Selasa, 13 November 2007

Kehidupan di Luar Pagar Bandara Soekarno-Hatta, Potret Buram Warga yang Tergusur

KOMPAS - Jumat, 02 Jul 1999 Halaman: 17 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 8511
Kehidupan di Luar Pagar Bandara Soekarno-Hatta
POTRET BURAM WARGA YANG TERGUSUR
ATAP daun rumbia kering, dinding bambu, dan lantai tanah. Maka,
lengkaplah sudah simbol-simbol kemelaratan dan kesederhanaan hidup
warganya: warga yang tinggal di luar pagar Bandara Internasional
Soekarno-Hatta.
***

BURUNG-burung besi secara teratur membelah udara, memecahkan
anak telinga. Namun, bisingnya suara pesawat yang tinggal landas
dan mengudara itu tidak lagi dirasakan warga sebagai gangguan.
Bahkan, sudah menjadi bagian dari hidup dan kehidupan mereka
sehari-hari.
Di bawah keteduhan pepohonan, beberapa kelompok anak kecil
berkerumun. Mereka tengah bermain kelereng. Sebagian anak lainnya,
terlihat menenteng atau bermain layang-layang. Bahkan sejumlah
orang dewasa pun, tampak menerbangkan mainan yang kini memang
sedang musim itu.
Kecuali deru mesin-mesin pesawat, hingar-bingar kehidupan
masyarakat perkotaan memang tak terlihat di lokasi pemukiman yang
bersahaja itu. Lingkungan pemukiman yang di sisi selatan berbatasan
langsung dengan pagar yang mengurung areal Bandara Soekarno-Hatta.
Kendati masih menyimpan suasana pedesaan, kawasan pemukiman
sesungguhnya adalah bagian dari sebuah wilayah perkotaan bernama
Kampung Sukatani, Kelurahan Karangsari, Kecamatan Batuceper,
Kotamadya Tangerang.
Sukatani bisa ditempuh melalui Jl Baru yang menghubungkan Jl
Sudirman-Jl Selapajang, Kotamadya Tangerang. Dari ruas jalan itu,
untuk bisa sampai Sukatani hanya ada satu ruas jalan, yakni melalui
jalan tanah berbatu ke arah utara. Kampung Sukatani merupakan
perkampungan terpisah yang dikitari pagar pembatas kawasan bandara
dan sisa lahan persawahan di sekitarnya.
Menurut data dari Kantor Kelurahan Karangsari, Sukatani dihuni
oleh 259 kepala keluarga atau sekitar 1.300 jiwa. Sebagian adalah
pekerja serabutan, di antaranya menjadi buruh kasar di sekitar atau
Jakarta, tukang ojek sepeda motor, sopir angkutan umum, tukang becak,
atau bertani. Meskipun tempat tinggal warga berbatasan langsung
dengan gerbang masuk ke negeri ini, hanya sekitar lima orang warga
setempat yang bisa bekerja di lingkungan Bandara Soekarno-Hatta.
Itu pun hanya sebagai pekerja kecil.
Seperti diakui Edi (33), ayah seorang anak yang tinggal di
Sukatani, dia bekerja hanya sebagai penjaga salah satu toko di lobi
bandara. "Lumayan dari pada saya harus bekerja kasar sebagai buruh,"
ujarnya ketika ditemui di rumah sederhana miliknya, Kamis (1/7).
Edi serta dua warga lain, Rahmat (34) dan Dohir (55), menambahkan,
mereka dan hampir semua warga Sukatani lainnya adalah orang-orang
pribumi. Mereka telah turun-temurun tinggal di kawasan itu. Termasuk
warga keturunan Tionghoa yang juga telah bertempat tinggal di situ
turun-temurun. Mereka lebih dikenal dengan sebutan Cina Benteng.
Dahulu kala, sebelum pembebasan lahan untuk bandara dilakukan
mulai tahun 1973, hampir semua warga Sukatani hidup sebagai petani.
Kemudian seperti yang biasa dialami warga gusuran di negara ini,
warga Sukatani pun terpaksa kehilangan sumber utama mata
pencahariannya. Sawah dan ladang tempat mereka menggantungkan
hidupnya, dibebaskan dan diambil alih untuk keperluan pembangunan
Bandara Internasional Soekarno-Hatta waktu itu.
Dan seperti cerita klasik yang selalu berulang, bergantinya
mata pencaharian dari warga yang tergusur demi pembangunan itu,
berujung pada kesulitan mencari sumber nafkah penggantinya. Ketika
uang ganti pembebasan tanah sudah menipis atau habis, kerja
serabutan pun terpaksa dilakoni. Menjadi buruh kasar merupakan alih
mata pencaharian terbesar yang bisa dilakukan warga setempat.
Namun, konsekuensi dengan menjadi buruh kasar, akhirnya harus
ditanggung warga. Penghasilan yang bisa diperoleh selalu tidak
menentu, sehingga akhirnya mempengaruhi kualitas hidup mereka. Akibat
lanjutan, warga misalnya hanya bisa berdiam di rumah beratap rumbia
dan berdinding bilik bambu, dengan lantai tanah tanpa perabotan meja
kursi.
"Penghasilan suami saya pas-pasan. Kalau pulang ke rumah, kadang
membawa uang, kadang tidak. Uang yang bisa didapat suami saya selalu
pas-pasan untuk makan," ujar Ny Dede (30, ibu tiga orang anak. Suami
Dede, Koling (33), sudah lama hanya bisa menjadi buruh kasar di
Jakarta. Pasangan suami-istri itu bersama dengan tiga anak mereka,
tinggal di rumah bilik bambu beratap daun rumbia kering dan berlantai
tanah, berukuran sekitar empat kali tujuh meter persegi.
Kehidupan sedikit lebih baik, dialami Dohir. Ayah tujuh anak itu
tetap bertahan menjadi petani, kendati luas sawah miliknya jauh
berkurang setelah pembebasan lahan untuk bandara dulu.
***
RENDAHNYA kualitas hidup warga Kotamadya Tangerang di sekitar
Bandara Soekarno-Hatta, tidak hanya dialami warga Sukatani. Ribuan
warga lain di sejumlah kelurahan sekitarnya mengalami penderitaan
serupa. Warga yang umumnya dikategorikan sebagai keluarga prasejahtera
itu, bertempat tingal di kawasan yang berbatasan langsung dengan pagar
kukuh yang mengitari bandara.
Ihwal yang sama juga bisa ditemui di sejumlah lokasi di Kecamatan
Benda. Mereka antara lain tinggal di Bulakkambing, Panjang,
Jatijengkol, dan Rawakompeni. Rumah tinggal dan pekerjaan para
penghuninya hampir sama seperti warga Sukatani. Bahkan lingkungan
permukiman di empat lokasi itu, terlihat lebih jorok dan kumuh
dibanding Sukatani.
"Kami warga seputar bandara, sebelumnya mempunyai sawah dan
ladang di kawasan yang kini menjadi areal bandara. Rumah tempat
tinggal memang bisa kembali dibangun di areal di luar kawasan
bandara. Tetapi sumber nafkah, terpaksa harus mencarinya di tempat
lain," ujar Hendra (40), warga RW 01, Kelurahan Panjang, yang juga
ketua RW. Rumah Hendra hanya berjarak sekitar 10 meter dari pagar
bandara.
Ce It (45), warga Jatijengkol juga mengungkapkan hal serupa.
Dulu dia mempunyai sawah garapan yang kini telah menjadi bagian
kawasan bandara. Ce It yang berputra satu orang itu, juga hanya
bisa menjadi buruh kasar. Tempat tinggalnya pun hanya bilik bambu
beratap daun rumbia dan berlantai tanah.
Hendra yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek sepeda motor
menyebutkan, tidak ada lagi lahan kosong di daerah tempat tinggalnya.
Kalau pun ada, lahan yang di atasnya belum berdiri bangunan tersebut,
tidak lagi produktif dan hanya ditumbuhi rumput-rumput tinggi.
Penyebab utama lahan tidak bisa dimanfaatkan untuk pertanian, tidak
ada air yang bisa dialirkan ke sana. Saluran pembuangnya pun sulit
ditemukan.
Tidak adanya saluran air pembuang menyebabkan terjadinya
genangan air di sejumlah lahan yang lebih rendah. Air itu berasal
dari sisa air hujan yang belum terbuang atau limbah rumah tangga.
Kondisi ligkungan yang buruk di Bulakkambing dan Panjang
misalnya, diperparah lagi dengan kondisi jalan permukiman yang
amburadul. Sama seperti jalan masuk ke Sukatani, akses ke
Bulakkambing dan Panjang yang lokasinya bertetangga itu, hanya
berupa jalan tanah berbatu tanpa siraman aspal. Sedangkan jalan-
jalan lingkungan pemukiman, sebagian pernah disemen, tetapi kini
semuanya terlihat mengelupas.
Buruknya prasarana jalan kampung dan jalan lingkungan pemukiman,
hampir tidak adanya saluran-saluran air pembuangan dan tempat
penampungan air limbah rumah tangga, serta tempat tinggal yang
terlalu sederhana dan sebenarnya kurang layak dihuni, pada akhirnya
menyebabkan warga di sekitar bandara tersebut menanggung akibatnya.
Sejumlah penyakit, seperti penyakit kulit, infeksi saluran pernapasan,
diare, anemia, seolah menjadi bagian dari hidup sehari-hari warga.
Jika Anda bertandang ke Panjang, di pemukiman yang langsung
berbatasan dengan pagar bandara, tidak usah kaget saat sedang
berbincang dengan warga, tiba-tiba mereka menggaruk tubuhnya karena
gatal-gatal di kulitnya. (agus mulyadi)
Foto:
Kompas/mul
MISKIN -- Sebagian warga yang bertempat tinggal di sekitar Bandara
Soekarno-Hatta, telah sejak lama didera kemiskinan. Rumah tinggal
mereka hanya beratap daun rumbia kering dan dinding bilik bambu
serta lantai tanah. Namun demikian, yang utama sesungguhnya ihwal
kehilangan sumber nafkah mereka sebagai petani, setelah lahan mereka
diganti rugi untuk dijadikan areal bandara internasional.