KOMPAS - Minggu, 12 Mar 1995 Halaman: 15 Penulis: MULYADI, AGUS Ukuran: 7977
SANDAL KEBAREPAN MENEMBUS PASAR DUNIA
SEPASANG sandal raksasa, berdiri kokoh di depan sebuah bangunan
di pinggir jalan raya di Desa Kebarepan, Kecamatan Plumbon,
Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Sandal berukuran tinggi sekitar tiga
meter dan lebar setengah meter itu, tampak begitu mencolok.
Pengendara yang lewat di jalan raya antara Palimanan-Cirebon, jika
melihat pasti akan menoleh karena tertarik sandal langka tersebut.
Lokasi sandal raksasa warna hitam itu, sekitar 10 kilometer
barat kota Cirebon. Sandal dibuat dari spons, bahan baku yang juga
digunakan untuk sandal biasa. Bahan ini merupakan campuran antara
karet, plastik, dan unsur lainnya.
Sandal raksasa Kebarepan dapat disebut sebagai sebuah simbol.
Perlambang yang kokoh dan cukup besar dari sebuah industri kecil di
Cirebon yang cukup kuat. Industri kecil yang berawal dari industri
rumahan yang menapak pasti, terus berkembang.
Industri kecil yang menuju besar ini adalah industri sandal.
Penduduk Kebarepan yang lebih dari 2.000 orang itu pun
menggantungkan nafkah hidupnya dari industri ini. Produksi sandal
dari Kebarepan tidak hanya dipasarkan ke berbagai daerah di
Indonesia, tetapi juga sudah menembus pasar dunia.
Di desa ini tercatat sekitar 15 pabrik pembuatan sandal, yang
melibatkan ribuan tenaga kerja. Dari rumah-rumah penduduk setempat
pun, lahir pula sandal-sandal karya penghuninya, mengikuti produk
pabrik di kawasan itu.
***
BERKEMBANGNYA Kebarepan menjadi sentra produksi sandal,
sebenarnya tidak diduga penduduk desa itu sendiri. Sebab, cikal
bakal yang mengarah ke lahirnya industri itu hanyalah dari keahlian
segelintir penduduk setempat yang mengubah ban-ban bekas menjadi
sandal jepit murahan.
Penduduk setempat menyebut, embrio dari industri sandal
Kebarepan sekarang adalah karya beberapa penduduk berupa sandal
bandol. Ini merupakan akronim dari ban bodol, yang artinya ban bekas
dan butut yang sudah tidak terpakai lagi.
Konon sekitar tahun 1950-an sejumlah penduduk setempat membuat
sandal jepit dari ban bekas itu. Ketika sandal jenis ini dijual
ternyata laku, hingga akhirnya tidak hanya segelintir orang yang
berkarya membuat sandal bandol. Penduduk lainnya pun mengikuti,
sehingga Kebarepan pun tumbuh menjadi produsen sandal jepit murahan
itu. Pemasarannya masih di daerah Cirebon dan sekitarnya.
Menurut salah seorang pemilik industri sandal rumahan setempat,
Ny Suparmi (40), keahlian membuat sandal itu kemudian berkembang.
Sebagian perajin ada yang memodifikasi sandal karet bekas merek Lily
yang ketika itu cukup digemari orang. Sandal karet bekas itu dibeli
dari pemulung, diperbaiki dengan mengganti bagian bawahnya
menggunakan bahan spons.
"Sandal Lily yang sudah robek bagian atasnya, kami sambung lagi
dengan menggunakan besi panas," kata Suparmi.
Perbaikan sandal bekas yang mengenalkan perajin dengan bahan
spons, kemudian mengilhami mereka membuat produk lain. Sebagian
perajin mencoba membuat sandal dari bahan itu untuk bagian alas,
ditambah dengan penjepit sandal di bagian atasnya.
Kreativitas perajin pedesaan ini ternyata malah merupakan awal
dari tumbuhnya industri sandal Kebarepan. Sandal baru yang tidak
lagi menggunakan bahan ban bekas ini laku di pasaran. Permintaan
khalayak semakin berkembang.
Tidak hanya penduduk sekitar yang menyukai sandal Kebarepan.
Ketika sandal mereka dipasarkan ke daerah lain, masyarakat pun
menyukainya.
Perkembangan ini semakin menarik minat penduduk setempat,
mencari nafkah dari memproduksi sandal. Sebagian besar penduduk
Kebarepan membuatnya di rumah mereka masing-masing. Sejumlah
penduduk lainnya bahkan mampu membuat pabrik cukup besar. Sedangkan
sebagian lainnya mencoba peruntungannya dengan menjadi penjual
produk itu ke daerah lain.
Sampai sekarang ini sandal Kebarepan telah menyerbu pasar
sampai ke luar Pulau Jawa, seperti propinsi-propinsi di Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi. Di Jawa sebagian besar sandal Kebarepan
tersedot di pasar Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tidak lupa pula, para pengusaha dan perajin pun masing-masing
memiliki merek dagang sandal produksi mereka. Nama-nama yang
kedengaran cukup asing pun disandang sandal Kebarepan. Sebut saja
misalnya sandal dengan merek dagang Sonic, Katoni, atau Esay. "Esay
itu diambil dari bahasa Cina, artinya bagus," kata Ny Suparmi yang
memiliki sandal bermerek itu.
***
"SEBENARNYA industri sandal di sini baru berkembang belum
terlalu lama, baru sejak awal tahun 1980-an," kata Bedi Toni (50),
salah seorang pengusaha sandal paling besar di Kebarepan. Dia
termasuk perintis yang mengembangkan industri Kebarepan.
Menurut Bedi, pertumbuhan sandal Kebarepan juga didongkrak oleh
dukungan pemasok bahan baku spons dari produsennya di Tangerang.
Dengan pasokan bahan baku yang cukup -- meski perajin tidak
membayarnya dengan kontan -- memungkinkan perkembangan industri itu.
Hingga kemudian tidaklah mengherankan jika "bayi industri" yang
semakin besar itu sejak dua tahun lalu mengekspor produksinya ke
mancanegara. "Sandal Kebarepan diekspor ke negara-negara di Asia,
seperti negara-negara Arab," kata Bedi Toni.
Dikatakannya, kemampuan menembus pasar luar negeri itu pun
sebenarnya merupakan bantuan dari pemasok spons. "Mereka yang
mencari pasar luar negeri. Kami hanya memproduksi dan memenuhi
permintaan mereka," ujar pengusaha tamatan SMP itu.
Untuk pemasaran dalam negeri, sebagian pengusaha dan perajin
sandal Kebarepan melakukannya dengan memasarkan sendiri produk
mereka. Namun akhirnya sekarang ini, sebagian pengusaha setempat
tinggal menunggu pesanan pembeli.
Sandal pesanan baru akan dikirim, jika pemesan mentransfer
uangnya kepada produsen. "Kalau uangnya sudah cair baru kami
kirimkan sandal pesanan," ujar Bedi.
Cara seperti itu dilakukan semata-mata untuk melancarkan usaha
kerajinan tersebut. Dengan cara seperti itu, tidak ada yang namanya
pembayaran macet, sehingga proses produksi pun tidak terhambat
karena kehabisan modal misalnya.
Dikatakan Bedi, dalam pemasaran sandal ini para pengusaha mampu
yang sudah mempunyai pangsa pasar, tidak hanya memasarkan produk
mereka sendiri. Produksi sandal dari rumahan pun kalangan pengusaha
mampu yang memasarkannya.
Sebagian pengusaha sandal yang masih belum mempunyai pelanggan,
menerima pesanan lewat telepon dan transfer uang, terpaksa
memasarkan produksinya sendiri. Itu misalnya dilakukan oleh Suwari
(43), suami Ny Suparmi.
Hampir setiap minggu dia memasarkan langsung ke pasar-pasar di
Jateng, Jatim, bahkan Lampung dan Bengkulu. "Suami saya lebih sering
memasarkan ke daerah Jateng dan Jatim. Waktu yang dibutuhkan sampai
barang satu boks kendaraan habis, cukup dua sampai tiga hari. Kalau
ke Bengkulu bisa membutuhkan waktu satu minggu," kata Suparmi,
pemilik industri rumahan yang juga memasarkan produk dari rumah
lainnya.
Kebarepan memang sudah mampu menjadi produsen dan pemasok
sandal cukup andal. Itu semua berkat sentuhan kreativitas perajin
setempat. Untuk memadukan potensi ini dibentuk koperasi perajin
sandal. Namun wadah koperasi yang pernah mengekspor produk sandal
Kebarepan itu, justru yang tidak bisa berkembang.
Sejumlah pengusaha menyebutkan, koperasi hanya digunakan untuk
kepentingan sejumlah orang saja. Tujuan pembentukannya untuk lebih
memajukan Kebarepan tidak tercapai, hingga pengusaha dan perajin
setempat pun lebih memilih mengembangkan usahanya sendiri-sendiri.
Mereka pun mampu semakin "meraksasa". (agus mulyadi)
FOTO: INDUSTRI RUMAHAN -- Di Desa Kebarepan, Cirebon, Jawa Barat selain
terdapat pabrik pembuat sandal berskala cukup besar, juga banyak
dijumpai sandal produksi rumahan seperti gambar di atas.