Kamis, 15 November 2007

Keppres dan Mental Aparat

KOMPAS - Selasa, 27 Feb 1996 Halaman: 8 Penulis: BAR/MUL Ukuran: 6985

KEPPRES DAN MENTAL APARAT (2-HABIS)

MASALAH pembangunan liar di Puncak, Jawa Barat sudah merebak
sejak tahun 1980-an. Setiap pakar lingkungan meramaikannya di media
massa. Namun pimpinan daerah di Jawa Barat, baik tingkat I atau II,
selalu mengatakan, segala bentuk penyimpangan mengenai pembangunan di
kawasan Bogor- Puncak-Cianjur (Bopunjur) akan ditindak tegas!

Belasan tahun kemudian, kerugian yang ditimbulkan hancurnya
kawasan Bopunjur makin besar dan menjadi "mimpi buruk" bagi warga Ibu
Kota. Bukan hanya jalan dan rumah yang tenggelam, tapi semua kegiatan
berhenti. Menteri Negara Lingkungan Hidup, Sarwono Kusumaatmadja
mengatakan, nilai kerugian itu jika dirupiahkan bisa mencapai
trilyunan rupiah.

Kerusakan gedung, jalan, kendaraan, alat-alat rumah tangga,
peralatan elektronik, barang-barang berharga, tertundanya atau
batalnya keberangkatan penerbangan di Bandara Soekarno-Hatta dan
batalnya transaksi-transaksi ekonomi penting yang nilainya sangat
besar.

Misalnya, kerugian PT Telkom yang mencapai milyaran rupiah
akibat terendamnya sentral telepon di Jl. Gatot Subroto, serta
hilangnya ribuan pulsa akibat putusnya hubungan telepon itu. PT Astra
melaporkan, 4.000 unit mobil yang sudah siap dipasarkan, rusak berat
akibat banjir karena terendam.

Demikian pula dengan kerugian yang tak ternilai harganya, yaitu
hilangnya 22 jiwa akibat banjir tersebut. Sedang jawaban pimpinan
daerah di Jawa Barat masih sama dengan belasan tahun lalu, yakni bahwa
segala bentuk penyimpangan itu akan ditindak tegas. Bahkan masih
dibumbui kata-kata, tidak ada yang kebal hukum!

KENYATANNYA ribuan vila-vila mewah, kompleks perumahan,
perdagangan, industri, dan lapangan golf muncul di kawasan Bopunjur.
Wajar jika kuat dugaan bahwa ada yang "tak beres" pada aparat pemberi
izin dan pengawas pembangunan di kawasan itu, atau memang benar ada
"kekuatan" besar yang berdiri di belakang pembangunan vila-vila itu.

Berdasarkan pengamatan Kompas, pada lahan milik negara pun vila
itu sudah bermunculan. Misalnya di kawasan resapan Desa Cibeureum,
Kecamatan Cisarua. Lahan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan resapan
air itu bahkan sudah beberapa kali pindah tangan diperjualbelikan.

Misalnya di blok Barusireum, dimana berdiri sejumlah vila yang
belum lama selesai dibangun. Satu di antaranya berada tidak jauh dari
vila yang pernah dibongkar tim OWP (Operasi Wibawa Praja) Pemda
Kabupaten bogor pertengahan Januari 1996 lalu.

Di Desa Cibeureum itu pun saat ini mulai dibangun sebuah kawasan
vila bernama Bukit Nirwana. Dari lahan-lahan yang sudah dikavling dan
sedang dipasarkan itu, sudah selesai dibangun 7 vila mewah.
Penyimpangan penggunaan lahan juga terjadi di atas tanah negara bekas
Perkebunan Cisarua Selatan yang telah habis HGU (hak guna usaha)-nya
pada tahun 1970-an.

Seorang pejabat di Pemda TK II Bogor mengakui bahwa dari 150 vila
di desa Cibeureum itu, yang berdiri di atas tanah negara maupun hak
milik, hanya 40 yang memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Ditambahkannya, di Desa Jogjogan, Blok Curug, saat ini 6 unit vila
baru selesai dibangun. Di desa itu hampir semua lahan pertanian sudah
dibeli "orang Jakarta".

Menurut dia, penyimpangan pembangunan di kawasan Bopunjur itu
sesungguhnya berhubungan dengan "ketidakberesan" pejabat.
Dicontohkannya, mantan Bupati Cianjur periode 1983-88, Ir Arifin
Yoesoef sebelum meletakkan jabatannya, bekerja sama dengan DPRD
Kabupaten Cianjur sudah mengeluarkan Perda Nomor 3, yang menyangkut
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan Puncak.

Pada RDTR itu sudah ditetapkan kawasan-kawasan lindung, kawasan
penyangga, kawasan budidaya nonpertanian, dan kawasan jalur pengaman
aliran sungai dan mata air. Namun pada era Bupati berikutnya, yang
dipegang H. Eddi Soekardi, muncul keputusan Pemda TK II Cianjur yang
baru, yang membuat lahan-lahan pertanian produktif di desa-desa
seperti Sukarngalih, Sindangjaya, Ciloto, Cibadak dan Ciwelan diubah
menjadi "hutan beton" oleh developer.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kelompok Masyarakat Cianjur
Untuk Lingkungan Hidup (KMCULH) pernah memprotes keras keputusan
pribadi Bupati Eddi Soekardi tersebut. Waktu itu KMCULH itu bahkan
berani memberikan bukti bahwa tidak satu pun proyek pembangunan
perumahan yang diizinkan Pemda Cianjur itu memiliki Amdal (Analisa
Mengenai Dampak Lingkungan). Hasilnya, semua protes itu berlalu begitu
saja.

Tiap tahun jumlah vila di Bopunjur terus bertambah. Kepala Desa
Megamendung, HA Djadjat kepada Kompas menambahkan, selama hampir 10
tahun terakhir, jumlah vila di desanya telah bertambah lebih dari 300
persen. Ketika dia mulai menjadi Kades Megamendung tahun 1978, jumlah
vila baru sekitar 60 unit. Sekarang ini vila yang tercatat di kantor
desanya sudah sekitar 200 unit. Jumlahnya diperkirakan masih banyak
lagi, karena separuh dari vila yang ada di kawasan itu diduga tak
memiliki IMB, jadi tak diberitahukan ke kecamatan setempat.

GUNA melindungi kawasan Puncak, tidak tanggung- tanggung, telah
muncul 2 Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 48 Tahun 1983 dan Nomor 79
Tahun 1985 yang mengatur penataan ruang kawasan Bopunjur. Bahkan masih
ada satu lagi, yakni Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan
kawasan tata air, yakni ketentuan mengenai permukaan tanah sebagai
resapan air, seperti persawahan dan sungai.

Namun semuanya dianggap sepi. Salah seorang pemilik vila
menceritakan, sebenarnya tidak perlu beking pejabat tinggi di pusat
untuk memperoleh IMB mendirikan vila. Asal punya "pelor" (uang),
ujarnya, jangankan membangun di lereng-lereng puncak atau gunung, di
puncak gunung sekali pun pasti diizinkan.

Diungkapkannya, proses untuk mendapatkan izin lokasi terlebih
dahulu harus ada rekomendasi dari TAT (Tim Asistensi Teknik), yang
beranggotakan pegawai dari Badan Perencana Pembangunan Daerah
(Bappeda), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Asisten I, Dinas
Pertanian, Dinas Parawisata, dan Camat.

Ditambahkan, pengeluaran uang bukan cuma untuk anggota TAT itu,
tapi biaya rapat-rapat mereka di hotel-hotel di Puncak pun harus
ditanggung developer. Menurut dia, pasaran pengeluaran "dana taktis"
itu beberapa waktu lalu di Puncak adalah Rp 300 juta untuk pembangunan
vila-vila yang memakai lahan seluas 15 hektar.

Ucapan pemilik vila itu cukup mencengangkan. Bayangkan, dia mampu
"membayar" sebuah tim yang anggotanya terdiri dari perwakilan dari
berbagai instansi. Dan memang, walau sudah berkali-kali Panglima
Daerah, Gubernur, hingga Menteri (bahkan Keppres) mengancam akan
menindak tegas penyimpangan itu, kenyatannya bangunan-bangunan vila
terus bermunculan di kawasan Bopunjur.

Lalu siapa lagi yang bisa dipercaya dalam kasus Bopunjur ini?
(bar/agus mulyadi)