Rabu, 14 November 2007

Hidup Buruh Tangerang Gali Lubang Tutup Lubang

KOMPAS - Minggu, 13 Jan 2002 Halaman: 27 Penulis: Mulyadi, Agus Ukuran: 5821

HIDUP BURUH TANGERANG GALI LUBANG TUTUP LUBANG

ISTIQOMAH (24) dan Lili (26) tengah terbaring di lantai rumah
kontrakannya di tepi Jalan Arya Kemuning, Periuk Jaya, Tangerang.
Kamis sore lalu, di luar rumah kontrakan berukuran 2,5x5 meter
persegi itu hujan tengah turun. Dinginnya lantai berlapis karpet
plastik tidak mereka pedulikan. Sudah seharian mereka bekerja.

"Kami sudah biasa tiduran di lantai," kata Istiqomah, gadis
kelahiran Semarang. "Habis mau tidur di mana lagi, kalau bukan di
lantai ini."

Di lantai ruang depan itu pula pada malam hari keduanya
memejamkan mata. Kasur busa tipis digelar menjadi tempat tidur mereka
untuk menahan rasa dingin lantai.

Rumah yang hanya terdiri atas satu ruangan itu disewa keduanya
dengan ongkos Rp 100.000 per bulan. Ruangan itu disekat papan
setinggi satu meter supaya ada tempat terpisah untuk menyimpan
pakaian dan sedikit barang mereka.

"Kami patungan membayar sewa rumah ini," kata Lili asal Tegal.
"Seorang Rp 50.000."

Tidak terlihat benda-benda berharga mahal di rumah kontrakan itu.
Bahkan sarana hiburan murah seperti radio tidak mereka miliki.
Padahal sudah empat tahun ini mereka bekerja banting tulang sebagai
buruh di pabrik garmen PT Adi Cipta Garmindo, Kota Tangerang.

"Gaji yang saya dapat habis untuk makan dan kebutuhan lainnya,"
kata Istiqomah. "Saya tidak punya tabungan uang." Lili yang duduk di
sampingnya menambahkan, "Kalau pun ada sedikit uang sisa gaji yang
bisa disimpan, sekali waktu habis untuk keperluan mendadak."

Dua buruh perempuan lantas mengemukakan meskipun gaji yang mereka
terima telah di atas upah minimum kota Tangerang tahun 2001 sebesar
Rp 426.500 per bulan, tetap saja mereka tidak bisa berbuat banyak
dengan gaji itu.

Istiqomah dan dan Lili menerima gaji secara mingguan. "Total
pendapatan saya Rp 170.000 per minggu," kata Istiqomah. "Gaji sebesar
itu sudah termasuk dengan upah dari lembur yang memang selalu ada
setiap minggunya."

Dengan penghasilan sebesar itu, Istiqomah, Lili, dan ratusan ribu
buruh lain di Tangerang tentu saja tidak bisa berbuat apa-apa. Upah
selalu habis untuk makan sehari-hari. "Kami bekerja hanya untuk bisa
makan," kata Lili.

Biaya yang harus dikeluarkan untuk makan setiap harinya
masing-masing berkisar Rp 10.000-Rp 15.000. Setiap hari pula mereka
berdua harus mengeluarkan uang untuk sekadar jajan. Mereka sekali
waktu harus membeli sabun, pasta gigi, bedak, lipstik, dan barang
kebutuhan rutin lain, termasuk pembalut wanita.

Belakangan ini pengeluaran untuk biaya hidup sehari-hari itu
semakin memberati beban hidup mereka. Harga kebutuhan pokok dan
barang lainnya terus menanjak. "Saya hitung-hitung harga makanan
sekarang ini sudah lebih mahal Rp 700 sampai Rp 1.000 untuk sekali
makan," kata Istiqomah.

MELAMBUNGNYA harga-harga barang belakangan ini membuat buruh
perempuan lajang seperti Istiqomah dan Lili semakin tidak pasti
menatap masa depan. Dengan upah yang belum naik, sementara harga-
harga telah semakin melangit, keduanya hanya bisa pasrah.
"Presidennya wanita kok malah jadi begini," kata Lili. "Semuanya
semakin mahal."

Karena itu, bagi Istiqomah dan Lili, kenaikan UMK menjadi percuma
saja. Kenaikan UMK tetap tidak akan menolong mereka menghadapi
kesulitan hidup yang bakal dihadapi.

"UMK naik memang akan sedikit menolong," kata Edi (25) buruh PT
Adi Cipta Garmindo. "Tapi kalau harga-harga telah ngaco seperti
sekarang ini percuma saja naik."

Sama seperti dua buruh perempuan temannya, Edi mengiaskan hidup
sebagai buruh pabrik dengan ungkapan gali lubang tutup lubang.
Sebelum gajian mingguan tiba, mereka harus berutang makan di warung
langganan. Saat gajian, sebagian besar uang langsung habis untuk
membayar utang.

Karena tidak ada pilihan lain, selain menjalani kehidupan sebagai
buruh pabrik, bujangan kelahiran Padang, Sumatera Barat itu terpaksa
menjalani kehidupan yang disebutnya gali lubang tutup lubang.
Kehidupan yang sedikit lebih baik dialami oleh buruh-buruh yang
telah berkeluarga, asalkan suami dan istri sama-sama bekerja. Dengan
penghasilan dari dua sumber, kehidupan mereka sedikit lebih baik
daripada buruh-buruh lajang.

Seno (34) yang bekerja di bagian asembling pabrik sepatu PT KSP
(Dongha Perkasa) di Jalan Arya Kemuning, Tangerang, misalnya,
mempunyai sarana hiburan televisi dan pesawat radio. "Gaji saya
sekarang ini sekitar Rp 500.000. Tidak ada tambahan lainnya," kata
Seno. "Sedangkan gaji istri saya sekitar Rp 170.000 setiap minggunya,
namun kami tetap hidup pas-pasan."

Laki-laki kelahiran Klaten, Jawa Tengah yang telah bekerja
sebagai buruh selama 10 tahun itu tingal di rumah kontrakan bertarif
Rp 95.000 per bulan. Dia hanya tinggal bersama istrinya, Saniati,
yang bekerja di pabrik berbeda. Anak tunggal mereka, Indah Suci, yang
sudah duduk di kelas dua Sekolah Dasar tinggal bersama neneknya di
Klaten.

Buruh perempuan lain, Suryani, yang bekerja di pabrik sepatu
Nike, PT Hardaya Aneka Shoes Industry, di kawasan Jatiuwung juga
menjalani hidup yang sedikit lebih baik. Suaminya, Aswan, bekerja
sebagai sales makanan. Namun, Aswan mengaku hidup mereka tetap pas-
pasan. Katanya, barang-barang sekarang semakin mahal.

Buruh di Tangerang saat ini berharap UMK 2002 seperti yang
ditetapkan Wali Kota Tangerang, HM Thamrin, sebesar Rp 590.000 per
bulan dipatuhi pengusaha. Pembayaran UMK 2002 di Tangerang sekarang
masih terganjal setelah PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negeri) Bandung
mengabulkan gugatan Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) setempat
untuk menangguhkan kenaikan itu. (Agus Mulyadi)