Selasa, 13 November 2007

Kesenjangan di Balik Pagar Perumahan

KOMPAS - Kamis, 28 Jun 2001 Halaman: 19 Penulis: Mulyadi, Agus Ukuran: 7379 Foto: 1

KESENJANGAN DI BALIK PAGAR PERUMAHAN

TIGA orang ibu rumah tangga berusia lanjut, terengah-engah saat
menyusuri jalan mulus beraspal di sisi selatan apartemen Amartapura,
Lippo Karawaci, Tangerang. Badan ketiganya membungkuk, menahan beban
tumpukan kayu yang digendong di punggung masing-masing.Kayu ini untuk
masak. Beli minyak tanah mahal," kata salah seorang di antara mereka.

Sesaat mereka berhenti di tepi jalan untuk melepas lelah.
Tiga ibu rumah tangga warga Desa Kelapa Dua, Kecamatan Curug, itu
rutin mencari kayu bakar di kompleks perumahan mewah Lippo Karawaci.
Di belantara rumah-rumah mewah, para ibu rumah tangga itu mencari
papan dan balok bekas pakai di proyek pembangunan rumah yang masih
terus berlangsung di Lippo Karawaci.

Kalau persediaan kayu bakar di rumah menipis, mereka kembali
menyusuri jalan mulus, sambil memandangi rumah-rumah mewah di
seantero Lippo Karawaci. Ketika papan dan balok bekas didapat, mereka
pun kembali berjalan terbungkuk-bungkuk sampai tiba di rumahnya di
balik pagar kawasan perumahan mewah.

Kemewahan Lippo Karawaci sangat kontras dengan kehidupan di balik
pagar yang mengelilinginya. Warga di balik pagar hanya bisa melihat
kemewahan di dekatnya, di tengah debu jalanan yang selalu mengganggu,
padatnya rumah-rumah, dan kesulitan hidup yang terus mendera. Bahkan
untuk memasak nasi pun, sebagian ibu rumah tangga terpaksa terlebih
dahulu mengais puing bekas pembangunan rumah-rumah mewah.

Menyaksikan kemewahan "tetangga", dirasakan benar oleh Arsian
(79) dan Ili (60). Beruntung bagi kedua kakek itu, sejak awal
pembangunan kawasan Lippo Karawaci, mereka bekerja sebagai penyapu di
kompleks perumahan, yang sebagian menempati lahan bekas rumah mereka
dulu. Dengan upah Rp 130.000 per minggu, Arsian dan Ili masih dapat
menikmati hidup mereka yang sudah senja, dengan bekerja rutin setiap
hari.

Setiap hari Senin-Sabtu, sebelum pukul 08.00 Arsian dan Ili pergi
dari rumah mereka di balik pagar Lippo Karawaci, yakni Desa Bencongan
Indah dan Kelapa Dua. Ketika waktu menunjukkan pukul 15.00, keduanya
kembali meninggalkan perumahan mewah itu untuk kembali ke rumah
mereka di balik pagar beton perumahan. Mereka berdua dan warga
lainnya masuk dan keluar perumahan melalui celah terbuka di salah
satu bagian pagar.

Ny Mori (55) dan Ny Maryam (40), dua ibu rumah tangga pembersih
rumput di kompleks perumahan mewah Modernland, Kota Tangerang, setiap
hari juga harus melalui celah-celah pagar pembatas perumahan yang
terbuka. Pagar terbuat dari beton, seolah membatasi interaksi pula
kehidupan keduanya dengan warga penghuni perumahan Modernland yang
mewah. Setiap hari Mori dan Maryam memeras tenaga di Modernland demi
upah Rp 100.000 per minggu.

PAGAR pembatas perumahan-terutama perumahan mewah-dengan
permukiman sekitar yang umumnya terbuat dari balok beton, seakan
membatasi pula interaksi kehidupan dua dunia yang berbeda. Salah
satunya kehidupan yang bergelimang kemewahan dan kemakmuran, dan
satunya lagi kehidupan yang umumnya pas-pasan, dan sebagian di
antaranya jauh dari kemakmuran. Kasus di Lippo Karawaci hanyalah satu
contoh di antara persoalan serupa di berbagai kawasan seputaran
Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek).

Belakangan, di beberapa perumahan pembangunannya menggunakan pola
cluster, yang terkesan eksklusif. Satu kompleks rumah dibangun berada
di dalam pagar, meskipun lokasinya di kawasan perumahan.

Ratusan mungkin sampai ribuan warga Desa Lengkong Gudang,
Kecamatan Serpong, misalnya, sejak sekitar 10 tahun terakhir ini
malah berada di dalam kawasan mewah perumahan Bumi Serpong Damai
(BSD). Tetapi, meskipun berada di dalam kawasan perumahan, permukiman
mereka dikelilingi pagar beton pemisah dengan lingkungan baru di
dekatnya. Kalaupun di bagian lain tidak dipagar beton, permukiman
mereka dibatasi areal milik pengembang yang telah dikeruk
sekelilingnya menjadi lebih rendah. Sewaktu-waktu, areal permukiman
warga itu bisa longsor.

Sama seperti di sejumlah kompleks perumahan lain, warga dua desa
itu pun hanya bisa memandang kemewahan di sekelilingnya. Bahkan
jalan-jalan mulus seperti di kompleks BSD, tidak terdapat di
permukiman mereka. Malah, saat hujan tiba warga harus susah payah
melewati jalan tanah di lahan pengembang yang telah dikupas, agar
dapat tiba di permukiman.

Makmurnya kehidupan warga perumahan mewah di BSD tidak menular
pula kepada warga Lengkong Gudang, Lengkong Wetan, Rawabuntu, dan
desa lain di kawasan itu. Mereka tetap harus bekerja keras membanting
tulang. Sebagian besar warga bekerja di kawasan BSD, meskipun hanya
sebagai tukang ojek sepeda motor, kuli angkut (omprengan), petugas
keamanan (satpam), atau pembersih rumput.

Bukan cerita baru jika banyak di antara warga asli kini cuma jadi
penonton berbagai perumahan baru yang tumbuh. Umumnya warga menjual
tanahnya kepada pengembang. Namun, uang hasil penjualan tanah itu
tidak otomatis hidup mereka berubah. Sesaat banyak yang sempat
menjadi tukang ojek, dengan menggunakan motor yang dibeli dari hasil
penjualan tanahnya. Setelah ojeknya rusak dan dijual, selanjutnya
mereka menjadi penganggur-penganggur di sekeliling kompleks
perumahan.

"Ratusan orang di Lengkong Gudang dan Lengkong Wetan hidup dari
ngompreng dan tukang ojek. Dalam satu hari saya rata-rata dapat uang
Rp 15.000," ujar Joni (40), pengojek sepeda motor, warga Lengkong
Gudang.

Timpangnya kesejahteraan hidup warga perumahan dengan warga di
sekitarnya, telah memunculkan berbagai masalah sosial. Salah satunya,
muncul pula kuli angkut yang akhirnya meresahkan warga perumahan.
Upaya untuk merangkul warga sekitar dengan memberi pekerjaan,
sebenarnya telah dilakukan baik oleh pengembang maupun warga
perumahan. Namun, kesempatan yang bisa didapat warga setempat tidak
lebih dari pekerjaan kasar seperti tenaga kebersihan dan pencabut
rumput, atau petugas keamanan (satpam), dan pencuci pakaian.
Selebihnya, mereka hanya menjadi penonton.

Peluang mendapat pekerjaan kasar bagi warga, beberapa tahun ini
malah telah semakin menyempit. Setelah proyek pembangunan perumahan
berkurang beberapa tahun ini, peluang menjadi buruh kasar berkurang
pula. Manajer Hubungan Masyarakat dan Promosi BSD Donny Rahajoe
mengatakan, ketika proyek pembangunan perumahan masih ramai dulu,
banyak warga sekitar yang ikut bekerja.

Kini, kesenjangan itu telah tumbuh. Warga pendatang menikmati
rumah-rumah mewah yang bertumbuhan di berbagai permukiman baru.
Sebaliknya, warga asli tersingkir dan terkadang cuma menjadi penonton
gemerlap kemewahan para pendatang. Di banyak kawasan, perbedaan
antara warga asli dengan warga pendatang itu bagai minyak dan air.
Satu sama lain tampaknya saling menaruh curiga. (Agus Mulyadi)

Foto:
Kompas/agus mulyadi
DI BALIK PAGAR PERUMAHAN -- Tiga ibu rumah tangga berusia lanjut
dengan susah payah membawa tumpukan papan dan balok sisa pembangunan
rumah mewah di Lippo Karawaci, Tangerang. Mereka datang dari balik
pagar perumahan, mencari sisa kayu yang digunakan untuk bahan bakar
menanak nasi bagi keluarganya. Untuk membeli minyak tanah pun,
mereka tidak mampu.