KOMPAS - Sabtu, 14 Mar 1992 Halaman: 9 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 5776
PONDOK WISATA SISIHORONG,
PONDOK PARA WISATAWAN
LAMPU minyak tanah yang digantung di sudut bangunan itu
memancarkan warna temaram. Angin timur yang bertiup tidak terlalu
kencang menggoyang nyala api, sehingga menimbulkan bayangan
bergerak-gerak dari tiang di sudut bangunan.
Di lembah sebelah selatan sampai timur bangunan, titik-titik
lampu warna kuning kemerahan, menyembul dari rumah-rumah penduduk,
baik dari rumah-rumah yang berpencar maupun berkelompok. Nun jauh di
tenggara, sorot lampu mercu suar dari Pulau Selayar sekali-sekali
memancarkan cahaya, memberi petunjuk kepada perahu atau kapal yang sedang ì
berlayar.
Cahaya lampu tadi sepertinya memberi pertanda adanya
denyut nadi kehidupan di perbukitan itu. Seakan menjawab pertanyaan
bahwa di kawasan yang dilingkupi kelam malam tersebut, ditinggali
manusia.
Di tempat paling atas perbukitan, tampak menjulang seonggok
bangunan rumah panggung yang dihiasai dua lampu minyak di beranda
depan. Bangunan itu tampak kokoh berdiri di tengah kegelapan, seakan ì
penguasa bukit yang tentu memberi pertanda pula adanya kehidupan.
RUMAH panggung di atas perbukitan itu, dikenal dengan nama
Pondok Wisata Sisihorong, terletak di Dusun Bontodidi, Desa
Bontobiraeng, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi
Selatan. Bangunan berarsitektur Bugis-Makassar ini, merupakan satu-
satunya rumah di puncak bukit itu.
Bangunan dari kayu dengan atap sirap tersebut, adalah rumah
penginapan umum satu-satunya di perbukitan dengan ketinggian sekitar
500 meter dpl (di atas permukaan laut), dalam wilayah Kecamatan
Kajang. Satu pondok wisata yang menjadi persinggahan akhir dan
tempat menginap para wisatawan yang ingin berkunjung ke Kawasan Adat
Amatoa. Secara geografis, letaknya berada di antara kota
Kecamatan Kajang dan Tanete yang berjarak sekitar 30 kilometer.
Lokasi pondok dapat dicapai melalui jalan raya yang
menghubungkan Kajang-Tanete. Dari jalan raya masuk ke puncak bukit
tempat pondok berada, ada jalan tanah yang dapat dilalui
kendaraan roda empat. Sebagai tanda, di pinggir jalan raya
terdapat papan petunjuk bercat hitam, bertuliskan warna putih. Bagi
wisatawan yang menggunakan kendaraan umum, dapat turun di pintu
masuk jalan tanah, lalu melanjutkan ke pondok dengan berjalan
kaki.
Pondok Wisata Sisihorong berukuran sekitar delapan meter kali
delapan meter dan mempunyai sembilan kamar. Pengelolanya seorang
penduduk setempat yaitu Ny Daniah Syarif (36), seorang janda bekas
kepala desa setempat, dan ibu dari lima orang anak. "Pondok wisata
dibangun untuk memenuhi kebutuhan turis, yang ingin menju Kawasan
Amatoa," ujarnya kepada Kompas.
Tiap-tiap kamar rata-rata berukuran dua setengah meter kali
dua setengah meter, dilengkapi tiga kasur busa tanpa ranjang, yang
digelar di lantai kayu. Sebuah cermin turut melengkapi isi kamar.
Meskipun sederhana, kesannya rapi. Sedangkan dua kamar mandi, berada di ì
kedua sisi bangunan bagian belakang.
PONDOK Wisata Sisihorong dibangun pada tahun 1986, di tanah puncak ì
bukit milik almarhum suami Ny Dania Syarif yang ketika itu masih menjadi ì
kepala desa setempat. Mulanya memang bukan untuk tempat penginapan umum, ì
tetapi semacam rumah peristirahatan keluarga.
Lembah-lembah di bagian bawah di segala penjuru angin dan
perbukitan lain di kejauhan, jelas terlihat mata telanjang.
Sementara nun jauh di timur, biru air laut pun masih bisa terlihat.
Di tenggara, garis Pulau Selayar jelas terlihat. Ditambah
suasana serba sunyi, tempat itu cocok untuk melepas lelah.
Keheningan itu hanya sesekali diusik suara mesin sepeda
motor atau mobil di kejauhan, dari jalan raya yang menghubungkan
Kajang-Tane yang melintas di lembah sebelah utara pondok.
Suasana yang itu bertambah dengan derik serangga, yang seakan
tak pernah mau berhenti.
Setelah berembuk dengan suaminya, Ny Dania memutuskan untuk
menjadikan rumah peristirahatan pribadi mereka, menjadi rumah
peristirahatan umum. Dia pun akhirnya lebih serius lagi menggarap
bisnis itu, setelah suaminya meninggal dunia sekitar akhir 1990
lalu. Satu usaha yang masih dianggapnya sebagai usaha sambilan.
Karena itu tarif yang dipasang, tidaklah mencekik leher. Untuk
menginap semalam dan dua kali makan, makanan kecil, kopi atau
teh, cukup membayar Rp 15.000.
Bangunan kayu itu seluruhnya dicat dengan warna hitam. Mungkin untuk ì
membiasakan pengunjung dengan suasana warna hitam seperti di Kawasan Adat ì
Amatoa. Jika ada wisatawan menginap di pondok, Ny Dania pun selalu ì
memakai pakaian warna hitam.
KEBERADAAN Pondok Wisata Sisihorong, pada akhirnya memang
dicium oleh biro-biro perjalanan di Ujungpandang yang menyediakan
paket wisata. Salah satu yang ditawarkan adalah Kawasan Adat Amatoa.
Apalagi Kawasan Adat Amatoa sendiri, adalah salah satu
daerah tujuan wisata di Bulukumba.
"Wisatawan yang menginap di sini rata-rata tidak lebih dari
semalam. Itu pun lebih banyak terjadi pada saat musim liburan wisman
(wisatawan mancanegara) di negaranya. Wisatawan domestik
masih jarang ke sini, karena memang masih sedikit yang berkunjung ke
kawasan adat," tutur Ny Dania Syarif.
Dari buku tamu terlihat, pada
tahun 1991 jumlah wisatawan yang mampir menginap tercatat 290-an
orang. Lebih dari sembilan puluh persen di antaranya adalah wisman.
Usaha sambilan Ny Dania Syarif memang tidaklah seberapa untuk
ukuran bisnis penginapan. Tetapi meski kecil, Pondok Wisata
Sisihorong banyak membantu mereka yang ingin mengunjungi
Kawasan Adat Amatoa. (agus mulyadi)
Foto:2