KOMPAS - Rabu, 09 Feb 2000 Halaman: 1 Penulis: MULYADI, AGUS/GUNAWAN, TJAHJA Ukuran: 6476
WARGA BANTEN HANYA INGIN UBAH NASIB
MEMBENTUK propinsi perlu biaya besar, apalagi di zaman susah
begini. "Jangan-jangan untuk membangun Propinsi Banten, biayanya malah
dipungut dari rakyat. Bisa jadi nanti pajak atau retribusi malah
dinaikkan. Itu 'kan semakin menyusahkan rakyat kecil seperti saya
ini," kata Burhan-sebut saja begitu-seorang anggota satuan pengamanan
(satpam) di Gedung Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama.
Burhan termasuk warga asli Banten yang tinggal di Desa Banten,
Kecamatan Kasemen, Serang. Dia spontan melontarkan kekhawatirannya
ketika ditanya tentang rencana pembentukan Propinsi Banten. Dia
khawatir, terbentuknya Propinsi Banten malah akan semakin menyusahkan
warga.
Bagi Burhan, yang penting saat ini adalah agar para politikus
asal Banten jangan hanya berpikir bagaimana membentuk sebuah propinsi.
"Yang sekarang ini harus dilakukan, bagaimana membangun wilayah
Banten," ujar Burhan. Dia menduga pembentukan propinsi hanya untuk
kepentingan dari sejumlah orang saja.
Mirinto, pendatang dari Solo yang berjualan bakso di Jl Maulana
Yusuf, Kota Serang, dan Minopo, staf Departemen Pendidikan Nasional
Kabupaten Serang, juga memiliki kekhawatiran yang sama dengan Burhan.
Bahkan seorang pengusaha keturunan Cina, menduga ide pembentukan
Propinsi Banten hanya ambisi dari segelintir orang.
Kekhawatiran seperti itu segera ditepis Ketua Pendekar Banten, H
Tb Chassan Sochib, yang selama ini gigih memperjuangkan terbentuknya
Propinsi Banten bersama tokoh masyarakat lainnya seperti Uwes Qourny,
Dr Tihami, Eki Syahruddin, dan Ali Yahya. Menurut Chassan Sochib,
wajar kalau ada orang yang tidak setuju dengan pembentukan Propinsi
Banten.
***
SOCHIB meminta kepada masyarakat Banten untuk tidak perlu khawatir
karena dari aset yang ada sekarang mencukupi untuk membangun Propinsi
Banten. Aset yang dibangga-banggakan itu, antara lain lapangan terbang
Soekarno-Hatta di Tangerang, PT Krakatau Steel dan PLTU Suryalaya di
Cilegon.
"Aset itu bisa dijadikan jaminan untuk meminjam uang ke luar
negeri sehingga tidak perlu terus bergantung pada pemerintah pusat.
Masak untuk membangun propinsi harus menekan pedagang baso atau tukang
pecel. Bahkan kalau perlu orang-orang kecil dibebaskan pajaknya," ujar
Sochib bersemangat.
Semangat untuk mewujudkan Propinsi Banten, juga mendapat dukungan
dari para tokoh pemuda seperti di antaranya Saeful Rizal (Ketua Forum
Pemuda Balaraja), Dedy Kurniadi (dari Lembaga Kajian dan Pengembangan
Masyarakat) serta Fachrurodji. Para pemuda ini sebelumnya gigih
mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten dan Kodya
Tangerang untuk menyetujui rencana pembentukan Propinsi Banten.
Setelah berulang kali didemo pemuda dari Balaraja dan Tigaraksa,
akhirnya DPRD Tangerang menyetujui rencana tersebut meski sebelumnya
Tangerang cenderung untuk lebih memilih tetap bergabung dengan
Propinsi Jabar. Sementara DPRD Kabupaten Lebak, Pandeglang, Serang,
dan Kodya Cilegon, sudah lebih dulu memberikan persetujuan.
Berbarengan dengan rencana pembentukkan Propinsi Banten, para tokoh
masyarakat di Banten seperti berlomba-lomba membentuk organisasi.
Seperti misalnya Komite Pembentukan Propinsi Banten (KPPB), Forum
Silaturahmi Warga Pandeglang (Fosgalang), dan Forum Masyarakat
Tangerang untuk Propinsi Banten (Formatang).
Bahkan Formatang telah menyusun "Buku Putih" berisi identifikasi
potensi wilayah Banten. Kesemuanya itu dilakukan untuk memperjuangan
rencana pembentukan Propinsi Banten. Dengan adanya organisasi dadakan
baik komite maupun forum seperti itu, sebagian masyarakat
mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya konflik di antara elite
masyarakat yang memperebutkan kedudukan dan posisi jika Banten telah
menjadi propinsi.
***
KEJAYAAN Banten di zaman baheula, sering dijadikan dalih oleh
para tokoh masyarakat untuk membentuk Propinsi Banten. Akan tetapi
ketertinggalan wilayah Banten dengan daerah lain di Jabar, juga
merupakan kenyataan obyektif yang memicu Banten untuk memisahkan diri
dari Jabar. Selama ini masyarakat Banten merasa dianaktirikan karena
konsentrasi Pemerintah Daerah (Pemda) Jawa Barat lebih difokuskan pada
pembangunan di wilayah Priangan Timur.
"Padahal Banten hanya 100 kilometer dari Ibu Kota Jakarta, tetapi
banyak daerah di Banten yang masuk kategori Inpres Desa Tertinggal
(IDT) atau daerah tertinggal. Ini sama saja derajat orang Banten sama
dengan binatang. Karena itu, tujuan pembentukan propinsi adalah untuk
mengubah nasib masyarakat Banten," kata Sochib.
Apabila Banten menjadi propinsi, maka akan memiliki jumlah
penduduk sebanyak 8 juta orang yang tersebar di empat kabupaten dan
dua kotamadya. Yakni Lebak, Pandeglang, Serang, Tangerang, dan Kodya
Tangerang dan Cilegon. Jumlah penduduk terbesar 50 persen (sekitar 4
juta orang) berada di Kabupaten dan Kodya Tangerang. Bagi penggagas
terbentuknya Propinsi Banten, daerah Tangerang merupakan penentu baik
dalam jumlah penduduk maupun penghasilan.
Dari realitas obyektif terlihat, dua kabupaten di wilayah Banten
yakni Lebak dan Pandeglang, sampai sekarang termasuk dalam daerah
tertinggal. Kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) dalam APBD di dua
daerah itu, hanya Rp 3,5 milyar dan Rp 4,8 milyar. Dengan PAD yang
hanya sebesar itu, ketergantungan terhadap bantuan pemerintah pusat
sangat tinggi.
Dana dari pemerintah pusat untuk membayar gaji pegawai negeri di
Kabupaten Lebak yang berjumlah 1.200 orang mencapai Rp 60 milyar per
tahun. Sementara dana bantuan dari Pemda Jabar hanya Rp 1 milyar untuk
tahun anggaran berjalan 1999/2000. Jadi kalau undang-undang otonomi
daerah, betul-betul diterapkan di Kabupaten Lebak, maka daerah ini
dipastikan tidak akan mampu meskipun mempunyai potensi sumber daya
alam.
Menurut Sukamto, Kepala Bagian Keuangan Pemda Lebak, UU tentang
otonomi daerah sampai sekarang belum ada peraturan pelaksanaannya.
"Saya kira tidak hanya Lebak, daerah lain juga banyak yang belum siap
untuk melaksanakan otonomi daerah," kilah Sukamto. Menurut dia, kalau
Banten menjadi propinsi, maka untuk sementara Kabupaten Lebak akan
mendapat subsidi dari daerah Tangerang karena dianggap sebagai
daerah yang surplus.
(agus mulyadi/tjahja gunawan)