhnya mencapai Rp 1 juta. Jumlah itu bagi penduduk setempat
berarti sekali.
Salah satu penyebab mengapa peristiwa itu terjadi adalah tidak
adanya wadah yang menghimpun batu alam itu, mengatur penjualan dan
menentukan standar harga. Penawaran harga pun hanya sesuai selera
dan keinginan pembeli. Artinya, batu yang dianggap bernilai seni
tinggi oleh pemiliknya, namun kalau pembeli menganggap tidak
bernilai, suiseki akan ditawar murah.
Tidak terdapatnya semacam koperasi yang dapat mengkoordinir
pemasaran ini, diakui Iman, karena para pemilik lebih memilih
keadaan demikian. Dengan menjual langsung, pemilik suiseki berharap
dapat menjual mahal, dan mendapat keuntungan lebih besar untuk
dinikmati sendiri. Harga suiseki, seperti yang pernah terjual di
Pakapasan cukup bervariasi, mulai dari Rp 2.000 sampai Rp 150.000.
(agus mulyadi)